Fee Lawyer Jadi Alibi Samarkan Pemberian Suap?
Berita

Fee Lawyer Jadi Alibi Samarkan Pemberian Suap?

Jaksa menilai skema tersebut sudah disiapkan sebelumnya.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi honorarium advokat di Indonesia. Ilustrator: BAS
Ilustrasi honorarium advokat di Indonesia. Ilustrator: BAS

Perkara dugaan korupsi yang dilakukan mantan Presiden Komisaris Lippo Group, Eddy Sindoro hampir usai. Pada Jumat (1/3) kemarin, penuntut umum telah menyampaikan tuntutannya yang meminta majelis hakim menghukum Eddy dengan pidana penjara selama 5 tahun denda Rp250 juta subsider 6 bulan kurungan.

Terdakwa dianggap bersalah karena dinilai terbukti memberikan uang sebesar Rp150 juta dan AS$50 ribu kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution. Pemberian itu terkait dengan dua perkara perdata yaitu menunda proses pelaksanaan aanmaning terhadap PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) dan kedua menerima pendaftaran Peninjauan Kembali (PK) PT Across Asia Limited (AAL) meskipun pada dasarnya sudah melewati batas waktu.

Dari salinan surat tuntutan yang diperoleh hukumonline, ada beberapa fakta menarik dalam perkara ini. Salah satunya penuntut umum menyebut pemberian suap kepada Edy Nasution sengaja disamarkan sebagai pembayaran fee lawyer.

“Berdasarkan percakapan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan uang untuk lawyer memang dari awal sudah disiapkan sebagai alibi (illegaly underlying transaction) dalam penggunaan uang yang sebenarnya, sehingga pengeluaran uang yang sebenarnya untuk diberikan kepada Edy Nasution seolah-olah untuk fee lawyer,” ujar penuntut umum dalam surat tuntutannya.

(Baca juga: Kode ‘Nasi Uduk’ untuk Bantu Pelarian Eddy Sindoro).

Percakapan yang dimaksud yaitu antara  Wresti Kristian Hesti, pegawai legal PT Artha Pratama Anugrah dengan Eddy Sindoro melalui Blackberry Messenger (BBM). ““…Yang kedua Pak, sya td sdh discuss dgn Pak SA, utk yg hrsnya dikirim ke Oscar apa bs lewat transfer rek drMTP sbg pembayaran lawyer (sbg salah satu upaya mengeluarkan dana MTP juga), blm dijawab oleh Oscar tp sya coba f/u ke bu Mariasptnya tdk bisa. Utk kepastian jawaban Oscar baru bs stlh jam 6 pm.Please advise, tks.”. Begitu bunyi percakapan seperti dikutip dari tuntutan jaksa.

Oscar yang dimaksud menurut penuntut umum dalam tuntutannya diduga Oscar Sagita, Managing Partner pada Kantor Hukum Lucas SH & Partners, sedangkan Maria yang dimaksud diduga adalah staf pada kantor hukum yang sama. Sedangkan inisial “Pak SA” diketahui adalah Suhendra Atmadja, mantan Presiden Komisaris Lippo Securities.

Menurut penuntut, keterangan Direktur PT MTP Hery Soegiharto di depan persidangan menerangkan uang sejumlah Rp100 juta yang diberikan kepada lawyer Aga Khan karena ada rencana ekspansi usaha di bidang perkebunan sawit dianggap tidak masuk akal karena tidak didukung dengan alat bukti dan legal reasoning yang cukup serta bertentangan dengan fakta dan alat bukti yang diajukan dipersidangan.

“Berdasarkan percakapan telepon antara Wresti Kristian Hesti dengan Hery Soegiarto masing-masing pada tanggal 17 Desember 2015 pukul 10.01.40 WIB, tanggal 16 Desember 2015 pukul 10.18.45 WIB, yang kesemuanya membahas tentang uang Rp100 juta untuk mengurus aanmaning PT MTP,” terang penuntut.

Dari keterangan saksi dan alat bukti di persidangan termasuk dua percakapan itulah penuntut umum meyakini Eddy Sindoro memberi suap kepada Edy Nasution selaku Panitera Pengadilan Negeri Jakarta pusat dimaksudkan untuk membantu menunda pelaksanaan aanmaning terhadap PT MTP atas Putusan Singapore Internasional Abitration Centre (SIAC) dalam perkara Nomor 62 Tahun 2013 tertanggal01 Juli 2013, ARB No. 178 Tahun 2010.

(Baca juga: Ada Peran Advokat dalam Kasus Suap Eks Bos Lippo Group).

Isi putusannya antara lain PT MTP dinyatakan wanprestasi dan diwajibkan membayar ganti rugi kepada PT KYMCO sebesar AS$11,1 juta. Aanmaning terhadap PT MTP yang seharusnya dilakukan pada tanggal 22 Desember 2015 akhirnya ditunda sampai bulan Januari 2016, bahkan sampai dengan sekarang aanmaning terhadap PT MTP tersebut belum pernah dilakukan.

Bantahan Eddy Sindoro

Atas tuntutan ini, Eddy pun telah menyampaikan pembelaannya pada Senin, (4/3). Secara umum ia membantah semua surat dakwaan KPK dan meminta majelis hakim memberikan vonis bebas. Ia mengklaim dari keterangan saksi dirinya tidak terbukti menyuap Edy Nasution.

Setidaknya ada enam fakta sidang yang menurutnya sesuai dengan bantahannya. Pertama, Eddy mengaku tidak memiliki kedudukan dan kepentingan apapun terkait PT Metropolitan Tirta Perdana (PT MTP). Kedua, ia mengklaim tidak pernah memerintahkan PT MTP memberikan uang kepada Edy Nasution.

Ketiga, ia menyatakan tidak mempunyai kepentingan dan kaitan dengan PT Across Asia Limited (AAL). Keempat, menurut Eddy, fakta menunjukkan dia tidak terkait dan tidak tahu mengenai pemberian uang kepada Edy Nasution sehubungan pengajuan peninjauan kembali PT AAL.

Kelima, ia mengaku tidak terkait dan tidak tahu pemberian uang Rp 50 juta kepada Edy Nasution. Keenam, terdakwa merasa tidak ada kaitannya dengan pemberian uang Rp50 juta sebagai kado pernikahan anak Edy Nasution yang diserahkan oleh saksi Ervan Adi Nugroho. "Ketetangan para saksi sebagai fakta sidang sehingga diperoleh fakta tidak ada uang bersumber dari saya," tuturnya.

Oleh karena itu ia meminta majelis hakim untuk membebaskan dirinya dari tuntutan pidana. “Saya memohon agar yang mulia menyatakan tuntutan jaksa tidak terbukti sah dan meyainkan. Kemudian membebaskan saya dari tuntutan hukum,” harapnya.

Menurut rencana, perkara ini sendiri akan diputus majelis hakim Pengadilan Tipikor, Jakarta pada Rabu (6/3). Menarik ditunggu apa pertimbangan majelis terkait dengan dugaan perbuatan yang dilakukan Eddy Sindoro berikut pertimbangannya termasuk mengenai alibi fee lawyer untuk pemberian suap ini.

Tags:

Berita Terkait