ESDM Tegaskan Tidak Ada Pencabutan Subsidi BBM
Berita

ESDM Tegaskan Tidak Ada Pencabutan Subsidi BBM

Pemerintah hanya melakukan pengendalian penggunaannya.

YOZ/ANT
Bacaan 2 Menit
Menteri ESDM, Jero Wacik. Foto: Sgp
Menteri ESDM, Jero Wacik. Foto: Sgp
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jero Wacik, menegaskan bahwa pemerintah tidak akan mencabut subsidi bahan bakar minyak, melainkan hanya melakukan pengendalian penggunaannya.

"Solar dan premium masih banyak stoknya, namun yang bersubsidi terbatas. Ini hanya pengendalian, kami tidak akan mencabut subsidi BBM," kata Jero Wacik dalam jumpa pers di kantor Kementerian ESDM di Jakarta, Selasa terkait pengendalian bahan bakar minyak bersubsidi.

Jero Wacik menjelaskan bahwa pemerintah perlu melakukan pengendalian penggunaan BBM karena UU No.12 Tahun 2014 tentang APBN-P 2014 menyatakan bahwa volume kuota BBM bersubsidi dikurangi dari 48 juta kilo liter menjadi 46 juta kilo liter.

Sementara itu, penyaluran BBM bersubsidi mengalami peningkatan pada semester pertama 2014, atau 22,91 juta kilo liter dari jumlah kuota yang direncanakan sebesar 22,81 juta kilo liter.

"Kalau BBM tidak dikendalikan, maka pasokan solar bersubsidi hanya akan cukup sampai November 2014, sementara pasokan premium kalau tidak dikendalikan hanya cukup sampai 19 Desember," ujar Jero Wacik.

Badan Pengatur Kegiatan Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) kemudian mengeluarkan Surat Edaran tentang Pembatasan Solar dan Premium agar kuota 46 juta kilo liter bisa cukup sampai dengan akhir tahun 2014. Sebagai salah satu badan usaha penyalur, Pertamina menjalankan kebijakan tersebut yang dimulai pada tanggal 1 Agustus 2014, dimana seluruh SPBU di Jakarta Pusat tidak lagi menjual Solar bersubsidi.

"Sebagai contoh SPBU di Menteng, yang tinggal di wilayah itu kan masyarakat ekonomi atas. Jadi tidak adik kalau mereka menggunakan BBM bersubsidi yang seharusnya diperuntukkan masyarakat ekonomi lemah," kata Jero Wacik.

Kemudian mulai 4 Agustus 2014, waktu penjualan Solar bersubsidi di seluruh SPBU di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Bali akan dibatasi dimulai pukul 08.00 sampai dengan pukul 18.00 untuk cluster tertentu.

"Ini khusus untuk cluster kawasan industri, pertambangan, perkebunan dan wilayah-wilayah yang dekat dengan pelabuhan di mana rawan penyalahgunaan solar bersubsidi," jelas Jero Wacik.

Sementara itu, SPBU yang terletak di jalur utama distribusi logistik, tidak dilakukan pembatasan waktu penjualan solar. Selanjutnya, terhitung mulai 6 Agustus 2014, seluruh SPBU yang berlokasi di jalan tol tidak akan menjual premium bersubsidi, namun hanya menjual Pertamax series.

"Total jumlah SPBU di jalan tol mencapai 29 unit. Dari jumlah tersebut, 27 SPBU berada di wilayah Jawa Barat sementara 2 unit lainnya di wilayah Jawa Timur," tambahnya.

Jero Wacik juga menegaskan bahwa kondisi ini hanya berlaku hingga akhir 2014. "Awal 2015 semua sudah kembali normal, karena sudah ada kuota baru untuk BBM bersubsidi," katanya.

Labor Institute Indonesia sebelumnya berpendapat bahwa kebijakan yang dikeluarkan  oleh BPH Migas tentang Pengendalian bahan bakar minyak bersubsidi melalui surat edaran Nomor 937 Tahun 2014 adalah kebijakan yang salah kaprah dan dapat menimbulkan kerawanan sosial.

“Labor Institute Indonesia menengarai bahwa Kebijakan tiba–tiba tersebut dikeluarkan karena adanya kekhawatiran jebolnya persediaan BBM bersubsidi dalam waktu dekat ini,” kata Analisis Ekonomi dan Politik Labor Institute Indonesia, Andy William Sinaga.  

Menurutnya, kebijakan tersebut adalah bentuk lempar tanggung jawab dari pemerintah yang mengeluarkan kebijakan mobil murah secara nasional yang bermuara pada semakin bertambahnya unit kendaraan pribadi yang sudah tentu membutuhkan bahan bakar minyak bersubsidi.

Selain itu, kebijakan yang terkesan mendadak dan tanpa sosialisasi tersebut ditengarai lambat laun akan mematikan pengusaha transportasi kecil menengah, seperti angkutan kopaja, metromini, dan mikrolet, juga bisa berakibat kenaikan tarif angkutan umum, dan bisa berakibat kenaikan harga–harga kebutuhan pokok.

“Bisa juga intensitas dan frekuensi angkutan umum di kota–kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Makasar akan berkurang dan dikhawatirkan akan menimbulkan kerawanan sosial dalam masyarakat,” ujarnya.

Labor Institute Indonesia mengusulkan agar kebijakan tersebut segera dikaji ulang, dengan mencari alternatif lain seperti segera menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi menjadi Rp8 ribu, sistem cluster bahan bakar minyak bersubsidi yaitu angkutan umum dan kendaraan pribadi,dan untuk industri (perkebunan, pertambangan) atau berdasarkan jumlah kapasitas mesin (cc) kendaraan.

Selain itu, Labor Institute Indonesia mengimbau Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) segera memanggil BPH Migas dan Kementrian Energi Dan Sumber daya Mineral untuk meminta penjelasan terkait adanya pembatasn pembelian bahan bakar minyak bersubsidi tersebut.
Tags:

Berita Terkait