Eni Saragih Didakwa Terima Suap dan Gratifikasi Miliaran
Berita

Eni Saragih Didakwa Terima Suap dan Gratifikasi Miliaran

Sebagian uang suap dan seluruh penerimaan gratifikasi itu untuk membiayai keperluan Pilkada suaminya di Kabupaten Temanggung.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Terdakwa kasus suap PLTU Riau-1 Eni Maulani Saragih saat menjalani sidang dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (29/11). Foto: RES
Terdakwa kasus suap PLTU Riau-1 Eni Maulani Saragih saat menjalani sidang dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (29/11). Foto: RES

Eni Maulani Saragih selaku Wakil Ketua DPR RI Komisi VII didakwa dengan dua tindak pidana korupsi. Pertama, menerima suap sebesar Rp4,75 miliar dari pemilik saham Blackgold Natural Resources Limited Johannes Budisutrisno Kotjo. Kedua, menerima gratifikasi dari sejumlah pihak dengan nilai total Rp5,6 miliar dan Sing$40 ribu.

 

Untuk dakwaan pertama, peran Eni memang sudah diuraikan penuntut umum dalam surat dakwaan maupun tuntutan Kotjo yang telah menjalani sidang terlebih dahulu. Dalam kasus ini, penuntut umum meminta Kotjo dihukum selama 4 tahun, denda Rp250 juta subsidair 6 bulan karena menyuap Eni bersama-sama dengan Idrus Marham (penuntutan terpisah) demi mendapatkan proyek PLTU Riau-1.

 

Pada 2016 Kotjo melakukan kesepakatan dengan pihak China Huadian Engineering Company Limited (CHEC Ltd) sebagai agen proyek PLTU Riau-1 yang nilai proyek sebesar US$900 ribu dengan fee yang ia terima sebesar US$25 juta. Sejumlah pihak akan mendapatkan bagian dari uang tersebut, salah satunya Setya Novanto sebesar US$6 juta.

 

Singkat cerita, Kotjo meminta bantuan Novanto untuk dipertemukan dengan Direktur Utama Pertamina Sofyan Basir agar mendapatkan proyek. Novanto pun meminta Eni, politisi Golkar yang juga menjadi Wakil Ketua Komisi VII DPR RI agar membantu Kotjo, Eni dijanjikan akan mendapatkan fee dari proyek tersebut.

 

Eni menyanggupi permintaan Novanto, lalu Eni memperkenalkan Kotjo dengan Sofyan Basir. Setelah beberapa kali pertemuan, angin segar berhembus untuk Kotjo. Dalam pertemuan di Bank Rakyat Indonesia (BRI) Lounge antara Eni, Sofyan Basir, dan Kotjo, Sofyan menuturkan proyek PLTU Riau-1 akan dikerjakan oleh Kotjo dengan mekanisme penunjukkan langsung.

 

Peran Setya Novanto dalam proyek ini disebut dalam surat dakwaan berakhir setelah ia menjadi tersangka e-KTP. Eni pun akhirnya melaporkan kelanjutan proyek tersebut kepada Idrus Marham yang menjabat sebagai Plt Ketua Umum Partai Golkar.

 

Di sela-sela negoisasi hingga hampir mencapai tahap akhir, Eni beberapa kali meminta uang kepada Kotjo. Pertama sebesar Rp4 miliar dalam dua tahap, yaitu bersama-sama dengan Idrus Marham Rp2 miliar untuk keperluan Munaslub Partai Golkar. Sisanya, Rp2 miliar untuk keperluan Eni secara pribadi.

 

Ada permintaan uang lain sebesar Rp250 juta dan Rp500 juta, sehingga totalnya mencapai Rp4,75 miliar. “Penerimaan hadiah sebesar Rp4,75 miliar dari Johannes Budisutrisno Kotjo kepada Terdakwa diberikan dengan maksud membantu mempercepat proses kesepakatan proyek PLTU Riau-1,” kata penuntut umum KPK Lie Putra Setiawan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (29/11/2018). Baca Juga: Johannes Kotjo Dituntut 4 Tahun Bui

 

Atas perbuatan ini, Eni dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Juncto Pasal 64 KUHP.

 

Terima gratifikasi

Selain menerima suap dari Kotjo, Eni juga didakwa menerima gratifikasi dengan total sebesar Rp5,6 miliar dan Sing$40 ribu dari beberapa pihak. Gratifikasi sebesar ini, ternyata digunakan untuk keperluan Pilkada Temanggung dimana suami Eni, Muhammad Al Khadziq mencalonkan diri dan akhirnya terpilih sebagai Bupati Temanggung.

 

Penerimaan uang tersebut pertama berasal dari Direktur Smelting Prihadi Santoso sejumlah Rp250 juta. Perusahaan tersebut bergerak di bidang pengolahan biji tembaga yang diantaranya juga memiliki produk sampingan yakni clopper slag atau limbah industri peleburan tembaga untuk digunakan oleh produsen semen.

 

Prihadi juga tidak begitu saja memberikan uang itu, dalam surat dakwaan disebut ia meminta bantuan Eni untuk memfasilitasi pihak Kementerian Lingkungan Hidup agar PT Smelting dapat melakukan impor limbah Bahan Berbahaya Beracun (B3). Pertemuan itu ditindaklanjuti Eni dengan mempertemukan Prihadi dengan Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Berbahaya Beracun (Dirjen PSLB3) Rosa Vivien Ratnawati.

 

“Setelah memfasilitasi, Terdakwa meminta sejumlah uang untuk kegiatan di Temanggung kepada Prihadi dan Terdakwa meminta agar Prihadi berkoordinasi dengan orang kepercayaannya Indra Purmandini,” kata penuntut umum KPK lainnya Nanang Suryadi.

 

Setelah memberikan nomor rekeningnya, Indra menerima uang sebesar Rp250 juta secara bertahap. Selanjutnya, ia memberikannya kepada Eni melalui Tahta Maharaya selaku tenaga ahli politisi Partai Golkar tersebut.

 

Penerimaan kedua berasal dari Herwin Tanuwidjaja selaku Direktur PT One Connect Indonesia (OCI) sebesar Sin$40 ribu dan Rp100 juta. Penerimaan ini masih berkaitan dengan bantuan Eni mengenai bantuan impor limbah B3 kepada Prihadi yang ternyata dalam surat dakwaan disebut Herwin juga menjadi bagian dari PT Smelting.

 

Penerimaan ketiga dari Samin Tan selaku pemilik PT Borneo Lumbung Energi & Metal sebesar Rp5 miliar. Pada sekitar Tahun 2018 di Gedung Menara Imperium, Jakarta Eni berkenalan dengan Samin yang perusahaannya mempunyai anak usaha bernama PT Asmin Kolaindo Tuhup (AKT) yang juga bergerak di bidang pertambangan batubara.

 

Mengetahui posisi Eni di Komisi VII DPR RI, Samin meminta bantuannya terkait permasalahan pemutusan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) Generasi 3 di Kalimantan Tengah antara PT AKT dan Kementerian ESDM. Eni pun menyanggupi untuk memfasilitasinya.

 

“Dalam proses tersebut sekitar Juni 2018, Terdakwa meminta sejumlah uang kepada Samin Tan yang akan digunakan Terdakwa untuk keperluan Pilkada suami Terdakwa di Kabupaten Temanggung,” ujar Jaksa KPK Heradian Salipi.

 

Samin melalui Nenie Afwani kemudian memberikan uang dengan total Rp4 miliar. Lalu pada 5 Juni 2018, Eni kembali meminta uang yang dipenuhi Samin Tan sebesar Rp1 miliar, sehingga jumlah keseluruhan uang yang diberikan Samin Tan kepada Eni sebesar Rp5 miliar.

 

Penerimaan keempat berasal dari Presiden Direktur PT Isargas, Iswan Ibrahim sebesar Rp250 juta. Perusahaan ini diketahui bergerak di bidang distribusi gas. Pada Mei 2018, Eni menghubungi Iswan dan mengabarkan ia telah menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, dan meminta bertemu untuk meminta uang.

 

“Selanjutnya atas permintaan Terdakwa, Iswan Ibrahim memberikan uang sejumlah Rp250 juta dalam dua tahap,” tutur Jaksa Ronald F. Worotikan.

 

Atas perbuatan menerima beberapa gratifikasi dengan jumlah total Rp5,6 miliar dan Sin$40 ribu yang bersumber dari beberapa pengusaha di bidang Migas, Eni dijerat dengan Pasal 12 B ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal Juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.

 

Usai pembacaan dakwaan, Eni tidak mengajukan eksepsi (keberatan) atas surat dakwaan ini. Hanya saja, dia menilai surat dakwaan penuntut umum KPK belum mengurai secara detil peristiwa-peristiwanya. "Saya menerima dakwaan itu, tapi JPU belum detil mengurai peristiwa-peristiwanya," kata Eni usai persidangan.  

Tags:

Berita Terkait