Filosofi Kisah Pencuri Kuda dalam Sidang Andi
Berita

Filosofi Kisah Pencuri Kuda dalam Sidang Andi

Penuntut umum KPK tanyakan tindak pidana nalaten.

MYS
Bacaan 2 Menit
Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Alfian Mallarangeng. Foto: RES
Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Alfian Mallarangeng. Foto: RES
Alkisah, tercatatlah dalam literatur hukum pidana, sebuah kisah tentang seorang pencuri beberapa kuda yang dihukum mati. Kisah dari negeri Pangeran Charles itu biasanya disinggung ketika membahas tujuan hukum pidana dan pemidanaan. Hakim Hence Burnet menjatuhkan hukuman gantung kepada si pencuri.

Si pencuri protes karena merasa hukuman itu tidak adil dan setimpal. Hence Burnet langsung menimpali: ‘Man, thou art to be hanged not for having the horse stolen, but in order that horses may not be stolen’. Anda dihukum bukan karena telah mencuri kuda, melainkan supaya kuda-kuda lain tidak dicuri. Di sini, tampak bahwa hakim Hence Burnet memahami tujuan pidana dan pemidanaan sebagai prevensi umum, melindungi kepentingan umum yang lebih luas.

Kisah masa lalu itu muncul dalam sidang perkara korupsi mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, Andi Mallarangeng, Kamis (19/6) lalu. Di akhir sidang, majelis hakim memberi kesempatan kepada Andi untuk bertanya kepada Muzakkir, dosen hukum pidana, yang tampil sebagai ahli. Andi menanyakan antara lain tentang keragu-raguan mengenai pidana yang dilakukan seseorang, circumstances evidence, dan mengenai kisah hukuman terhadap pencuri kuda tadi.

Pada prinsipnya, Muzakkir mengatakan bahwa kejahatan seseorang tidak bisa ditimpakan kepada orang lain. Orang lain tidak boleh dijadikan tumbal atas perbuatan pidana seseorang. “Tidak boleh seseorang jadi tumbal untuk pidana orang lain,” jelas dosen Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu. Muzakkir memberi keterangan sebagai ahli yang dihadirkan terdakwa/penasehat hukumnya.

Ditegaskan Muzakkir, kalau ada keragu-raguan terhadap tindak pidana yang dituduhkan kepada seseorang, maka hakim harus menjatuhkan pidana yang menguntungkan terdakwa. Pidana tak seharusnya dijadikan instrumen untuk menghukum seseorang secara berat, seperti pencuri kuda, hanya untuk mencegah objek serupa tidak dicuri lagi.

Tim penasehat hukum Andi juga sempat mempertanyakan makna ‘mendengar’ dalam tindak pidana. Muzakkir mengatakan yang bisa menjadi saksi adalah orang yang mendengar sendiri, mengalami sendiri, atau melihat sendiri. “Bukan mendengar dari orang lain”. Muzakkir berpendapat kesaksian orang yang mendengar dari orang lain yang juga bukan mendengar sendiri peristiwa pidana ‘tidak mempunyai kekuatan hukum pembuktian’.

Nalaten
Jika tim penasehat hukum Andi berusaha mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berpeluang ‘meloloskan’ Andi dari tuduhan pidana, jaksa melakukan sebaliknya. Jika penasehat hukum berusaha menggunakan argumentasi tentang wewenang yang sudah didelegasikan kepada orang lain, penuntut umum mencoba mencari tahu pandangan ahli mengenai nalaten.

Nalaten bisa disebut juga tindak pidana tak berbuat. Prof. Wirjono Prodjodikoro (1989) menyebutkan mungkin saja akibat tertentu timbul karena seseorang tidak berbuat. Ini terjadi jika ada kewajiban untuk berbuat, tetapi kewajiban itu diabaikan. Contohnya, Pasal 224 KUHP mengancam seseorang dengan pidana jika tak memenuhi panggilan sebagai saksi tanpa sebab yang sah meskipun sudah dipanggil secara patut.

Jadi, nalaten terjadi jika seseorang tak melakukan tindakan pencegahan padahal ia tahu suatu perbuatan bisa menimbulkan pidana. Penuntut umum mencontohkan seorang petugas yang tak menutup pintu perlintasan kereta api padahal ia tahu kereta akan lewat. Kalau seorang Menteri, misalnya, tahu suatu lelang tidak sah tetapi tak membatalkan lelang tersebut meskipun ia punya wewenang. Jaksa menanyakan apakah perbuatan Menteri itu sebagai tindak pidana.

Muzakkir menjelaskan haruslah dibedakan antara tanggung jawab pidana dan tanggung jawab sosial. Ia memberi contoh kasus tabrakan yang melibatkan anak penyanyi Ahmad Dhani. Muzakkir berpendapat Dhani tak bisa dimintai tanggung jawab pidana atas perbuatan anaknya. Yang bisa dilakukan hanya tanggung jawab sosial. Pertanyaannya, kata Muzakkir, apakah dalam kasus lelang, ada keharusan bagi Menteri untuk tahu dan mengawasi sampai ke hal-hal teknis.

Kalaupun ada wewenang atributif pada Menteri seperti didalilkan penuntut umum, Muzakkir berpendapat tergantung bagaimana tafsir seseorang terhadap wewenang atributif tersebut. Kalau wewenang itu ternyata sudah didelegasikan kepada orang lain, maka tanggung jawab pidana bisa beralih kepada penerima delegasi.

Dalam keterangannya sebagai ahli Muzakkir beberapa kali menekankan pentingnya melihat sikap bathin seseorang sebelum melakukan tindak pidana. Sikap bathin bisa dilihat dari rangkaian perbuatan sebelum tindak pidana terjadi.
Tags: