FH UGM Minta Presiden dan DPR Harus Hentikan Praktik Autocratic Legalism
Utama

FH UGM Minta Presiden dan DPR Harus Hentikan Praktik Autocratic Legalism

Caranya, menghentikan Revisi UU Pilkada dan pembahasan RUU yang menggerogoti demokrasi dan negara hukum pada masa transisi pemerintahan, antara lain RUU TNI, RUU Polri, RUU Penyiaran, RUU Dewan Pertimbangan Agung, dan RUU Mahkamah Konstitusi.

Agus Sahbani
Bacaan 3 Menit

Untuk itu, Kami, dosen, mahasiswa (sivitas akademika) Fakultas Hukum UGM menyerukan. Pertama, Presiden dan DPR menghentikan proses Revisi UU Pilkada dan mematuhi Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 tanggal 20 Agustus 2024. Kedua, KPU segera menindaklanjuti kedua putusan MK tersebut.

Ketiga, Presiden dan DPR menghentikan pembahasan rancangan undang-undang yang menggerogoti demokrasi dan negara hukum pada masa transisi pemerintahan, antara lain RUU TNI, RUU Polri, RUU Penyiaran, RUU Dewan Pertimbangan Agung, dan RUU Mahkamah Konstitusi.

Keempat, Jika Revisi UU Pilkada dan berbagai RUU yang bermasalah terus dilanjutkan dengan mengabaikan Putusan MK, maka kami menghimbau insan akademik dan segenap komponen masyarakat sipil melakukan perlawanan terhadap tirani dan autokrasi rezim Presiden Joko Widodo dan partai politik pendukungnya.

Pihaknya mencermati berbagai rancangan undang-undang yang sedang dipersiapkan oleh DPR pada masa transisi pemerintahan menyimpan sejumlah bahaya bagi kelangsungan demokrasi dan negara hukum di Indonesia. Seperti, RUU TNI dan RUU Polri yang akan mengembalikan "Dwi-Fungsi ABRI" yang dipraktikkan pada masa Orde Baru; RUU Penyiaran yang akan membatasi kontrol media melalui jurnalisme investigative; RUU Mahkamah Konstitusi yang akan mengocok ulang komposisi hakim konstitusi agar bisa dikontrol oleh pemerintah; RUU Dewan Pertimbangan Agung yang akan menghidupkan kembali lembaga yang sudah dihapuskan oleh konstitusi.

“Praktik autocratic legalism (penggunaan instrumen hukum demi memperkuat/melanggengkan kekuasaan, red) ini harus segera dihentikan!”

Sebelumnya, Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Aan Eko Widiarto menilai apa yang dilakukan oleh DPR dan presiden terkait penetapan batas usia calon gubernur dan wakil gubernur adalah pelanggaran konstitusi. Dia secara tegas mengatakan putusan MK memiliki derajat yang lebih tinggi daripada putusan MA.

“Putusan MK dan MA, dua putusan ini adalah diametral. Nah dari diametralnya, yang berlaku tentu adalah putusan MK karena putusan MK menafsirkan UU. Kalau MK menafsirkan UU dan sudah dimaknai sebagaimana putusan MK, maka bunyi UU yang usia bakal calon ditetapkan saat penetapan itu lebih berlaku dibandingkan atau mengensampingkan usia bakal calon yang ditetapkan saat pelantikan, ini versi hukumnya,” kata Aan kepada Hukumonline.

Menurutnya, dari sisi ketatanegaraan, langkah DPR dan presiden dinilai sebagai sikap tidak menghormati antara lembaga negara. Menurutnya, sesuatu yang sudah diputuskan oleh MK adalah clear, sehingga tidak ada pengingkaran dan penafsiran lain. DPR dan presiden terkesan ‘memaksa’ dalam hal aturan batas usia calon gubernur dan wakil gubernur.

Tags:

Berita Terkait