Fenomena Istri Bekerja; Tak Persoalkan Nafkah Perceraian?
Seluk Beluk Hukum Keluarga

Fenomena Istri Bekerja; Tak Persoalkan Nafkah Perceraian?

​​​​​​​Seorang advokat mengaku 70-80 persen kliennya tak meminta nafkah perceraian dari mantan suami.

Aji Prasetyo
Bacaan 6 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Jumlah kepala keluarga atau kepala rumah tangga perempuan terus meningkat dari tahun ke tahun terutama di daerah konflik dan bencana. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018 sebanyak 10,3 juta rumah tangga dengan 15,7 persen perempuan sebagai kepala keluarga dengan salah satu faktor penyebab karena bercerai dengan suaminya.

Kemudian suami tidak jadi pencari nafkah utama karena difabel atau kehilangan pekerjaan, suami pergi dalam waktu lama tanpa memberi nafkah serta karena belum menikah tetapi punya tanggungan keluarga. Ada juga perempuan yang suaminya tak menjalankan fungsi sebagai kepala keluarga karena poligami, pengangguran atau sakit.

Padahal dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sudah jelas yang wajib memberi nafkah adalah suami. “Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya,” begitu bunyi Pasal 34 ayat (1) UU Perkawinan:

Kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan istri dijelaskan secara lebih rinci dalam Pasal 80 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam (KHI): sesuai dengan penghasilannya suami menanggung: a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri; b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak; dan c. biaya pendididkan bagi anak.

Kewajiban di atas, berdasarkan ketentuan Pasal 80 ayat (5) KHI, mulai berlaku bagi suami sesudah ada tamkin yang sempurnadari istri yang berarti istri telah merelakan dirinya untuk melayani suaminya, dalam konteks ini, yaitu berhubungan badan (dukhul). Berdasarkan pasal diatas, apabila istri telah memberikan tamkin yang sempurna maka suami tidak hanya menanggung biaya bagi anak, namun juga keperluan istri.

Namun di beberapa daerah apalagi kota besar, banyak dari istri yang mempunyai penghasilan lebih besar daripada suami, tak jarang pula mereka yang justru menjadi kepala rumah tangga. Dilansir dari Huffington Post, Studi dari Harvard Business School menyebutkan, kesenjangan penghasilan bisa memiliki dampak besar pada hubungan, terutama jika penghasilan istri lebih besar daripada suami.

Setidaknya ada lima potensi masalah yang akan terjadi, pertama mempengaruhi kehidupan keintiman berhubungan badan antara suami istri, kedua suami merasa diremehkan, ketiga istri tidak nayaman karena merasa mempunyai tanggung jawab lebih besar, suami merasa tidak berguna dan terakhir suami dan istri justru mempunyai tugas yang berkebalikan.

Jika hal ini terjadi maka perpecahan rumah tangga yang berujung perceraian sudah di depan mata. Pertanyaannya bagaimana jika hal itu benar-benar terjadi?

Ahli Hukum Perkawinan Fal Arovah Windiani mengatakan jika terjadi talak maka hak bagi seorang istri untuk mendapatkan nafkah meskipun penghasilan istri lebih besar daripada suami. Pada Pasal 149 KHI menyebutkan bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib memberikan nafkah mut’ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul.

Kemudian memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telahdi jatuhi talak ba1in atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil, melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al dukhul dan memeberikan biaya hadhanan untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.

Sementara dalam Pasal 158 KHI menyebutkan mut’ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat belum ditetapkan mahar bagi istri ba`da al dukhul dan juga perceraian itu atas kehendak suami. Kalau pada waktu ditalak hak itu melekat. Kalau istri kan statusnya hak, itu tergantung pada yang bersangkutan. Kalau dilihat dari formasi cerai, cerai gugat dan cerai talak, kalau suami yang ajukan cerai hak melekat ke istri, kalau istri minta atau tidak tergantung dia,” ujar Arovah kepada Hukumonline.

Arovah menjelaskan dalam suatu rumah tangga jika suami dan istri sama-sama mempunyai hal itu cukup wajar dan merupakan kerja sama antar keduanya. “Di Al-Quran Surat An-Nisa ayat 1, itu penekanan Allah untuk saling minta. Dalam Bahasa hukum ada istilah equal, setara, kalau di Quran itu bukan hanya setara, tapi setara dalam minta, flat nya ke bawah. Kalimat itu menarik buat saya,” ujar wanita yang pernah menjadi Calon Hakim Agung ini.

Berikut terjemahan Quran Surat An-Nisa yang dimaksud: “Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)-nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu,”

Pengajar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta ini menambahkan, jika istri mempunyai penghasilan maka itu untuk dirinya sendiri, dan apabila ia memberikan nafkah untuk keluarga itu dinamakan Shodaqoh. Sebaliknya, jika suami memberi nafkah untuk keluarga itu memang sudah merupakan kewajibannya.

“Di UU 1 1974 (UU Perkawinan) berbeda dengan KHI. Di UU 1974, itu ada namanya harta bersama, sementara di KHI pada dasarnya tidak ada harta bersama. Konsep islam, apa yang dihasilkan istri milik istri seluruhnya,” jelasnya.

Baca:

Tak meminta

Ahmad Ramzy, advokat yang menangani perkara perceraian menambahkan dari pengalamannya justru mayoritas klien yang ditangani tidak mempermasalahkan tentang nafkah. Sebab mereka sebenarnya hanya ingin berpisah dengan pasangan karena merasa sudah tidak bisa lagi mempertahankan rumah tangga.

“Mungkin ada sekitar 70-80 persen perkara yang saya tangani di Jakarta tidak mengajukan nafkah. Rata-rata mereka tidak mau terhalang perceraian gara-gara nafkah, itu alasan mereka tidak mengajukan nafkah-nafkah itu, karena kan intinya cerai,” pungkasnya.

Mantan Ketua DPW Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI) Jakarta ini menjelaskan biasanya klien yang pernah ditangani sebelum menikah sudah mempunyai perjanjian dengan pasangan. Sehingga jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan seperti perceraian maka salah satu pihak tidak mau merepotkan atau memperdebatkan nafkah-nafkah ini.

“Ada deal sebelum bercerai, ada juga biasanya si istri tau kemampuan suami, daripada menuntut malah masalah panjang sehingga tidak mau,” tuturnya.

Menurut Ramzy fenomena seperti ini untuk di kota besar seperti Jakarta bukan hal yang aneh. Karena pasangan yang bercerai sebenarnya hanya ingin mempermudah proses perceraian secara resmi sehingga hak-hak yang seharusnya bisa mereka dapatkan, khususnya dari sisi istri seperti mut’ah, nafkah iddah, kiswah, hingga nafkah anak tidak menjadi prioritas utama.

“Dari pengalaman saya Pengadilan Agama justru lebih menyarankan kalau mau cerai ya cerai dulu aja, kalau soal harta gono gini itu gugatan menyusul,” terangnya.

Cabut gugatan nafkah anak

Salah satu contoh perkara perceraian di mana pihak istri tidak menuntut adanya pemberian nafkah pada anak belum mumayyiz yang diperoleh hukumonline yaitu pada suatu perkara yang diputus di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sebenarnya, di sini Penggugat (mantan istri) meminta kepada pengadilan agar ia memperoleh hak asuh bagi anaknya yang belum mumayyiz yang tidak diputuskan dalam putusan perceraian sebelumnya.

Mulanya penggugat yang bekerja di salah satu bank swasta nasional meminta majelis pada petitum ketiga untuk mengabulkan gugatan pemberian nafkah sebesar Rp4 juta per bulan ditambah dengan biaya pendidikan dan kesehatan sampai anak dewasa dan bisa mandiri. Namun belakangan gugatan itu dicabut oleh penggugat.

“Oleh karena itu, maka dibacakan gugatan Penggugat kemudian Penggugat menyatakan mencabut gugatan pada poin tiga gugatan tentang nafkah anak, terhadap gugatan hak pemeliharaan/hadhanah tetap dipertahankan oleh Penggugat,” ujar majelis.

Untuk membuktikan dalil gugatan, Penggugat memberikan bukti baik itu surat keterangan bahwa Penggugat adalah Ibu kandung dari anak Penggugat dan Tergugat melalui akta kelahiran Kepala Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Jakarta Pusat, bertanggal 30 April 2003 dan bukti-bukti lainnya dan fotokopi akta cerai bertanggal 22 Desember 2011.

Selain itu Penggugat juga menghadirkan dua saksi, pertama ibu kandung Penggugat dan kedua kakak kandung Penggugat. Dalam kesaksiannya kedua saksi tersebut salah satu keterangan yang disampaikan yaitu Penggugat yang membiayai dan menafkahi anaknya, karena Penggugat bekerja dan memperoleh penghasilan tetap.

Karena pihak Tergugat tidak hadir walaupun telah dipanggil secara patut, dan melihat dari bukti, keterangan saksi serta peraturan perundang-undangan yang berlaku serta pendapat ahli fiqih dari kitab I’anatuthalibin jilid IV 101-102 yang artinya “Diutamakan mengurus anak yang belum mumayyiz ialah ibunya yang janda dan kalau sudah mumayyiz dan ibu bapaknya telah bercerai, maka dia boleh tinggal di pihak mana yang ia suka,” maka majelis menetapkan Penggugat memperoleh hak asuh anak yang ketika putusan ini dibuat masih usia sekolah di Sekolah Menengah Pertama.

Sementara mengenai nafkah yang gugatannya dicabut, majelis tidak mempertimbangkan lagi hal tersebut. “Menimbang, bahwa Penggugat mencabut gugatannya tentang nafkah anak, oleh karena itu terhadap gugatan tersebut dipandang tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut,” ujar majelis hakim yang diketuai Muh. Rusydi Thahir dengan anggota Athiroh Muchtar dan Zaenal Arifin tersebut.

Tags:

Berita Terkait