Empat RUU Pengancam Kebebasan Sipil
Berita

Empat RUU Pengancam Kebebasan Sipil

Substansinya dinilai bermasalah.

ADY
Bacaan 2 Menit
Empat RUU Pengancam Kebebasan Sipil
Hukumonline

Koalisi Masyarakat Sipil Reformasi Sektor Keamanan menilai ada empat Rancangan Undang-undang (RUU) yang bakal mengancam kebebasan masyarakat sipil. Yaitu RUU Rahasia Negara, Komponen Cadangan (Komcad), Keamanan Nasional (Kamnas) dan Disiplin Militer. Menurut anggota koalisi dari Imparsial, Al Araf, RUU Rahasia Negara sangat berbahaya untuk kebebasan masyarakat sipil dan pers.

Pasalnya, di tengah maraknya politik transaksional dan korup, RUU Rahasia Negara akan menjadi hambatan utama dalam keterbukaan informasi publik, kebebasan pers dan pemberantasan korupsi. “RUU Rahasia negara itu akan digunakan menutup kebobrokan pemerintah dengan dalih rahasia karena sekarang korupsi semakin merajalela,” kata pria yang disapa Al itu dalam jumpa pers di kantor Imparsial Jakarta, Rabu (22/5).

Begitu juga RUU Kamnas, Al berpendapat rancangan peraturan itu menggunakan spektrum ancaman yang sangat luas dan bersifat karet. Misalnya, gerakan rakyat dinilai sebagai ancaman nasional. Pemogokan kerja yang dilakukan serikat pekerja akan masuk dalam kategori ancaman bagi negara. Padahal, mogok kerja adalah bagian dari hak yang melekat pada pekerja, termasuk hak berserikat. Kemudian, dalam RUU Kamnas Al menemukan sesuatu yang dianggap penghancuran nilai moral sebagai ancaman nasional. Mestinya hal itu dijabarkan secara jelas, namun dalam ketentuan itu Al menduga sengaja bersifat karet.

Tak hanya rakyat biasa, anggota dewan pun menurut Al tak luput dari sasaran RUU Kamnas. Pasalnya, dalam regulasi itu disebutkan ketika ditemukan ada rumusan legislasi yang diskonsepsi, dianggap ancaman keamanan nasional. Al khawatir jika ketentuan itu dijadikan legitimasi di kemudian hari untuk membubarkan parlemen. Oleh karenanya, Al berpendapat RUU Kamnas kental dengan nuansa sekuritisasi dan represif dengan dijadikannya tertib sipil sebagai status keadaan keamanan nasional.

Belum lagi diberikannya kewenangan yang luas kepada Dewan Keamanan Nasional (DKN) dan forum keamanan daerah yang menurut Al sekilas serupa dengan Kopkamtib dan Bakorinda yang pernah ada di masa pemerintahan Soeharto. Padahal di negara lain, seperti Amerika Serikat, dewan keamanan berfungsi sebagai pemberi nasihat kepada presiden. Namun, dalam RUU Kamnas fungsi dewan tersebut wewenangnya lebih jauh, sampai tahap pengendali kebijakan.

Mengacu hal tersebut, Al mengaku heran kenapa pemerintah bersikukuh memprioritaskan keempat RUU tersebut, terutama RUU Kamnas, untuk dibahas di DPR. Padahal, sudah ada legislasi tata kelola sektor pertahanan dan keamanan yang termaktub dalam UU Pertahanan, UU TNI dan UU Polri. “Harusnya pemerintah memprioritaskan pembentukan RUU Perbantuan dan melakukan revisi UU No.23 Tahun 1959 tentang penetapan UU Darurat sebagai jembatan antara aktor pertahanan dan keamanan dalam mengatasi situasi contingensi,” ujarnya.

Tentang RUU Komcad, Al menilai peraturan itu hanya menghamburkan anggaran negara. Pasalnya, rancangan regulasi itu mengamanatkan diterbitkannya kebijakan wajib militer. Al khawatir kebijakan tersebut akan mengulang praktik legalisasi paramiliter yang direkrut dari masyarakat sipil yang sempat dilakukan pemerintah. Seperti yang terjadi di Timor Leste, Aceh dan Papua. Sehingga berpotensi besar membuka konflik horizontal.

Mengingat komponen utama pertahanan seperti alutista dan kesejahteraan prajurit yang ada saat ini carut marut, Al mengimbau pemerintah untuk fokus membenahinya terlebih dahulu. Bukan malah membentuk komponen cadangan lewat kebijakan wajib militer.

Mengenai revisi UU Peradilan Militer (Permil), Al menilai hal itu sebagai bagian utama dalam agenda reformasi TNI. Apalagi sudah diamanatkan agar revisi itu dilakukan sebagaimana tertuang dalam Konstitusi, TAP MPR dan UU TNI. Selaras dengan itu, harusnya revisi Permil diutamakan pemerintah ketimbang empat RUU yang dianggap mengancam kebebasan sipil tersebut. Bahkan, Al melihat pemerintah akan membuat ketentuan yang mengatur disiplin militer karena persoalan yang dihadapi militer saat ini dianggap berkaitan dengan disiplin. Padahal, fakta yang terjadi adalah bagaimana mekanisme penyelesaian kasus pidana umum yang menjerat anggota militer.

Lagi-lagi Al melihat perkara itu tak dapat diselesaikan lewat pengaturan disiplin militer karena konstitusi mengamanatkan persamaan di muka hukum. Maka, baik itu militer atau sipil, ketika tersangkut kasus pidana umum, pelakunya diadili di pengadilan umum. Itulah duduk persoalan yang terjadi sekarang, dimana anggota militer seolah mendapat keistimewaan di hadapan hukum ketika melakukan tindak pidana. Caranya, anggota militer yang bersangkutan di bawa ke peradilan khusus untuk kelompoknya, yaitu peradilan militer.

Selain itu Al tergelitik alasan pemerintah menolak merevisi UU Permil dengan dalih tak ada hukum acara dalam UU tersebut. Menurutnya, alasan itu mengada-ada karena periode 2004-2009 DPR dan pemerintah telah membahas revisi UU Permil tapi gagal karena pemerintah menarik diri serta tak mau menyelesaikannya. Padahal, Al mencatat pasal yang disahkan tinggal sedikit. Sekalipun UU Permil berhasil di revisi, maka ketika militer yang melakukan tindak pidana umum, hukum acara pidana merujuk pada KUHAP. “Itu pelarian tanggung jawab (pemerintah,-red) nggak mau revisi UU Permil,” tukasnya.

Pada kesempatan yang sama Direktur Operasional Imparsial, Bhatara Ibnureza, menyebut alasan pemerintah yang enggan merevisi UU Permil itu sebagai bentuk perlawanan atas keinginan rakyat melakukan reformasi keamanan. Ia memperhatikan ketika revisi UU Permil dibahas pada 2004-2009, sikap perlawanan yang paling jelas terlihat di Kementerian Pertananan.

Mereka menolak anggota militer yang melakukan tindak pidana umum diboyong ke pengadilan umum. Bhatara mencatat regulasi yang belum terkena imbas reformasi adalah UU Permil. Akibatnya, Permil sekarang menjadi sarang impunitas anggota militer yang terjerat pidana umum. “Tentara kita ini mundur ke belakang, tak mau tunduk hukum sipil (peradilan umum), mereka menyelamatkan diri sendiri,” urainya.

Secara umum Bhatara menilai adanya empat RUU yang didorong pemerintah membuktikan kemunduran yang besar di sektor reformasi pertahanan dan keamanan. Pasalnya, sejak tahun 2003 RUU Komcad mulai digulirkan, namun mendapat penolakan sebagian Parpol di DPR. Tak menyerah, pemerintah menyerahkannya lagi tahun 2008, tapi kembali dikandaskan parlemen.

Anehnya lagi dalam RUU Komcad, Bhatara melihat wajib militer itu mengikat dan ada ancaman yang dijatuhkan jika terdapat warga yang menolak wajib militer. Padahal, mengacu konsensus HAM internasional wajib militer berpegang pada prinsip conscientious Objections sehingga membuka ruang bagi warga yang tak mau ikut wajib militer. Parahnya lagi dalam rancangan KUHP yang digodok di DPR menerapkan sanksi untuk warga yang tak mengikuti wajib militer. “Ini pandangan yang ngawur,” ungkapnya.

Tak ketinggalan Bhatara menjelaskan wajib militer itu mestinya dilakukan dalam sebuah negara yang diperkirakan akan mengalami ancaman. Misalnya, Singapura, dalam buku putih negara itu menyebutkan ancaman dapat datang dari Indonesia atau Malaysia, sehingga kebijakan wajib militer diterbitkan. Begitu pula dengan Malaysia. Namun, dalam buku putih pemerintah Indonesia, dalam rentang setidaknya sepuluh taun ke depan, belum terlihat ada gangguan keamanan dari luar. “Masalah keamanan kita itukan soal prajurit yang belum sejahtera dan alutista yang belum modern,” tegasnya.

Atas dasar itu koalisi mendesak agar DPR menolak keempat RUU tersebut. Koalisi menginginkan DPR mengutamakan revisi UU Permil sebagai bentuk komitmen reformasi sektor keamanan dan menjalankan amanat konstitusi, TAP MPR dan UU TNI. Bahkan, DPR didorong untuk mengambil hak inisiatif mengubah UU Permil.

Tags: