Fatwa MA Tak Mengikat, DPR Tetap Lakukan Penyelidikan
Berita

Fatwa MA Tak Mengikat, DPR Tetap Lakukan Penyelidikan

Lantaran sudah jelas, Pemerintah mestinya melaksanakan perintah UU Pemerintahan Daerah, bukan malah meminta tafsir ke MA.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Gedung DPR. Foto: RES
Gedung DPR. Foto: RES
Sejumlah fraksi di parlemen resmi mengajukan hak angket DPR terhadap Pemerintah terkait tidak dilakukannya pemberhentian sementara Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dari jabatan Gubernur DKI Jakarta. Keputusan Pemerintah mengaktifkan kembali Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta usai menjalani cuti kampanye Pilkada ini menuai protes dari sebagian kalangan. Alhasil, Pemerintah berencana meminta fatwa Mahkamah Agung (MA).

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menegaskan meski nantinya MA menerbitkan fatwa atas permintaan Pemerintah ini, tidak menyurutkan niat DPR untuk tetap melakukan penyelidikan melalui hak angket. Menurutnya, pengawasan DPR terhadap Pemerintah sebagai amanat konstitusi terkait dugaan pelanggaran Pemerintah yang tidak melaksanakan UU Pemerintahan Daerah terkait pemberhentian sementara bagi gubernur yang telah didakwa melakukan tindak pidana yang diancam pidana 5 tahun.    

Menurutnya, kewibawaan rezim pemerintahan diukur dari ketaatan dan kedisiplinan terhadap hukum dan UU. “Itu diajukan fatwa oleh Pemerintah ke MA, tidak mengikat DPR untuk investigasi. Ini baru investigasi atas dugaan, bisa saja dalam angket tidak ditemukan pelanggaran UU,” ujarnya di Komplek Gedung Parlemen, Selasa (14/2).

Anggota Komisi III Aboe Bakar Alhabsy mengatakan Pemerintah sebaiknya tak perlu meminta fatwa MA terkait dengan polemik pengaktifan kembali Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta. Ia khawatir publik menilai Pemerintah dengan permintaan fatwa sebagai akal-akalan semata. Semestinya, Pemerintah sebagai pelaksana UU tak perlu lagi menafsirkan UU.

“Kita harus menjaga marwah Pemerintah dalam upaya menjalankan fungsi negara hukum,” katanya. (Baca Juga : Menelusuri Jejak dan Daya Ikat Fatwa MA)

Aboe berpendapat setidaknya terdapat tiga alasan kenapa Pemerintah tak perlu meminta fatwa ke MA. Pertama, aturan main dalam Pasal 83 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) sudah gamblang dan jelas. Makanya, tak perlu lagi Pemerintah minta penafsiran redaksional Pasal 83 UU Pemerintahan Daerah ke MA. “Karenanya, tidak ada yang perlu difatwakan,” katanya.

Menurutnya, Pasal 83 ayat (2) UU Pemerintahan Daerah sudah teramat gamblang dijelaskan penonaktifan seorang kepala daerah sejak diregisternya perkara di pengadilan, bukan sebaliknya dibacakannya requisitor (surat tuntutan) penuntut umum di depan majelis hakim.

Pasal 83 ayat (2) menyebutkan, “Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang menjadi terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan sementara berdasarkan register perkara di pengadilan”.

Kedua,Penjelasan Pasal 83 UU Pemda tertulis ‘cukup jelas’. Dengan kata lain, pemahaman bunyi redaksional Pasal 83 tak perlu lagi ditafsirkan kembali. Karena itu, MA tak perlu memberikan tafsir lain. “MA tidak perlu memaksakan diri untuk memberikan tafsir lain. Atau meminta penjelasan lain karena dalam UU-nya sendiri dikatakan aturan tersebut sudah jelas,” lanjutnya.

Ketiga,kata Aboe, norma tersebut dalam penerapannya sudah terlaksana dengan baik. Setidaknya terdapat lima kepala daerah yang dinonatifkan ketika resmi duduk di kursi pesakitan pengadilan. Wakil Wali Kota Probolinggo HM Suhadak misalnya. Ini  dialami Bupati Ogan Ilir Ahmad Wazir Nofiadi Mawardi, Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho, Bupati Bogor Rachmat Yasin, dan Ratu Atut Chosiyah.

Kesemuanya merupakan contoh pejabat negara yang tersandung kasus hukum hingga berujung dinonaktifkan ketika resmi menjadi terdakwa. “Selama ini semua bisa berjalan dengan baik, tanpa gugatan dan memberikan kepastian hukum. Karenanya, jika saat ini Pemerintah mengambil langkah lain (tidak menonaktifkan Ahok) akan menimbulkan ketidakpastian hukum,” ujarnya.

Politisi PDIP Eriko Sutarduga menilai permintaan Pemerintah terkait fatwa MA adalah hal wajar. Makanya, polemik silang pendapat dan perbedaan tafsir terhadap Pasal 83 UU Pemda mesti segera diakhiri oleh fatwa MA. “Saya rasa Pemerintah dalam hal ini diwakili Mendagri sangat bijaksana untuk meminta fatwa MA karena MA itu institusi hukum tertinggi. Ini yang sangat wajar. Kita tunggu fatwa MA saja,” kata anggota Komisi VI DPR ini.

Sementara MA sendiri belum mengkaji permohonan fatwa yang diajukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui Menteri Dalam Negeri terkait polemik pemberhentian sementara (nonaktif) Gubernur DKI Jakarta Nonaktif, Basuki Tjahaya Purnama. MA mengaku belum membaca surat permohonan fatwa dari Kemendagri tersebut.

“Sampai sekarang surat dari Kemendagri belum saya baca, tetapi seyogyanya persoalan ini dikaji juga di bagian hukum Kemendagri, silakan dibahas (dulu),” ujar Ketua MA M. Hatta Ali usai acara pemilihan Ketua MA dimana dirinya kembali terpilih menjadi Ketua MA untuk periode 2017-2022 di Gedung MA Jakarta, Selasa (14/2). (Baca Juga : MA Belum Kaji Permohonan Fatwa Soal Status Ahok)
Tags:

Berita Terkait