Empat Titik Rawan dalam Penyelenggaraan Pilkada Serentak
Utama

Empat Titik Rawan dalam Penyelenggaraan Pilkada Serentak

Dibutuhkan perbaikan regulasi, serta reformasi parpol untuk mewujudkan Pilkada serentak yang transparan dan akuntabel.

CR19
Bacaan 2 Menit
Seminar
Seminar "Membangun Pilkada Serentak yang Bersih dan Bebas Korupsi" di BPHN. Selasa (17/11). Foto: CR19

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan paling tidak ada empat titik yang rawan sepanjang penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada 9 Desember mendatang. Hal itulah yang mengemuka dalam seminar tentang “Membangun Pilkada Serentak yang Bersih dan Bebas Korupsi” yang diselenggarakan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) di Jakarta, Selasa (17/11).

Titik rawan pertama dalam penyelenggaraan Pilkada, kata Titi, bahkan telah muncul pada tahap sebelum pelaksanaan Pilkada. Misalnya, pada tahap pencalonan bagi calon kepala daerah yang akan diusung oleh partai politik (parpol) atau gabungan parpol. Pada tahap ini, seringkali muncul praktik pembelian kandidat atau candidacy buying. Dimana calon kepala daerah yang berkehendak untuk maju memberikan sejumlah uang kepada parpol agar diusung menjadi calonnya.

Padahal praktik yang lebih dikenal dengan istilah mahar politik atau ‘sewa perahu’ ini, kata Titi, secara tegas telah dilarang dalam UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi UU. Untuk praktik seperti ini, ada sanksi administrasi berupa pembatalan pencalonan hingga sanksi pidana.

Titik rawan yang kedua, terkait dengan jual beli suara (vote buying). Menurut Titi, paling tidak ditemukan dua modus yang sering dilakukan oleh pelaku kecurangan. Kedua hal itu antara lain politik uang transaksional dan politik uang non-transaksional. Untuk politik uang transaksional misalnya, modus yang digunakan adalah pemilih setelah mencoblos pasangan calon yang dituju diminta membawa bukti untuk kemudian ditukarkan dengan sejumlah uang yang dijanjikan. “Itu kita sebut dengan transaksi pasca bayar,” katanya.

Sedangkan titik rawan yang ketiga adalah memberikan suap terhadap penyelenggara Pilkada, dalam hal ini Komisi Pengawas Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Trend seperti ini, kata Titi, baru dilakukan belakangan setidaknya sejak penyelenggaraan pemilu tahun 2004.

Untuk titik rawan keempat dalam penyelenggaraan Pilkada, adalah suap kepada hakim. Menurutnya, titik rawan yang keempat ini muncul ketika ada pihak tidak puas terhadap hasil pemungutan suara yang digugat ke Mahkamah Konstitusi.

Untuk mengatasi empat titik rawan ini, mutlak diperlukan reformasi oleh parpol. Sebab, Titi menyadari bahwa sistem penyelenggaraan politik di Indonesia sangat mahal. Sehingga, parpol seringkali mengambil jalan pintas dengan melakukan empat hal itu agar memenangkan calon pasangan yang diusungnya.

Setidaknya ide reformasi parpol ini akan fokus terhadap dua hal besar, yakni rekrutmen dan pendanaan. Dari sisi rekrutmen, Titi berharap, ke depan proses rekrutmen oleh parpol dilakukan dengan mekanisme yang lebih baik lagi. Sehingga, praktik-praktik seperti candidacy buying akan kecil kemungkinan terjadinya.

Sementara dari sisi pendanaan, lanjutnya, sebetulnya telah diatur dalam Pasal 74 UU Nomor 8 Tahun 2015 mengenai sumber dana kampanye dan tentang pembatasan dana kampanye. Namun, Titi melihat masih terdapat sejumlah kekurangan terutama dalam hal pengelolaan dana oleh parpol. “Karena politik di Indonesia itu mahal dan berbiaya tinggi,” tandasnya.

Di tempat yang sama, Divisi Korupsi Politk Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz, menilai bahwa dalam hal pendanaan parpol masih banyak laporan keuangan partai secara umum masih sangat tertutup terutama untuk diakses oleh masyarakat. Selain itu, dari sisi teknis, laporan keuangan parpol masih ‘sekedar formalitas’. Alasannya karena ada banyak detail aktivitas dana kampanye parpol yang tidak dicatat serta diduga masih ada dana ‘aktivitas siluman’ oleh parpol yang tidak tercatat.

“Partai seharusnya meningkatkan transparansi laporan keuangan melalui publikasi rutin untuk setiap sumber laporan keuangan,” tandasnya.

Dorong kodifikasi UU Pemilu
Selain mendorong reformasi parpol secara internal, Titi merasa perlu bahwa permasalahan ini mesti juga dituntaskan berbarengan dengan politik kodifikasi paket undang-undang yang berkaitan dengan pemilu. Paket undang-undang itu, antara lain UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu, UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta UU Nomor 8 Tahun 2015.

Karenanya, Titi mendorong bahwa paket kodifikasi undang-undang tersebut masuk dalam Prolegnas di DPR. Selain memperbaharui sejumlah pasal, juga dilakukan penyelarasan, harmonisasi, agar ke depan penyelenggaraan pilkada serentak berjalan baik dan tidak tumpang tindih dalam hal regulasi. “Perlu kodifikasi UU Pemilu dalam satu naskah,” katanya.

Donal sepakat dengan ide kodifikasi paket undang-undang yang berkaitan dengan pemilu. Menurutnya, regulasi yang ada selama ini sangat lemah terutama untuk melindungi para pemilih. Sebaliknya, regulasi yang ada, justru lebih melindungi dari sisi kandidat dan parpol. Namun, perbaikan regulasi ini juga mesti berbarengan dengan perbaikan parpol secara umum. “ICW sepakat dengan kodifikasi itu,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait