Fatwa MA yang Menjadi Kontroversi
Utama

Fatwa MA yang Menjadi Kontroversi

Kontroversi Fatwa MA tentang pemisahan kekayaan BUMN dari kekayaan negara terus menggelinding. Terakhir, Presiden dikabarkan sudah menandatangani revisi PP No. 14 Tahun 2005.

Tif
Bacaan 2 Menit

 

Anwar Nasution termasuk diantara yang mengkritik. Ketua BPK itu mengatakan bahwa Fatwa MA No. WKMA/Yud/20/VIII/2006 tersebut tak bisa diterapkan di Indonesia. Fatwa semacam itu hanya bisa diterapkan di negara yang memiliki tata kelola pemerintahan yang baik. Berbeda dengan isi fatwa, Anwar berpendapat bahwa kekayaan negara yang dipisahkan tetap merupakan kekayaan negara. Setiap penggunaan anggaran negara tetap harus diperiksa untuk dipertanggungjawabkan kepada pemegang hak budget, ujarnya.

 

Pendapat senada disampaikan Jampidsus Hendarman Supandji. Menurut dia, jangankan kekayaan BUMN plat merah, uang negara yang dipakai swasta sekalipun tetap menjadi uang negara dalam rezim pemberantasan korupsi. Kalaupun BPK misalnya tidak melakukan audit, aparat hukum seperti kejaksaan, tetap bisa meminta BPK melakukan audit terhadap setiap penggunaan uang negara.

 

Kalaupun ada niat Pemerintah memberikan haircut, kata Hendarman, tetap harus melalui koridor hukum. Misalnya, harus dipertanyakan apakah pengucuran kredit oleh BUMN sudah memenuhi prinsip kehati-hatian atau prinsip enam C yang dikenal dalam perkreditan? Kalau ternyata ngemplang, tegas Hendarman, tetap masuk ranah pidana.

 

Hendarman juga memberi contoh BLBI. Penyalurannya ada yang benar, sehingga bukan tindak pidana korupsi. Tetapi ada yang merugikan negara. Maka dilakukanlah langkah perdata untuk mengembalikan kerugian negara tersebut.

 

Revisi PP No. 14 Tahun 2005 dimaksudkan untuk mempercepat penyelesaian kredit macet di bank-bank BUMN. Maklum sekitar 70 persen kredit macet perbankan berasal dari bank BUMN.

Tags: