Fenomena Tumpang Tindih Hak Atas Tanah Pertambangan
Terbaru

Fenomena Tumpang Tindih Hak Atas Tanah Pertambangan

Sengketa dan tumpang tindih hak atas tanah seringkali menjadi isu yang tidak terhindarkan, ini penyebab dan solusinya.

Tim Publikasi Hukumonline
Bacaan 4 Menit
Diskusi Hukum Pertanahan: “Solusi Terhadap Permasalahan Tumpang Tindih Lahan Antara Hak Atas Tanah dengan Area Kerja Pertambangan” yang diselenggarakan Indonesian Mining Association (IMA) pada Rabu (12/10)
Diskusi Hukum Pertanahan: “Solusi Terhadap Permasalahan Tumpang Tindih Lahan Antara Hak Atas Tanah dengan Area Kerja Pertambangan” yang diselenggarakan Indonesian Mining Association (IMA) pada Rabu (12/10)

Memastikan status kepemilikan tanah sebelum pelaksanaan aktivitas tambang merupakan hal esensial yang harus menjadi perhatian pelaku usaha. Namun, permasalahan terkait sengketa hak atas tanah seringkali menjadi isu yang tidak terhindarkan, baik terhadap pemilik tanah maupun terhadap perusahaan dan pihak lain.

Salah satu penyebab permasalahan itu terjadi adalah adanya fenomena tumpang tindih terhadap hak atas tanah. Lebih lanjut, fenomena ini dibahas secara detail melalui webinar bertajuk Diskusi Hukum Pertanahan: “Solusi Terhadap Permasalahan Tumpang Tindih Lahan Antara Hak Atas Tanah dengan Area Kerja Pertambangan” yang diselenggarakan Indonesian Mining Association (IMA) pada Rabu (12/10).

Melalui kesempatan tersebut, Yagus Suyadi, Staf Ahli Bidang Hukum Agraria dan Masyarakat Adat Kementerian ATR/BPN RI, menyampaikan bahwa pada dasarnya Kementerian ATR/BPN telah menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia. Penyelenggaraan tersebut dilakukan untuk menjamin kepastian hukum penggunaan tanah, termasuk halnya penggunaan tanah dalam pertambangan.

Agar tanah dapat dipergunakan untuk usaha pertambangan, terdapat proses panjang yang harus dilakukan oleh pelaku usaha. Salah satunya adalah mengurus perizinan. Pengurusan perizinan ini pun nantinya berkesinambungan. Adapun contoh perizinan yang harus diurus adalah izin lokasi (KKPR), yang merupakan prasyarat utama untuk memperoleh hak tanah yang diperlukan untuk usaha. 

Munculnya fenomena tumpang tindih hak atas tanah timbul saat adanya pelanggaran berkaitan dengan izin usaha dan penyelewengan izin usaha terhadap tanah. Sebagai contoh kasus, dalam pelanggaran pada usaha perkebunan, setidaknya ada tiga skema yang seringkali, yakni:

  1. perusahaan perkebunan belum memiliki hak atas tanah;
  2. Perusahaan perkebunan atas kawasan hutan tidak dilengkapi perizinan, atau terjadinya tumpang tindih dengan fungsi kawasan hutan; dan
  3. Dijumpai adanya tumpang tindih perizinan antara izin perkebunan dengan pertambangan.

Ketiga skema tersebut menimbulkan potensi terjadinya sengketa kewilayahan, sengketa hak, maupun sengketa penguasaan atas tanah.

Jika melihat dari sisi regulasi, Yagus Suyadi memaparkan bahwa terdapat irisan antara Undang-Undang No. 39 tahun 2014 tentang Perkebunan dan Undang-Undang No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. 

Pada UU Perkebunan, sebagian besar hasil akhir merupakan diterbitkannya sertifikat hak atas tanah. Sedangkan, pada UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara lebih menekankan bahwa tidak semua wilayah pertambangan dapat diterbitkan sertifikatnya. “Perbedaan terkait terdaftar atau tidaknya pada BPN dan batasan wilayah penguasaan berdasarkan dua regulasi tersebut menimbulkan tumpang tindih terhadap penguasaan tanah pertambangan” paparnya.

https://lh5.googleusercontent.com/91v-SEvkf_DdaG3z0GvvHsKfyjSL7jzlIbj_v00c5gwPJGG6KaAI6trCtPsVaV7Gn_1t7IbIVrP2kGPKYMjWOgCFKdKTNItz1MrBLTQzT5yoBAFTUtMtPVR4pLA8j_xKFtUCSZ0IsZ1LTXtVBo4SOgXYMQKAVMChmeK9qe5UsRiMykEuJLiuEDK68Q

Dilanjutkan Yagus Suyadi, guna meminimalkan terjadinya sengketa konflik tanah antara perkebunan dan pertambangan, setidaknya ada enam upaya yang dapat dilakukan.

  1. Pemetaan lokasi usaha perkebunan dan pertambangan.
  2. Penertiban usaha perkebunan/pertambangan dengan pemberian hak atas tanah.
  3. Membatasi jangka waktu maksimal pengusahaan perkebunan.
  4. Sinkronisasi penerbitan perizinan.
  5. Merumuskan tipologi konflik dan penyelesaiannya.
  6. Sinkronisasi regulasi perizinan usaha (KKPR).

Pada kesempatan yang sama, Bambang Sujito, Koordinator Hukum Direktorat Jenderal Minerba Kementerian ESDM RI, memaparkan bagaimana penentuan wilayah pertambangan di Indonesia dilakukan.Terkait definitif penetapan wilayah pertambangan, Bambang Sujito menyatakan pada dasarnya terdapat dua definisi wilayah pertambangan, yaitu wilayah pertambangan dan wilayah hukum pertambangan. 

Wilayah Hukum Pertambangan (WHP) di Indonesia sendiri terdiri atas dua wilayah, yakni non-wilayah pertambangan dan wilayah pertambangan. Wilayah pertambangan (WP) sebagai bagian dari wilayah hukum pertambangan merupakan landasan bagi penetapan kegiatan usaha pertambangan. Penentuan wilayah pertambangan ini ditetapkan oleh pemerintah pusat, setelah sebelumnya ditentukan pemerintah provinsi dan hasil konsultasi dengan DPR RI.

Bambang Sujito juga menambahkan bahwa meskipun demikian, penetapan wilayah pertambangan maupun wilayah usaha pertambangan tetap berdasarkan usulan pemerintah daerah. Pasalnya, pemerintah daerah merupakan pihak yang paling memahami terkait pemetaan wilayah daerahnya. “Dengan demikian, setiap izin sektor pertambangan yang diterbitkan, harus sesuai peruntukan dan kawasan budidaya yang diperbolehkan dilakukan kegiatan pertambangan” ujarnya.

Pembagian wilayah pertambangan di Indonesia sendiri terbagi-bagi menjadi beberapa jenis dan kriteria, seperti Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) batubara dan non-batubara, Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), Wilayah Usaha Pertambangan Khusus (WUPK), dan Wilayah Percadangan Negara (WPN).

https://lh5.googleusercontent.com/WpOd7UtNoyAO0YxZTTeS4ImD8elxy0zSYlNezqWNAbvhDkMtPAjm4vZDFKGsysxfeioH_SbW-BY2D0IrPYXwaGkgjT76Pj2I1ze-9cImH50PBV6w6ci7j8Y7fpPwX6n0FkgEQiYA5rCEdj5Qi4xxJqZ2_FaXFBT42_MbbqeA1HeJvmQkmQr_eseG5A

Berdasarkan paparan tersebut, terlihat bahwa sengketa hak atas tanah pada area pertambangan disebabkan oleh berbagai faktor, dari adanya tumpang tindih antara satu regulasi dengan regulasi lainnya hingga adanya kemungkinan penggunaan perizinan yang tidak sesuai. Agar seluruh aktivitas dan perizinan usaha Anda sesuai dengan ketentuan terkait, Hukumonline menghadirkan Regulatory Compliance System, platform pemantauan kepatuhan hukum secara real-time dan berbasis Artificial Intelligence (AI).

Dengan RCS, Anda dapat secara jelas mengetahui setiap kewajiban hukum yang muncul beserta risiko sanksi yang mengintai jika kewajiban tersebut tidak dipatuhi. Seluruh ekstraksi kewajiban hukum akan Anda dapatkan secara otomatis dengan bantuan Artificial Intelligence. Ingin merasakan secara langsung manfaat dari Regulatory Compliance System? Klik di sini atau hubungi [email protected] untuk ajukan demo, tanpa komitmen!

Tags: