Fintech Wajib Terapkan Transparansi Biaya Demi Lindungi Konsumen
Berita

Fintech Wajib Terapkan Transparansi Biaya Demi Lindungi Konsumen

Penerapan prinsip transparansi tersebut dapat terlihat dalam aplikasi hingga kontrak yang diterbitkan perusahaan fintech.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Aspek perlindungan konsumen dalam industri financial technology (fintech) peer to peer lending (P2P) menjadi persoalan yang menarik diperhatikan saat ini. Sudah terdapat berbagai pengaturan dalam industri fintech yang dibuat demi aspek tersebut. Salah satu pengaturan tersebut yaitu perusahaan fintech wajib menerapkan transparansi mengenai suku bunga dan biaya tambahan kepada konsumen seperti peminjam dan pemberi pinjaman.

 

Berdasarkan pedoman perilaku (code of conduct) Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) terdapat batasan maksimal bunga pinjaman yang dikenakan kepada konsumen sebesar 0,8 persen per hari. Selain itu, terdapat biaya lain yang ditanggung peminjam seperti biaya yang timbul di muka (upfront fee), biaya asuransi atau pertanggungan lain, provisi, biaya keterlambatan, biaya pelunasan dipercepat.

 

Ketua Bidang Institusi dan Hubungan Masyarakat AFPI, Tumbur Pardede, mengatakan prinsip transparansi khususnya mengenai biaya dan bunga tersebut merupakan sudah menjadi kewajiban bagi perusahaan fintech seperti yang diatur dalam pedoman perilaku. Penerapan prinsip transparansi tersebut dapat terlihat dalam aplikasi hingga kontrak yang diterbitkan perusahaan fintech.

 

“Implementasi transparansi ini terlihat dalam kontrak. Memang penerapannya bisa beragam ada perusahaan yang menerangkan 2 persen per bulan atau 12 persen per annual tergantung perusahaannya. Umumnya, informasi bunga yang di website itu untuk lender (peminjam) sedangkan bunga untuk borrower melalui ekosistem,” jelas Tumbur di Jakarta, Selasa (8/10).

 

Tumbur juga menjelaskan perusahaan fintech yang telah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagian besar sudah menerapkan prinsip transparansi tersebut. Bahkan, terdapat perusahaan fintech yang menyediakan fasilitas teknologi kecerdasan artifisial untuk menerangkan biaya-biaya pinjaman tersebut. Teknologi ini umumnya terdapat pada layanan pinjaman konsumtif.

 

(Baca Juga: Perlindungan Data Konsumen Harus Jadi Prioritas Industri Fintech)

 

Sementara itu, prinsip transparansi ini belum ditemukan pada perusahaan fintech ilegal. Tumbur menjelaskan konsumen sering menjadi korban akibat layanan tersebut karena membengkaknya biaya pinjaman yang harus dikembalikan. Selain itu, perusahaan fintech ilegal juga sering melakukan tindakan intimidatif dan kekerasan dalam penagihan.

 

Hukumonline.com

 

Tumbur menambahkan masih terdapat regulasi-regulasi yang perlu dibuat pemerintah bersama DPR RI untuk menciptakan iklim sehat industri fintech. Regulasi tersebut antara lain Undang Undang Fintech dan UU Perlindungan Data Pribadi.

 

“Undang Undang jadi faktor yang sangat penting agar industri ini berkembang ke arah yang benar. Kami sering diserang memanfaatkan mengambil data dan menyebarluaskan. Padahal yang melakukan itu bukan anggota kami dan yang terdaftar di OJK,” jelasnya.

 

Ketua Harian AFPI Kusherdiansyah menyatakan pelanggaran-pelanggaran seperti perilaku tidak transparan hingga penagihan intimidatif tersebut umumnya dilakukan perusahaan fintech ilegal. Menurutnya, perusahaan fintech ilegal itu mengabaikan prinsip perlindungan konsumen.

 

“Seharusnya, fintech ilegal ini jadi musuh bersama karena kasus-kasus menyeramkan di masyarakat seperti intimidasi hingga orang sampai bunuh diri itu dilakukan fintech ilegal karena mereka tidak punya aturan perlindungan konsumen. Kalau fintech legal, kami jamin tidak ada ancaman teror kekerasan kepada customer,” jelasnya.

 

133 Fintech Ilegal Diblokir

Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L Tobing mengatakan edukasi mengenai pentingnya memilih perusahaan fintech peer to peer lendingyang berizin OJK harus semakin gencar dilakukan mengingat Satgas hingga awal Oktober kembali menemukan dan langsung menindak 133 entitas yang melakukan kegiatan fintech peer to peer lending ilegal yang tidak terdaftar di OJK.

 

“Kami tidak akan menunggu korban masyarakat semakin banyak akibat fintech peer to peer lending ilegal ini, jadi kami terus berburu dan langsung menindak temuan fintech lending yang ilegal dengan meminta Kominfo untuk memblokirnya,” kata Tongam.

 

Untuk meningkatkan pemahaman masyarakat, Satgas saat ini juga sudah bekerja sama dengan Dinas Kominfo DKI Jaya untuk menayangkan iklan layanan masyarakat yang berisi peringatan untuk menghindari fintech peer to peer lending ilegal.

 

“Kami meminta dukungan dan mengajak berbagai pihak untuk meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai bahaya fintech peer to peer lendingilegal mengingat keberadaannya sangat merugikan,” katanya.

 

Sebelumnya pada 6 September 2019, Satgas Waspada Investasi menemukan 123 entitas Fintech Peer-To-Peer Lending ilegal. Namun dalam perkembangannya terdapat enam entitas yang telah membuktikan bahwa kegiatannya bukan merupakan fintech peer to peer lending yaitu aplikasi “MJASA SYARIAH” milik Kospin Jasa, aplikasi “Shopintar” milik PT Karya Widura Utama, aplikasi milik Komputerkitcom, aplikasi milik Lucky Nine Apps, aplikasi “Smartech” milik PT Smartech Kredit Indonesia, dan aplikasi “Mentimum” milik PT Dinamika Mitra Sukses Makmur sehingga dilakukan normalisasi atas aplikasi yang telah diblokir.

 

Selanjutnya dengan kembali ditemukannya 133 entitas fintech peer to peer lending ilegal menjadikan total entitas yang ditangani Satgas Waspada Investasi sampai dengan Oktober 2019 sebanyak 1.073 entitas. Sedangkan total yang telah ditangani Satgas Waspada Investasi terhadap entitas fintech peer to peer lending ilegal sejak tahun 2018 sampai Oktober 2019 sebanyak 1.477 entitas. 

 

Tags:

Berita Terkait