Empat ‘PR’ Pemerintah dari Komite Sipol PBB
Berita

Empat ‘PR’ Pemerintah dari Komite Sipol PBB

Harus ditindaklanjuti paling lama satu tahun.

ADY
Bacaan 2 Menit
Empat ‘PR’ Pemerintah dari Komite Sipol PBB
Hukumonline

Sejumlah institusi mulai dari organisasi masyarakat sipil sampai lembaga independen seperti Komnas HAM menuntut pemerintah serius melaksanakan rekomendasi Komite Sipol PBB. Menurut direktur eksekutif HRWG, Rafendi Djamin, rekomendasi itu merupakan hasil dari sidang Sipol yang diikuti pemerintah Indonesia beberapa waktu lalu di Jenewa, Swiss.

Dari sejumlah rekomendasi yang diterbitkan, Rafendi menyebut ada empat yang menjadi prioritas dan harus dilaksanakan oleh pemerintah. Sedangkan, jangka waktu yang ditetapkan untuk menindaklanjuti empat rekomendasi itu hanya setahun.

Keempat rekomendasi itu meliputi bagaimana mengatasi kebuntuan pembentukan pengadilan HAM ad hoc untuk kasus penghilangan paksa, penyelesaian yang adil atas kasus Munir dan moratorium hukuman mati. Serta, komite Sipol PBB mendesak pemerintah menyelaraskan UU no. 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama dengan kovenan Sipol. “Persoalannya, sejauh mana pemerintah serius menjalankan rekomendasi,” katanya dalam jumpa pers di kantor HRWG Jakarta, Senin (29/7).

Rafendi mengatakan ketika sidang Sipol di PBB, pemerintah mengirimkan puluhan delegasi. Hal itu menunjukan pemerintah serius mengikuti sidang Sipol. Dari pantauannya di persidangan, beberapa lembaga yang mewakili pemerintah diantaranya Kejaksaan Agung, Polri dan Kementerian Agama. Sayangnya, ketika sidang berlangsung, secara umum Rafendi menilai para delegasi menjawab pertanyaan komite dengan sikap berkelit. Harusnya, para delegasi itu menjabarkan kondisi yang ada dengan jujur sehingga komite mengetahui rekomendasi apa yang tepat diterbitkan untuk Indonesia.

Dari empat rekomedasi yang diprioritaskan komite untuk dijalankan pemerintah, Rafendi menilai sangat realistis untuk dilakukan. Pasalnya, berjalan atau tidaknya rekomendasi itu tinggal menunggu perintah Presiden SBY selaku pemimpin pemerintahan. Oleh karenanya, Rafendi yakin Presiden punya kewenangan menjalankannya. “Rekomendasi itu bisa dilakukan dengan eksekutif order,” tukasnya.

Pada kesempatan yang sama direktur program LBH Masyarakat, Ricky Gunawan, mengingatkan dari rekomendasi yang ditelurkan, salah satunya menyangkut revisi KUHP. Misalnya, ketentuan tentang penyiksaan, perlu dimasukan karena selama ini para korban kesulitan mendapat perlindungan hukum untuk lepas dari tindak penyiksaan. Penyebab terjadinya hal itu menurut Ricky karena payung hukum dalam KUHP tidak jelas mendefinisikan penyiksaan.

Untuk itu Ricky berharap pemerintah serius menjalankan rekomendasi komite Sipol. Pasalnya, anggota komite bukan orang sembarangan, Ricky menilai mereka sebagai pakar hukum dan HAM internasional. Apalagi, dengan meratifikasi kovenan Sipol pemerintah Indonesia menjadi negara anggota yang harusnya tunduk terhadap ketentuan yang termaktub dalam kovenan, tak terkecuali rekomendasi komite. “Komite bukan sekedar mengkritisi tapi membantu memperbaiki aturan hukum yang ada (di Indonesia-red),” urainya.

Terpisah, anggota Komnas HAM, Roichatul Aswidah, menyebut Komnas HAM mendesak pemerintah untuk melaksanakan rekomendasi komite. Salah satunya membentuk lembaga pengawas Lapas dan Rutan. Menurutnya pembentukan lembaga itu sebagai upaya agar perlakuan dalam Lapas dan Rutan sesuai amanat kovenan Sipol. Tak ketinggalan, perempuan yang disapa Roi itu mendorong pemerintah untuk segera mengesahkan protokol opsional konvensi menentang penyiksaan. Pasalnya, protokol itu membuka ruang untuk dilakukan pemantauan terhadap kondisi para tahanan di Lapas dan Rutan.

"Indonesia harus memastikan adanya lembaga yang mengawasi tempat-tempat penahanan serta Lapas dan memiliki mandat untuk melakukan kunjungan secara mendadak termasuk dalam hal ini tempat tahanan di bawah militer," ujar Roi dalam jumpa pers di kantor Komnas HAM Jakarta, Senin (29/7).

Selain itu, menurut Roi komite mengimbau pemerintah untuk memastikan perbaikan sarana dan prasarana di penjara. Seperti daya tampung yang memadai sehingga tidak melebihi kapasitas dan menerapkan standar yang diatur dalam kovenan Sipol. Misalnya, ada pos pelayanan pengaduan untuk penghuni penjara.

Tags:

Berita Terkait