Empat Alasan Bab Tindak Pidana Khusus dalam RKUHP Minta Dicabut
Berita

Empat Alasan Bab Tindak Pidana Khusus dalam RKUHP Minta Dicabut

Banyak perubahan ketentuan yang harus dilakukan daripada sekedar menduplikasi tindak pidana dan mengubah pendekatan penanggulangan masalah yang sudah lebih kontekstual pengaturannya pada UU sektoral.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

Menurutnya, ketiadaan asas retroaktif dalam RKUHP berdampak pada hilangnya asas khusus tindak pidana pelanggaran HAM berat yang sebelumnya melekat dalam UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. “RKUHP tidak secara tegas mengatur batasan mengenai kadaluarsa penuntutan dan menjalankan pidana bagi tindak pidana pelanggaran berat terhadap HAM,” ujarnya.

 

Terhadap rumusan model pertanggungjawaban komando pun terbilang buruk dalam RKUHP. Dari aspek penempatan, pertanggungjawaban komando, polisi atau atasan sipil semestinya dituangkan dalam buku I RKUHP, bukan di buku II. Menuangkan dalam buku II RKUHP menunjukan penyusun melihat sebagai pertanggungjawaban sebagai tindak pidana. “Padahal pertanggungjawaban komando, polisi atau atasan sipil lain hanya bentuk pertanggungjawaban,” ujarnya.

 

Asisten peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Marsya Mutmainah Handayani berpendapat rumusan tindak pidana lingkungan hidup dalam RKUHP merupakan kemunduran. Misalnya, Pasal 373 RKUHP memuat unsur melawan hukum. Hal ini berbeda seperti diatur Pasal 98 UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH yang tidak memuat unsur melawan hukum dalam tindak pidana lingkungan hidup. Demikian pula perumusan delik tindak pidana lingkungan dalam delik formil dalam RKUHP mensyaratkan adanya akibat.

 

Hal lain, ada ketidakjelasan sanksi dan tujuan pemidanaan bagi pelaku korporasi dalam tindak pidana lingkungan. Menurutnya pidana denda terhadap pelaku korporasi sangat besar. Sayangnya dalam RKUHP tidak adanya jaminan bahwa denda tersebut bakal dimanfaatkan bagi kepentingan pemulihan lingkungan, meski terdapat pidana tambahan/tindakan pemulihan yang dapat diberikan sanksi bagi korporasi.

 

Lebih lanjut, Marsya menuturkan pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam RKUHP pun dipandang masih setengah hati. Menurutnya dalam RKUHP, pengertian tindak pidana korporasi dan pertanggungjawabannya masih berorientasi pertanggungjawaban orang, bukan badan hukum. Selain itu, minimnya petunjuk penjatuhan pidana terhadap korporasi. Bahkan, masih tumpang tindihnya pidana tambahan korporasi dengan tindakan terhadap korporasi.

 

Fokus revisi UU sektoral

RKUHP sejatinya memperbaiki kekurangan dari berbagai ketentuan pemidanaan yang tersebar di luar KUHP. Namun, langkah dengan memasukan berbagai jenis tindak pidana dalam RKUHP justru mengkerdilkan kewenangan lembaga yang diatur dalam UU sektoral. Bila tujuannya memperbaiki pemidanaan, maka DPR dan pemerintah mestinya fokus terhadap perbaikan UU sektoral, bukan sebaliknya menarik ke dalam RKUHP.

 

“Kalau mau dilakukan perbaikan, maka silakan revisi UU sektoral saja,” ujar Lola Ester. Baca Juga: Catatan Kritis terhadap Tindak Pidana Lingkungan dalam RKUHP

Tags:

Berita Terkait