Fatwa DSN Merupakan Hukum Positif Mengikat
Berita

Fatwa DSN Merupakan Hukum Positif Mengikat

Para hakim agama dan arbiter tak melihat keterkaitan antara fatwa DSN dan peraturan perundang-undangan ada, tetapi lebih melihat kedudukan fatwa itu sendiri dalam hukum Islam yang dinilai tak mengikat.

ASh
Bacaan 2 Menit
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indnesia (DSN-MUI) Foto: Sgp
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indnesia (DSN-MUI) Foto: Sgp

Fatwa yang dikeluarkan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) merupakan hukum positif yang mengikat. Sebab, keberadaannya sering dilegitimasi lewat peraturan perundang-undangan oleh lembaga pemerintah, sehingga harus dipatuhi pelaku ekonomi syariah. Demikian salah satu kesimpulan disertasi Yeni Salma Barlinti berjudul “Kedudukan Fatwa DSN dalam Sistem Hukum Nasional”, yang telah dipertahankan dalam ujian program doktor Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI).        

 

Sidang promosi doktor itu yang digelar 15 Juli lalu itu dipimpin langsung Dekan FHUI Prof Safri Nugraha. Tim penguji terdiri dari Prof Fatturahman Djamil, Prof HM Atho’ Mudzhar, Prof Uswatun Hasanah, dan Dr Jufrina Rizal. Satu lagi anggota tim penguji, Prof Harkristuti Harkrisnowo tak bisa hadir saat ujian. Selain tim penguji, Yeni juga berhadapan dengan tim promotor yakni Prof Satya Arinanto (promotor) dan Prof Rifyal Ka’bah (co-promotor).     

 

Dalam disertasinya, Yeni berangkat dari tiga pertanyaan pokok. Pertama, mengapa ketentuan ekonomi syariah diatur dalam fatwa DSN. Kedua, bagaimana kedudukan fatwa DSN dalam sistem perundangan-undangan. Ketiga, bagaimana pemanfaatan fatwa DSN sebagai dasar pertimbangan hukum bagi hakim di lingkungan peradilan agama dan arbiter di Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) dalam perkara ekonomi syariah.   

               

Wanita yang sehari-harinya mengajar mata kuliah hukum Islam di FHUI itu, menjelaskan saat kegiatan ekonomi syariah mulai berkembang awal tahun 1990-an belum ada aturan terkait ekonomi syariah yang dijalankan lembaga keuangan syariah (LKS). Menurutnya, pembentukan fatwa bidang ekonomi syariah oleh DSN –yang dibentuk lewat SK MUI No Kep-754/MUI/II/99- untuk menghindari perbedaan ketentuan kegiatan tertentu yang dibuat Dewan Pengawas Syariah (DPS) di masing-masing LKS.

 

“Bank Syariah atau unit-unit syariah kan masing-masing punya DPS, kalau misalnya antar DPS berbeda pendapat tentang kegiatan, produk, atau jasa tertentu, ini akan menimbulkan kebingungan, sama halnya di LKS asuransi syariah, pembiayaan syariah,” katanya. “Lembaga yang bisa mengakomodir pelaku ekonomi syariah saat itu adalah MUI yang sejak awal dilibatkan pemerintah dalam pengkajian dan pelaksanaan ekonomi syariah hingga terbentuknya DSN.”  

 

Kata lain, lantaran belum ada peraturan ekonomi syariah, keberadaan fatwa DSN –hingga kini telah mengeluarkan 73 fatwa- menjadi kebutuhan dan pedoman kegiatan ekonomi syariah. “Fatwa DSN ini selain menjadi kebutuhan masyarakat juga untuk keseragaman aturan bagi pelaku ekonomi syariah,” kata Yeni.

 

Dalam perkembangannya, pemerintah -Bank Indonesia, Kementerian Keuangan atau Bapepam-LK- seringkali melibatkan DSN dalam menyusun peraturan. Misalnya, Keputusan Menkeu, Peraturan Bank Indonesia (PBI), Peraturan Ketua Bapepam-LK. DSN kerap diminta membuat fatwa terlebih dahulu ketika pemerintah akan membuat aturan.

 

“Hampir semua peraturan kegiatan ekonomi syariah di bidang perbankan, asuransi syariah, pasar modal syariah menyebutkan prinsip syariah sesuai Al-Qur’an dan Hadits yang terdapat dalam fatwa DSN-MUI,” ungkapnya.  

 

Dengan demikian, fatwa DSN-MUI menjadi pedoman atau dasar keberlakuan kegiatan ekonomi syariah tertentu bagi pemerintah dan LKS. Jadi fatwa DSN itu bersifat mengikat karena diserap ke dalam peraturan perundang-undangan. Terlebih, adanya keterikatan antara DPS dan DSN karena anggota DPS direkomendasikan oleh DSN. “Keterikatan itu juga ketika melakukan tugas pengawasan, DPS harus merujuk pada fatwa DSN.”          

   

Tak melihat keterkaitan

Dalam disertasinya terungkap bahwa hakim agama dan arbiter Basyarnas seringkali tak menjadikan fatwa DSN sebagai dasar pertimbangan karena fatwa DSN bersifat tak mengikat seperti halnya Al-Qur’an, Hadits, dan peraturan perundang-undangan. Menurut Yeni, para hakim agama dan arbiter tak melihat keterkaitan antara fatwa DSN dan peraturan perundang-undangan, tetapi lebih melihat kedudukan fatwa itu sendiri yang bukan dianggap sebagai sumber hukum Islam yang utama.    

 

“Apakah hakim agama dan arbiter tidak tahu keterkaitan itu? Mereka menyamakan fatwa DSN dengan fatwa secara umum yang tak mengikat. Memang sebagian besar ulama melihat fatwa ini tak mengikat terutama dalam kegiatan sehari-hari, tetapi fatwa dapat mengikat jika fatwa merupakan satu-satunya ketentuan yang ada,” tegasnya.                 

 

Dalam disertasi versi lengkapnya, Yeni juga membandingkan secara detil Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) dengan fatwa DSN. “Saya membuat perbandingan, saya dapatkan ada sekitar 98 pasal dalam KHES yang sama dengan fatwa DSN,” ungkapnya.   

 

Karena itu, ia menyarankan agar hakim agama dan arbiter Basyarnas hendaknya menggunakan fatwa DSN sebagai dasar pertimbangan dalam memeriksa dan memutus perkara ekonomi syariah. Mengingat, fatwa DSN bersifat mengikat berdasarkan peraturan perundang-undangan. Seperti UU No 19 Tahun 2008 Surat Berharga Syariah Negara dan UU Perbankan Syariah yang mengakui peran fatwa DSN, selain PBI, Keputusan Menkeu, Peraturan Kepala Bapepam-LK yang dibuat pejabat berwenang.

Tags: