Empat Permasalahan Aturan Right To Be Forgotten
Terbaru

Empat Permasalahan Aturan Right To Be Forgotten

Seperti cakupan pengertian atas hak yang perlu diharmonisasikan dengan UU lainnya, hingga berhubungan dengan sanksi yang berlaku serta pengawasan yang saat ini masih menunggu pembentukan komisi.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Ade Wahyudin, menilai Pasal 26 ayat (3) UU 19/2016 tergolong amat rentan dan multitafsir. Misalnya, tidaknya ada penjelasan mengenai defenisi informasi ‘yang tidak relevan’. Mengingat kala UU 11/2008 terbit belum adanya UU Pelindungan Data Pribadi, sehingga konteksnya bisa luas tak sekedar data pribadi tapi bisa menyasar isu lainnya.

Misalnya, informasi terkait pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu yang tak kunjung tuntas, bisa jadi ada yang meminta untuk dihapus. Kemudian produk jurnalistik bisa juga dianggap informasi yang tidak relevan. “Pasal 26 UU ITE lebih berpotensi mencederai dibandingkan dengan manfaat yang diberikan,” ujarnya.

Persoalan selanjutnya Pasal 26 UU ITE terkait mekanisme penghapusan melalui proses penetapan pengadilan. Dalam persidangan menandakan tidak ada proses jawab menjawab dari para pihak. Pasalnya yang ada hanya dari pihak pemilik data pribadi. Seharusnya proses pengadilan itu melibatkan berbagai pihak termasuk pengendali data atau penyelenggara sistem elektronik (PSE).

Pengaturan penghapusan the right to be forgotten dalam UU 27/2022, menurut Ade lebih solid ketimbang UU 19/2016 karena masuk dalam konteks data pribadi. Pasal 16 UU 27/2022 mengatur penghapusan atau pemusnahan data pribadi merupakan bagian dari pemrosesan data pribadi. Ada juga 4 syarat pengendali data dalam menghapus data pribadi. Diharapkan ketentuan itu menjadi rujukan dalam merevisi UU 19/2016 ke depannya.

Kendati Pasal 43 UU 27/2022 membatasi penghapusan data pribadi, tapi Ade khawatir pengecualian hak-hak subjek data pribadi sebagaimana diatur Pasal 15. Ketentuan itu mengatur pengecualian hak-hak subjek data pribadi hanya untuk 5 hal. Yakni kepentingan pertahanan dan keamanan nasional; penegakan hukum; kepentingan umum dalam rangka penyelenggaraan negara; pengawasan sektor jasa keuangan, moneter, sistem pembayaran, dan stabilitas sistem keuangan dalam penyelenggaraan negara; dan kepentingan statistik dan penelitian ilmiah.

Sejak awal Ade mengkritik pasal 15 tidak memasukan kegiatan jurnalistik masuk dalam pengecualian tersebut begitu juga kerja-kerja yang dilakukan kalangan organisasi masyarakat sipil. “Pasal ini berpotensi menimbulkan kriminalisasi (terhadap jurnalis dan aktivis organisasi masyarakat sipil,-red),” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait