Fadel Persoalkan Aturan Praperadilan ke MK
Berita

Fadel Persoalkan Aturan Praperadilan ke MK

Pemohon diminta lebih memperjelas dan menguraikan kerugian konstitusional.

ASh
Bacaan 2 Menit
Majelis Panel MK gelar sidang perdana uji materi Pasal 80 UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Foto: ilustrasi (Sgp)
Majelis Panel MK gelar sidang perdana uji materi Pasal 80 UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Foto: ilustrasi (Sgp)

Majelis Panel Mahkamah Konstitusi (MK) mengggelar sidang perdana uji materi Pasal 80 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara  Pidana (KUHAP) yang dimohonkan mantan Gubernur Gorontalo, Fadel Muhammad. Spesifik, ia mempersoalkan frasa “pihak ketiga yang berkepentingan” dalam pasal itu karena tafsiran frasa itu dinilai tidak jelas yang menimbulkan multitafsir.

“Ditinjau dari yurisprudensi frasa ‘pihak ketiga yang berkepentingan’ dalam Pasal 80 KUHAP mengandung ketidakjelasan yang menimbulkan perbedaan penafsiran, sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” kata kuasa hukum pemohon, Muchtar Luthfi dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang diketuai Ahmad Fadlil Sumadi di Gedung MK, Selasa (14/8).

Pasal 80 KUHAP menyebutkan permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.

Muchtar mengatakan ada pihak yang menafsirkan secara sempit, hanya sebatas saksi korban atau pelapor. Sebaliknya ada juga yang menafsirkan lebih luas meliputi masyarakat yang diwakili Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Dia menilai Pasal 80 KUHAP memungkinkan pihak ketiga yang berkepentingan mengajukan praperadilan, namun tidak dijelaskan secara gamblang siapa pihak ketiga yang dimaksud. Apa syarat-syaratnya?

Menurutnya, Pasal 80 KUHAP dapat mereduksi adanya jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil seperti dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena membuka peluang multitafsir. “Pasal 80 KUHAP menimbulkan multitafsir yang melanggar asas lex certa (kejelasan) dan lex stricta (kepastian) sebagai asas umum pembentukan perundang-undangan,” kata Muchtar.

Dia mengungkapkan kerugian konstitusional yang dialami pemohon menyangkut dibuka kembali penyidikan kasus korupsi yang melibatkan Fadel Muhammad. Dijelaskannya, sebelumnya pemohon ditetapkan sebagai tersangka korupsi dana mobilisasi untuk 45 anggota DPRD provinsi Gorontalo yang bersumber dari APBD berdasarkan surat perintah penyidikan No. 07/R.5/Fd.I/2009 tanggal 21 Januari 2009.

Namun, dugaan yang disangkakan dinyatakan tidak cukup bukti, sehingga proses penyidikan harus dihentikan lewat surat perintah penghentian penyidikan (SP-3) tanggal 21 Agustus 2009. Lalu, Gorontalo Corruption Watch (GCW) selaku pihak ketiga menggugat praperadilan di PN Gorontalo terkait SP3 Fadel, yang gugatannya dikabulkan melalui putusan praperadilan. No. 04/Pid.Praperadilan/2011/PN Gtlo.

Putusan praperadilan itu mengabulkan gugatan GCW yang menyatakan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP-3) tidak sah dan  memerintahkan Kejaksaan Tinggi Gorontalo membuka kembali penyidikan kasus pemohon. Atas dasar itu, politisi partai Golkar itu kembali ditetapkan sebagai tersangka pada 25 Juni 2012.

“Karena itu, Pasal 80 KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa ‘pihak ketiga yang berkepentingan’ tidak dimaknai termasuk pula LSM sebagai subjek hukum yang dapat menggugat dalam praperadilan,” pintanya.

Anggota majelis panel, Anwar Usman mengkritik uraian permohonan lebih banyak ke kasus konkrit daripada uraian konstitusionalitas pasal yang diuji. “Uraian permohonan lebih banyak menjelaskan kasus konkrit yang dialami pemohon,” kata Anwar. Ia menyarankan agar pemohon menambah referensi dalam uraian permohonan, misalnya putusan MA dan putusan MK praperadilan yang menyangkut praperadilan.

Anggota panel lainnya, Achmad Sodiki menyarankan pemohon agar lebih memperjelas dan menguraikan kerugian konstitusional. “Mengapa kalau pihak ketiga ditafsirkan sebagai LSM, kok Saudara menjadi rugi secara konstitusional, ini kenapa? Kalau frasa itu tidak ada/hilang, apa benar tidak akan merugikan konstutional Saudara? Ini yang perlu dipertajam,” sarannya.

Menurutnya, tidak semua LSM memiliki hak untuk menggugat semua kasus yang dinilai bermasalah, semuanya tergantung dan misi dan visi yang tercantum dalam Anggaran Dasarnya. “Tidak semua LSM bisa menganggap dirinya sebagai pihak, semuanya bisa dilihat dalam Anggaran Dasarnya,” ujarnya mengingatkan.

Tags: