Esensi Mendaftarkan Hak Cipta bagi Kalangan Penulis dan Publisher
Terbaru

Esensi Mendaftarkan Hak Cipta bagi Kalangan Penulis dan Publisher

Meski hak cipta bersifat melekat secara otomatis dengan pencipta, tetapi penegasan kepemilikan hak cipta dengan mendaftarkannya ke DJKI menjadi langkah yang dinilai esensial sebagai upaya mitigasi terjadi masalah hukum ke depannya.

Ferinda K Fachri
Bacaan 4 Menit
Vice President General Counsel Hukumonline Muhammad Rezafajri dalam diskusi bertajuk 'Perlindungan Hak Cipta bagi Emerging Writers di Indonesia' dalam Ubud Writers & Readers Festival 2023 (UWRF) di Bali, Minggu (22/10/2023). Foto: FKF
Vice President General Counsel Hukumonline Muhammad Rezafajri dalam diskusi bertajuk 'Perlindungan Hak Cipta bagi Emerging Writers di Indonesia' dalam Ubud Writers & Readers Festival 2023 (UWRF) di Bali, Minggu (22/10/2023). Foto: FKF

Seiring dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan sastra membuat kebutuhan atas hukum yang dapat menjamin kepastian dan pelindungan bagi pencipta, pemegang Hak Cipta, dan pemilik hak terkait menjadi hal urgen yang tak bisa dielakkan.

“Untuk hak cipta, pemerintah kita telah menerbitkan UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta,” ujar Vice President General Counsel Hukumonline, Muhammad Rezafajri, dalam diskusi bertajuk “Perlindungan Hak Cipta bagi Emerging Writers di Indonesia” dalam Ubud Writers & Readers Festival 2023 (UWRF) di Bali, Minggu (22/10/2023).

Baca Juga:

Merujuk Pasal 1 angka 1 UU Hak Cipta, hak cipta sebagai hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Yang dimaksud dalam penjelasan tersebut disampaikan Reza bahwa hak cipta bersifat melekat secara otomatis pada saat pencipta, seperti penulis contohnya membuat suatu buku, sehingga hak cipta menjadi melekat pada penulis. “Pendaftaran hak cipta atas buku tulisan itu tidak wajib dan itu melekat langsung pada penulis secara eksklusif dan otomatis,” kata dia.

Hukumonline.com

Suasana diskusi bertajuk “Perlindungan Hak Cipta bagi Emerging Writers di Indonesia”.

Meski demikian, penegasan kepemilikan hak cipta menjadi hal yang dapat diterapkan atas hak kekayaan intelektual dengan karya seperti buku yang ditulis dengan melakukan pendaftaran ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM RI (DJKI Kemenkumham).

“Kenapa saya sarankan ketika membuat karya untuk segera didaftarkan ke DJKI supaya menyatakan bahwa ‘ini karya saya’. Gunanya ketika ada masalah, yang dilihat pertama kali itu soal pendaftaran. Siapa yang punya itu (hak cipta)? Jadi penting ketika sudah ada masalah di pengadilan.”

Berdasarkan pengalamannya menangani kasus, para pihak bersengketa tidak mendaftarkan hak cipta kepada DJKI yang ternyata berujung dengan proses yang lama. Berbeda halnya jika sedari awal salah satu pihak sudah mendaftarkan hak ciptanya. Lebih memudahkan dalam membuktikan kepemilikan dari karya dan tidak dapat diakui lagi oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab.

Sedangkan untuk pencipta seperti dituangkan dalam Pasal 1 angka 2 UU Hak Cipta sebagai seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi. Sebuah karya tulis bisa saja dibuat oleh lebih dari satu orang, namun tetap ditentukan pemegang hak cipta dengan tidak mengurangi hak cipta pihak lainnya.

“Nah, kalau ciptaan ini berarti setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan berdasarkan inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, alau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata. Ciptaan itu harus real. Tidak bisa sebatas ide,” lanjutnya.

Sebagai pemilik dari hak cipta, Reza menuturkan adanya 2 hak yang melekat pada penciptanya yakni hak moral dan hak ekonomi. Hak moral menjadi hak yang melekat abadi pada diri pencipta untuk mencantumkan dan tidak mencantumkan, menggunakan nama alias, mengubah ciptaannya, mengubah judul ciptaan, dan mempertahankan haknya.

Sedangkan, hak ekonomi menjadi hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta dalam memperoleh manfaat ekonomi. “Intinya, hak moral itu melekat pada penciptanya dan berlaku tanpa batas waktu. Kalau hak ekonomi untuk mengkomersialisasikan karya-karyanya dan ini berlaku selama hidup pencipta dan terus berlangsung selama 70 tahun setelah pencipta meninggal dunia,” sambung Reza.

Sesuai Pasal 9 ayat (1) UU Hak Cipta, hak ekonomi yang dimiliki pencipta atau pemegang hak cipta, maka dapat melakukan penerbitan ciptaan; penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya; penerjemahan ciptaan; pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian ciptaan; pendistribusian ciptaan atau salinannya; pertunjukan ciptaan; pengumuman ciptaan; komunikasi ciptaan; dan penyewaan ciptaan.

“Harus diketahui hak moral tidak dapat dialihkan selama pencipta masih hidup. Tetapi pelaksanaan hak tersebut dapat dialihkan dengan wasiat atau sebab lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan setelah pencipta meninggal dunia,” ucapnya.

Sedangkan untuk pihak-pihak yang hendak melakukan hak ekonomi atas sebuah karya, diwajibkan memiliki izin dari pencipta atau pemegang hak cipta. Seperti dilansir Pasal 9 ayat (2) UU Hak Cipta, setiap orang yang tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta lantas dilarang melakukan penggandaan dan/atau penggunaan secara komersial ciptaan.

Demikian halnya terhadap pengelola sebuah tempat perdagangan dilarang membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil dari pelanggaran terhadap hak cipta dan/atau hak terkait pada tempat perdagangan yang dikelola.

“Ketentuan pidana dalam UU ini bagaimana sih? Ini masuk dalam delik aduan. Ini syarat untuk meminta penegak hukum bergerak. Kalau (terjadi pelanggaran HAKI di) e-commerce bagaimana? Kalau sudah ada publisher, pastikan apakah ada MoU dengan e-commerce? Jika tidak ada, bisa laporkan secara manual ke e-commerce-nya. Nanti akan diproses.”

Ia menambahkan fakta sampai sekarang masih ada pihak-pihak tidak bertanggung jawab yang melakukan pelanggaran terhadap hak cipta. Di sisi lain, ketidaktahuan dari pencipta atau pemegang hak cipta atas hukum yang berlaku di sektor HAKI juga menjadi tantangan tersendiri. “Karena ketidaktahuan itu jadi dimanfaatkan orang yang tidak bertanggung jawab.”

Tags:

Berita Terkait