FIFA: Sepakbola Telah Disusupi Kejahatan Terorganisir
Berita

FIFA: Sepakbola Telah Disusupi Kejahatan Terorganisir

Sanksi federasi bisa mengakibatkan kematian perdata pemain atau wasit.

ALI
Bacaan 2 Menit
Direktur Indonesia Lex Sportiva Instituta, Hinca Pandjaitan. Foto: SGP
Direktur Indonesia Lex Sportiva Instituta, Hinca Pandjaitan. Foto: SGP

Direktur Keamanan FIFA Ralf Mutschke mengingatkan bahwa kompetisi sepakbola saat ini telah berubah karena mulai disusupi oleh pelaku kriminal secara terorganisasi, terutama dalam manipulasi pertandingan dan pengaturan skor.

“Kita melihat pengaturan skor dan manipulasi pertandingan sebagai ancaman global. Seperi virus kanker yang terus menyebar. Saya tak meliha ada tempat yang aman dari match fixing dan match manipulation di dunia ini. Semua region di dunia ada ancaman yang sama,” ujar Ralf dalam Kongres International Association of Sports Law (IASL) di Bali, Selasa (29/10).

Pria yang sehari-hari bertugas mengawasi pengaturan skor, pelanggaran dan korupsi di sepakbola ini  mengatakan pada setiap kegiatan sepakbola di bawah FIFA selalu ada upaya infiltrasi dari kejahatan yang terogranisir ini,” ujarnya.

Ralf mengatakan para pelaku atau aktor pengatur skor tak hanya lagi menyuap perangkat pertandingan seperti pemain, wasit, pelatih dan sebagainya, bahkan mereka sudah mulai ‘mengakuisisi’ klub sepakbola. “Pengatur skor mulai ingin men-take over klub,” ujarnya.

Lebih lanjut, Ralf menegaskan bahwa FIFA menerapkan ‘zero tolerance’ kepada pelaku pengaturan skor dan manipulasi pertandingan. Menurutnya, sekecil apapun manipulasi pertandingan bisa membunuh sepakbola dan menghancurkan permainan.

“Ada satu pengaturan skor pun itu sudah terlalu banyak,” tuturnya. 

Ralf menegaskan FIFA tak bisa menyelesaikan masalah ini sendirian. Karenanya, untuk memerangi korupsi di sepakbola, FIFA harus melibatkan anggota-anggotanya di seluruh dunia. FIFA juga telah menyiapkan alur penyelesaian kasus korupsi di sepakbola.

Pertama, FIFA mengedepankan pencegahan. “Untuk memerangi korupsi, dimanapun, cara pencegahan adalah kunci sukses,” ujarnya. Namun, bila cara ini belum berhasil, FIFA sudah menyiapkan tahap kedua yakni deteksi dan pengawasan.

“Di tahap deteksi dan pengawasan, FIFA sudah menyiapkan sebuah early warning system. Kami akan mengawasi pasar taruhan dan akan melihat bila ada trend yang mencurigakan,” tambahnya.

Bila ada pertandingan yang dicurigai, maka FIFA akan segera mengumpulkan informasi dari sejumlah pihak, seperti media massa atau penegak hukum. Sistem laporan ini bersifat rahasia. Lalu, bila kecurigaan semakin menguat, maka FIFA akan melakukan investigasi.

“Terakhir adalah rekomendasi sanksi dari FIFA Integrity Team yang latar belakangnya multidisiplin, seperti dari keamanan, wartawan dan orang hukum,” tambahnya.

Meski ‘match fixing’ telah diatur dalam kode etik dan kode perilaku FIFA, Ralf berharap agar hukum di masing-masing di negara anggota FIFA bisa menindak kejahatan ini. “Walau, saya paham bahwa penegakan hukum di masing-masing negara cukup kompleks dan berbeda,” tuturnya.

Campur Tangan Negara
Direktur Indonesia Lex Sportiva Instituta, Hinca Pandjaitan mengatakan dirinya adalah penganut teori dalam hukum olahraga bahwa negara tak boleh terlalu ikut campur dalam urusan olahraga. “Negara cukup menyediakan fasilitas. Biarkan rakyat yang mengurus urusan olahraganya sendiri,” ujarnya.

Dalam konteks pengaturan skor, Hinca berpendapat biarkan penjatuhan hukuman berada di tangan federasi sepakbola, bukan di tangan negara. Apalagi, bila terjadi suap-menyuap dalam dunia sepakbola, negara belum mempunyai instrumen hukum untuk menjeratnya. “Suap atau korupsi itu kan hanya kepada penyelenggara negara. Suap kepada wasit atau pemain, misalnya, tak bisa dipidana,” tuturnya.

Namun, bila suap itu terjadi dalam konteks perjudian, maka pelakunya bisa dipidana berdasarkan hukum positif yang berlaku, seperti dalam KUHP. “Mereka bisa dipidana bukan karena suapnya, tetapi karena judi yang  memang diatur dalam KUHP,” tambahnya.

Hinca tak setuju bila negara melalui instrumen hukum ikut-ikutan mengatur match fixing dalam permainan sepakbola. Ia menuturkan sanksi yang dijatuhi oleh federasi bisa lebih berat dari sanksi negara. “Contohnya, federasi bisa melarang pemain bermain seumur hidup. Itu kan seperti menjatuhkan kematian perdata kepada pemain itu. Sanksi negara yang bagaimana yang bisa seperti itu,” ujar Ketua Komisi Disiplin (Komdis) PSSI itu.                                                             

Sebelumnya, General Manager Asosiasi Pemain Profesional Indonesia (APPI) Valentino Simanjuntak mengatakan pengaturan skor juga sempat menjadi fokus perhatian dalam pertemuan tahunan FIFPro (organisasi atlet profesional di dunia) di Slovenia, pekan lalu. Ia mengungkapkan FIFPro fenomena pengaturan skor permainan disebabkan oleh dua hal.

Pertama, karena gaji pemain sepakbola atau atlet tidak dibayar oleh klubnya. Akibatnya, dia tak bisa membayar tagihan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga. “Ini salah satu alasan yang populer mengapa pemain ikut terlibat dalam pengatur skor,” tutur pria yang hadir sebagai peserta dalam kongres ini.

Kedua, karena pemain atau olahragawan dipaksa oleh klubnya sendiri. Valentino berharap agar setiap lembaga terkait bekerja sama menyelesaikan persoalan ini. “Atlet harus dijamin kesejahteraannya. Hak dasarnya seperti gaji dan asuransi,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait