FITRA Anggap APBN Masih Bernuansa Kepentingan Politik
Berita

FITRA Anggap APBN Masih Bernuansa Kepentingan Politik

Memilih calon legislatif yang memiliki kualitas dalam menjalankan fungsi budgeting.

FNH
Bacaan 2 Menit
Foto: www.seknasfitra.org
Foto: www.seknasfitra.org
Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) bukan hanya sekedar perwujudan pengelolaan keuangan saja tetapi merupakan wujud dari kedaulatan rakyat. Sayangnya, penyusunan anggaran dalam APBN dari tahun ke tahun belum menyentuh rakyat sepenuhnya. APBN masih bernuansa kepentingan politik tertentu, baik pribadi, kelompok, maupun golongan yang dibawa oleh anggota Dewan tanpa memperhatikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Begitulah pandangan dari Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Yenny Sucipto dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin (10/3). "Dalam praktiknya, APBN lebih banyak dipenuhi oleh kepentingan politik ketimbang memperhatikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat," kata Yenny.

Yenny melanjutkan, ada beberapa poin penting yang menjadi catatan pihaknya terhadap kerja DPR dalam melaksanakan fungsi budgeting dalam membuat kebijakan APBN. Pertama, DPR dinilai diam dan menyetujui kebijakan anggaran belanja yang tidak berpihak pada rakyat. Dewan tidak maksimal dalam melaksanakan fungsi budgetingnya karena meyetujui APBN sebagai produk kebijakan anggaran belanja yang tidak bersentuhan dengan rakyat kecuali sebatas orientasi pada pertumbuhan ekonomi saja.

Kedua, DPR dinilai tidak menggunakan fungsi budgetingnya untuk mensejahterakan rakyat. Akibatnya terjadi ketimpangan alokasi dalam APBN seperti anggaran kesehatan berkisar 2 persen dari APBN, sektor pertanian hanya berkisar 3-4 persen dari APBN, infrastruktur hanya berkisar 10 persen sedangkan untuk cicilan dan bunga utang mencapai 20 persen. "Padahal kesehatan merupakan hak konstitusional rakyat yang harus diperjuangkan oleh DPR," jelasnya.

Ketiga, DPR tidak berpihak pada rakyat. Hal ini dibuktikan lewat kebijakan pemerintah dalam menurunkan subsidi energi yang tidak diimbangi dengan kenaikan anggaran kesejahteraan sosial. DPR juga membiarkan alokasi subsidi non energi stagnan dan cenderung diturunkan. Bahkan, DPR menyetujui pencabutan beberapa subsidi yang langsung menyangkut kehidupan rakyat miskin seperti subsidi kedelai dan minyak goreng.

Keempat, fungsi budgeting DPR dalam memperjuangkan kemandirian daerah dalam pembangunan dinilai tidak optimal. Menurut Yenny, DPR menyetujui transfer daerah selama 5 tahun terakhir rata-rata hanya mencapai 31 persen, termasuk diulur-ulurnya pembahasan UU Pemda mengenai penyelenggaraan urusan sejak tahun 2009 dan UU Perimbangan Keuangan.

Kelima, DPR dinilai tak pernah serius dalam melakukan pembahasan dalam pengelolaan BUMN. Yenny mengatakan, DPR seolah-olah sengaja menjadikan BUMN sebagai 'sapi perahan', termasuk pengelolaan laba yang ditahan di BUMN sebesar Rp407,5 triliun. Laba yang ditahan tersebut berpotensi dimanfaatkan oleh kelompok kepentingan karena tidak ada aturan atau regulasi yang jelas dalam pengelolaan laba untuk ekspansi tersebut.

Keenam, DPR seharusnya mampu melakukan tekanan terhadap pemerintah terkait laba yang ditahan. Yenny berpendapat, laba yang ditahan tersebut mestinya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat. Setidaknya, DPR dapat menarik laba yang ditahan pada tahun anggaran 2012 sebesar Rp405,7 trilun untuk menutup defisit sebesar Rp80 triliun dalam pembahasan APBN-P 2013. "Sehingga tidak perlu justifikasi menambah utang baru sebesar Rp63,4 triliun," ungkapnya.

Selain itu, dengan menarik laba yang ditahan, lanjut Yenny, setidaknya dapat menyelamatkan tiga hal yakni subsidi energi, subsidi kedelai dan dapat dialokasikan untuk melakukan desain program perluasan lahan petani.

Ketujuh, DPR malah menyetujui kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) dari pemerintah. Kedelapan, APBN dijadikan program dan proyek titipan oleh DPR untuk kepentingan politik. Buktinya, ada kenaikan dana optimalisasi hingga mencapai Rp26,9 triliun dari Rp13 triliun, kenaikan dana penyesuaian hingga mencapai Rp87,9 triliun pada APBN 2014.

"Kenaikan dana ini dilakukan tanpa dibarengi dengan evaluasi penggunaan oleh K/L di tahun sebelumnya dan tanpa dasar yang jelas dalam penetapannya," tegas Yenny.

Atas dasar hal tersebut, Yenny mengatakan FITRA menghimbau masyarakat untuk memiih wakil rakyat yang berkualitas dan mempunyai kemampuan serta keberpihakan dalam merumuskan kebijakan APBN yang berpihak pada rakyat. "Jangan pilih calon legislatif yang tidak memiliki kualitas dalam menjalankan fungsi budgeting," pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait