Empat Isu Krusial dalam RUU Penanggulangan Bencana
Berita

Empat Isu Krusial dalam RUU Penanggulangan Bencana

UU 24/2007 dinilai sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebencanaan, sehingga perlu aturan baru yang terpadu dan terkoordinasi dengan kebutuhan masyarakat. A

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Gedung MPR/DPR/DPD. Foto: RES
Gedung MPR/DPR/DPD. Foto: RES

DPR bersama pemerintah dan Dewan Perwakilan Daerah bersepakat memulai pembahasan Revisi Undang-Undang (RUU) No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Pihak Pemerintah menilai dalam RUU Penanggulangan Bencana terdapat empat isu krusial yang perlu mendapat perhatian khusus.

Menteri Sosial Juliari P. Batubara mengatakan empat isu krusial itu harus jadi perhatian khusus. Pertama, kelembagaan. Menurutnya, pemerintah menilai pengaturan terkait tiga fungsi yakni koordinasi, komando, dan pelaksana. Terkait nama lembaga, bagi Juliari tak perlu menyebut nama lembaga yang menyelenggarakan penanggulangan bencana. Sedangkan pengaturan syarat dan tata cara pengangkatan kepala lembaga, penjabaran fungsi koordinasi, komando, pelaksana tugas.

Kemudian struktur organisasi dan tata kerja lembaga bakal diatur melalui peraturan presiden (Perpres). Pengaturan tersebut ditujukan agar memberi fleksibilitas serta memudahkan melakukan perubahan atau adaptasi sesuai kondisi dan perkembangan kebutuhan tata kelola pemerintahan yang akan datang.  

Kedua, anggaran. Menurutnya, pengalokasian anggaran agar tidak dicantumkan persentase secara spesifik, tapi cukup diatur secara memadai. Dia beralsaan usulan tersebut agar menghindari adanya mandatory spending yang bakal membebani anggaran negara. Selain itu, cara tersebut menjadi bagian memberikan keleluasaan fiskal.

Ketiga, ketentuan sanksi pidana, pemerintah mengusulkan agar rumusan norma pengaturan sanksi pidana tak menerapkan hukuman minimal dan tak hanya hukuman badan berupa penjara, tapi juga pidana denda. 

Mantan anggota dewan periode 2014-2019 dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) melanjutkan pemerintah mengusulkan agar pengaturan rumusan sanksi pidana menerapkan pidana maksimal. Pasalnya, tindak pidana dalam penanganan bencana masuk  kategori kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime. Dia mewanti-wanti betul soal penerapan sanksi pidana dalam RUU Penanggulangan Bencana.

Keempat,peran lembaga dan masyarakat. Dalam praktiknya, lembaga usaha dan lembaga internasional memiliki peran saat situasi penanggulangan bencana. Namun peran masyarakat pun tak boleh dipandang sebelah mata karena masyarakat sering aktif membantu pemerintah.

“Pemerintah mengusulkan dalam pengaturan normanya menambahkan peran masyarakat. Seperti para filantropis yang membuat dan mengumpulkan donasi dari masyarakat untuk membantu penanggulangan bencana. Begitu pula peran lembaga keagamaan dan lembaga sosial,” ujar Juliari P. Batubara dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi VIII di Komplek Gedung Parlemen, Senin (7/9/2020). (Baca Juga: Regulasi Penanggulangan Bencana Kurang Komprehensif, DPR Usulkan Undang-Undang Baru)

Ketua Komisi VIII DPR Yandri Susanto berpendapat UU 24/2007 sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebencanaan, sehingga perlu aturan baru yang terpadu dan terkoordinasi dengan kebutuhan masyarakat. Atas dasar itu, Komisi VIII DPR menilai perlu merevisi UU 24/2007. Sebagai pengusul, Komisi VIII telah melalui prosedur sesuai UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

“Kita akan memulai pembahasan ini, momentumnya pas sekarang, karena isu pandemi Covid-19 dan UU 24/2007 tidak mampu menjawab itu semua,” ujarnya.

Ketua Komite II, Yoris Yawerai mengatakan Perubahan UU 24/2007 menambahkan sejumlah ketentuan menjadi lebih komprehensif terkait pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam menanggulangi bencana. Namun demikian, RUU Penanggulangan Bencana harus mampu mengakomodir ketentuan lainnya agar dapat memperkuat koordinasi pemerintah pusat dan daerah, khususnya soal sinkronisasi data valid dan korban secara faktual serta menghindari konflik dalam menetapkan kebijakan.  

Seperti halnya dalam penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di tengah pandemi Covid-19 antara pemerintah pusat dan daerah. Kemudian dari aspek kelembagaan, memberikan penguatan terhadap Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Sebab, BNPB dapat membentuk satuan kerja di daerah guna mempercepat penanggulangan bencana dan memperpendek birokrasi.

“RUU ini mengatur alokasi anggaran penangggulangan bencana siap pakai yang bersumber dari APBN dan APBD,” ujar senator asal Papua itu.

Sebagaimana diketahui, RUU Penanggulangan Bencana menjadi usul inisiatif DPR. Dalam daftar Prolegnas Prioritas 2020, RUU Penanggulangan Bencana berada di nomor urut 10. DPR beralasan UU 24/2007 tak relevan di tengah kondisi perkembangan kebencanaan. Apalagi dinamika dan tantangan yang ada belum terakomodir dalam penyelenggaraan kebencanaan. Atas dasar itu, diperlukan payung hukum baru yang lebih komprehensif, terencana, dan terpadu dalam penanganan bencana.

Tags:

Berita Terkait