Esensi Legaltech di Tengah Gempuran Teknologi
Utama

Esensi Legaltech di Tengah Gempuran Teknologi

Penting menggeser paradigma yang memandang teknologi hukum sebatas penyediaan sarana dan prasarana IT di lingkup penegakan hukum, kini ke arah yang lebih konkrit seperti memakai perangkat lunak dan sistem layanan hukum untuk akses keadilan yang lebih luas.

Ferinda K Fachri
Bacaan 3 Menit
Ketua Yayasan STIH IBLAM, Dr. Rahmat Dwi Putranto (kedua dari kiri) bersama narasumber lain dalam Seminar Regional FH UGM bertajuk 'Perkembangan Hukum Keperdataan di Era Digital', Kamis (9/11/2023).
Ketua Yayasan STIH IBLAM, Dr. Rahmat Dwi Putranto (kedua dari kiri) bersama narasumber lain dalam Seminar Regional FH UGM bertajuk 'Perkembangan Hukum Keperdataan di Era Digital', Kamis (9/11/2023).

Pesatnya perkembangan teknologi membuat banyak sektor terdampak, termasuk sektor hukum. Sebagai sektor yang dituntut untuk progresif mengikuti perkembangan zaman, lalu muncul apa yang disebut hukum teknologi. Dimana hukum teknologi ini mulai masuk dalam berbagai kurikulum pendidikan tinggi hukum di Indonesia.

“Pada kebanyakan kampus di Indonesia, hukum teknologi mempelajari tentang bagaimana aspek hukum di dunia teknologi. Ketika ada perkembangan blockchain, Artificial Intelligence (AI), dan seterusnya,” ujar Ketua Yayasan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) IBLAM, Dr. Rahmat Dwi Putranto dalam Seminar Regional FH UGM bertajuk “Perkembangan Hukum Keperdataan di Era Digital”, Kamis (9/11/2023).

Baca Juga:

Di sisi lain, terdapat pula yang dikenal dengan teknologi hukum (legaltech). Ia menafsirkan sebagai teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki hukum, meningkatkan kualitas hukum, dan semakin mendekatkan hukum dengan tujuannya. “Teknologi adalah missing piece untuk menghubungkan antara struktur dengan substansinya,” kata dia.

Salah satu di antaranya saat ini penggunaan media sosial semakin masif dipergunakan masyarakat untuk memantau perkembangan isu-isu hukum. Bahkan terdapat anggapan bagaimana sebuah kasus harus viral terlebih dahulu sebelum berakhir dengan penindakan sebagaimana mestinya. Bagi Rahmat, penggunaan media sosial dalam hal ini sebagai pemanfaatan teknologi hukum.

“Kita harus menggeser paradigma kita. Teknologi yang tadinya dibahas hanya sekedar sarana prasarana IT di pengadilan menjadi apa software dan sistem yang perlu kita kembangkan untuk memberi pelayanan dan akses terhadap keadilan lebih luas. Pakai teknologi apa ya? Sudah seperti itu pembahasannya (teknologi hukum).”

Rahmat merujuk pada konstruksi konseptual Lex Informatica yang dicetuskan oleh Joel R. Reidenberg. Pada pokoknya menggariskan ketika arus informasi semakin deras, maka hukum harus mengikuti arus tersebut menjadi hukum yang berteknologi. Pada akhirnya, teknologi hukum pun diartikan sebagai fenomena perubahan kaidah, asas, dan prinsip hukum karena kehadiran teknologi.

Smart Contract dan Kontrak Elektronik

Membahas teknologi hukum (legaltech), tidak akan luput dengan sejumlah inovasi pemanfaatan teknologi di bidang hukum seperti smart contract dan kontrak elektronik. Untuk diketahui, smart contract bekerja dengan menggunakan bahasa pemrograman dan analisis data dan komputer dimana sistem komputer ditempatkan menjadi pihak tambahan. Smart contract juga bekerja secara otomatis berdasarkan kode untuk memahami perjanjian.

Akademisi FH UGM Muhammad Jibril menjelaskan mulanya smart contract diperkenalkan pada tahun 1994 oleh Nick Szabo yang merupakan seorang Sarjana Hukum, ilmuwan komputer, dan seorang ahli kriptografi. Kekurangan dari smart contract antara lain sulit untuk dapat menjaga privasi atau kerahasiaan isi perjanjian dan adanya potensi kebocoran data.

Hukumonline.com

Akademisi FH UGM Muhammad Jibril.

Sedangkan kontrak elektronik sebagaimana tertuang dalam Pasal 18 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) disebut transaksi yang dibuat secara elektronik yang dituangkan dalam perjanjian elektronik mengikat para pihak. Terdapat sejumlah permasalahan sehubungan dengan kontrak elektronik.

“Sebagian besar itu merupakan consumer contract, kontrak baku antara pelaku usaha dengan konsumen. Masalah paling umum hanya sebagian konsumen yang membaca dan memahami kontrak-kontraknya. Berapa banyak sih dari kita yang membaca terms and conditions ketika menggunakan platform (e-commerce, red),” sambung Akademisi FH UGM, Annisa Syaufika Y. R., dalam kesempatan yang sama.

Dengan hanya sebagian kecil dari konsumen yang betul-betul membaca dan memahami isi kontrak elektronik, membuat timbulnya potensi cacat kehendak. Lebih lanjut, terkadang isi kontrak merugikan konsumen meski bukan masuk dalam klausul (baku) yang dilarang dalam peraturan perundang-undangan.

“Permasalahan-permasalahan dalam kontrak elektronik terutama consumer contract ini berarti kebebasan berkontrak berlaku cukup kuat. Kewajiban untuk membaca (duty to read) konsumen ini berat, lebih berat daripada duty to draft. Kalau kita mau tanda tangan kontrak, harus baca. Kalau gak baca dan ada merugikan, itu risiko kita. Ini seharusnya, tapi diimbangi dengan duty to draft reasonable contract.”

Tags:

Berita Terkait