Fee Kurator Dipangkas Demi ‘Solidaritas’
Berita

Fee Kurator Dipangkas Demi ‘Solidaritas’

Agar perbedaannya tak terlalu mencolok dengan profesi penegak hukum lain.

HRS/M-14
Bacaan 2 Menit
Ketua AKPI Ricardo Simanjutak. Foto: Sgp
Ketua AKPI Ricardo Simanjutak. Foto: Sgp

Peraturan terbaru yang mengatur fee kurator sudah dikeluarkan Menkumham pada 11 Januari 2013 lalu. Secara umum, aturan tersebut memangkas fee yang berhak diterima kurator atau pengurus setelah mengurusi harta debitor. Selain itu, fee kurator akan dibebankan kepada pemohon bila Mahkamah Agung membatalkan putusan pailit.

Ketua Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) Ricardo Simanjutak menegaskan bahwa peraturan ini dibuat oleh Kementerian Hukum dan HAM tanpa melibatkan AKPI sebagai salah satu pemangku kepentingan dalam hukum kepailitan.

Para kurator mempunyai pandangan beragam soal pengurangan fee. James Purba misalnya. Kurator yang juga berprofesi sebagai advokat ini mempertanyakan alasan pemerintah yang mengurangi fee kurator. Menurut dia, kurator berhak mendapatkan fee yang besar karena tanggung jawabnya juga besar. “Kalau bisa justru ditambah fee kuratornya,” seloroh James kepada hukumonline, Selasa (29/1) di Jakarta.

Senada, Imran Nating tak mempersoalkan pengurangan fee kurator. Ia juga menanyakan apa yang menjadi latar belakang pemerintah mengeluarkan kebijakan seperti itu.

Sementara Ricardo enggan berpendapat lebih jauh. Menurutnya, besar-kecilnya fee kurator akhirnya akan dihubungkan juga dengan seberapa banyak jam kerja (work hour) yang telah dilakoni kurator dalam mengurus harta debitor.

Terpisah, Direktur Perdata Kementerian Hukum dan HAM, Lilik Sri Haryanto membeberkan alasan pengurangan fee kurator. Alasannya sangat sederhana. Yaitu agar tak terjadi kesenjangan yang mencolok antara kurator dan profesi hukum lainnya seperti hakim dan jaksa.

“Nah, rasionalisasi ini dibandingkan dengan pekerja hukum lain, hakim, jaksa, dan lain-lain. Kalau untuk satu kasus saja kurator dapat (fee, red) 2 triliun, sementara hakim yang kerja bertahun-tahun saja tidak bisa dapat segitu. Jadi pemikiran kita sederhana saja, karena sifatnya rasionalisasi dengan pekerja hukum lainnya,” kata Lilik kepada hukumonline, Senin (21/1). 

Seperti biaya perkara
Terkait pembebanan fee kurator kepada pemohon pailit bila Mahkamah Agung membatalkan putusan pailit, Ricardo di satu sisi menebak aturan itu diterapkan untuk melindungi kepentingan debitor.

Dengan ketentuan itu, kata Ricardo, pemohon harus ekstra hati-hati dalam mengajukan permohonan pailit. Karena bila tidak punya bukti kuat, dan kemudian Mahkamah Agung membatalkan putusan pailit, si pemohon harus siap-siap merogoh kocek untuk membayar fee kurator.

Tapi Ricardo mewanti-wanti agar hakim konsisten dengan syarat pailit yang diatur dalam  UU Kepailitan. Syarat itu antara lain adanya minimal dua utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih serta pembuktian yan sederhana.

“Jangan sampai sebenarnya utang tersebut dapat ditagih ternyata diputus tidak pailit atau sebaliknya karena hakim tidak mengerti,” kata Ricardo kepada hukumonline lewat telepon, Jumat (18/1).

Namun ketentuan pembebanan fee kurator kepada pemohon pailit ini dikhawatirkan akan menimbulkan masalah baru. James misalnya yang mencontohkan pemohon pailit sebagai kreditor dapat ‘dirugikan’ dua kali. “Memohon pailit itu sama dengan menagih utang. Dia utangnya saja tidak terbayar, disuruh tambah lagi bayar fee kurator.”

Sementara Lilik punya alasan sendiri mengapa fee kurator dibebankan kepada pemohon pailit bila Mahkamah Agung membatalkan putusan pailit. Ia membandingkan dengan perkara perdata yang mewajibkan pihak yang kalah membayar biaya perkara. “Nah, kalau dia pailitkan dirinya sendiri dan ditolak, maka dia yang bayar. Demikian kalau kreditor kalah, dia juga yang harus bayar.”

Tags:

Berita Terkait