Emir Moeis Diangkat Sebagai Komisaris, Ada Celah Hukum dalam Persyaratan Formal
Terbaru

Emir Moeis Diangkat Sebagai Komisaris, Ada Celah Hukum dalam Persyaratan Formal

Pengangkatan ini dinilai sebagai bentuk ketiadaan komitmen pemerintah terhadap pemberantasan korupsi serta bentuk gagal pemberian efek jera kepada koruptor.

RED
Bacaan 4 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Ternyata, Izedrik Emir Moeis telah diangkat menjadi Komisaris PT Pupuk Iskandar Muda (PIM), anak perusahaan BUMN PT Pupuk Indonesia (Persero) sejak 18 Februari 2021 lalu. Penunjukkan ini menuai kritik dari Koalisi Bersihkan Indonesia. Menurut Koalisi, pengangkatan Emir Moeis sebagai komisaris anak perusahaan BUMN merupakan bentuk ketiadaan komitmen pemerintah terhadap pemberantasan korupsi.

Alasan ini bukan tanpa sebab. Penolakan terhadap penunjukkan Emir Moeis lantaran politikus senior PDI Perjuangan itu merupakan mantan terpidana korupsi suap pembangunan 6 bagian Pembangkit Listrik Tenaga Uap 1000 MW di Tarahan, Lampung. Saat menjabat Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI tahun 2000–2003, Emir Moeis, terbukti menerima uang sebesar USD 423.985 atau sekitar Rp6,3 miliar dari Konsorsium Alstom Power Inc. (Marubeni Corp, Alstom Power Inc, dan Alstom Power ESI) karena telah membantu konsorsium perusahaan tersebut dalam tender pembangunan PLTU Tarahan Lot 3 (Steam Generator dan Auxiliaries).

Peneliti Trend Asia, Andri Prasetiyo menyatakan bahwa pengangkatan Emir Moeis sebagai komisaris semakin mempertegas bahwa komitmen pembenahan BUMN oleh jajaran pemerintahan Presiden Joko Widodo adalah bualan. “Emir Moeis, dengan rekam jejaknya, jelas tidak layak menjabat posisi tersebut dan harus segera diberhentikan. Jika tiada langkah tegas, ke depannya BUMN sangat mungkin akan terus diisi oleh tidak sedikit mantan koruptor yang masih memiliki kedekatan dengan kekuasaan,” katanya dalam siaran pers yang diterima Hukumonline, Sabtu (7/8).

Koalisi Bersihkan Indonesia menilai kasus korupsi dalam pengadaan PLTU Tarahan juga masih dapat dikembangkan karena masih ada nama-nama yang telah disebutkan dalam persidangan, tetapi belum ditindak. “Negara seharusnya dapat melakukan penyitaan terhadap hasil dari tindak pidana Emir Moeis dan juga mengakumulasikan dakwaan tindak pidana korupsi Emir Moeis dengan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Pengangkatan Emir Moeis sebagai komisaris justru bertolak belakang dengan upaya itu,” ujar Egi Primayogha, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW).

Pendakwaan TPPU kepada Emir Moeis bisa dilakukan karena ada upaya penyamaran asal uang suap melalui PT Artha Nusantara Utama (ANU) yang dimiliki oleh Armand Emir Moeis (anak Emir Moeis) dan Zuliansyah Putra Zulkarnain (staf ahli Emir Moeis). Ada perjanjian kerja sama bisnis batubara antara PT Pacific Resources dengan PT ANU di Berau, Kalimantan Timur. Perjanjian tersebut ditujukan untuk menyamarkan uang suap dari Pirooz Muhammad dan PT Pacific Resources—perantara suap—kepada Emir Moeis.

Selain gagal dalam memberikan efek jera kepada koruptor, pengangkatan Emir Moeis sebagai komisaris di PT PIM juga menunjukkan celah hukum dalam persyaratan formal dewan komisaris PT PIM. Berdasarkan Board Manual PT PIM, persyaratan formal dewan komisaris adalah tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dan/atau yang berkaitan dengan sektor keuangan dalam kurun waktu lima tahun sebelum pengangkatannya. Emir Moeis diketahui telah bebas dari penjara sejak Maret 2016.

Meski demikian, komisaris juga diwajibkan memiliki kompetensi teknis/keahlian dalam melakukan fungsi pengawasan dan memberikan nasihat. Selain itu, PT PIM juga menyatakan bahwa perusahaannya telah menerapkan Sistem Manajemen Anti Suap ISO 37001:2016 sejak April 2020.

“Pengangkatan eks narapidana korupsi sebagai komisaris di anak perusahaan BUMN menunjukkan praktik buruk dalam tata kelola BUMN dan juga menimbulkan keraguan apakah komisaris mampu melakukan tugasnya dengan baik dalam melakukan pengawasan dan menjadi role model anti korupsi bagi karyawan PT Pupuk Iskandar Muda,” ujar Ferdian Yazid, peneliti Transparency International Indonesia (TII).

Baca:

Lapor LHKPN

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengingatkan Emir Moeis segera menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) pasca ditunjuk sebagai Komisaris PT Pupuk Iskandar Muda sejak 18 Februari 2021. Dari data yang dimiliki KPK, Emir Moeis terakhir melaporkan hartanya pada 2010 silam.

"Benar, berdasarkan data pada aplikasi eLHKPN tercatat laporan kekayaan yang disampaikan kepada kami terakhir adalah pada 26 Januari 2010 dalam kapasitas sebagai Anggota DPR RI periode 2009-2014," kata Plt Juru Bicara KPK Bidang Pencegahan Ipi Maryati Kuding dikutip dari Antara.

Ipi mengatakan setelah diangkat dalam jabatan publik maka terikat kewajiban untuk menyampaikan kembali LHKPN kepada KPK. "Hal ini juga diperkuat dalam aturan internal PT Pupuk Indonesia (Persero) yang mewajibkan para pejabat di lingkungannya beserta anak perusahaannya untuk melaporkan harta kekayaan. Kami mengimbau agar memenuhi kewajiban tersebut," katanya.

Dalam kesempatan tersebut, Ipi juga mengingatkan bahwa pejabat publik seharusnya menjadi teladan sehingga untuk dapat menduduki jabatan publik harus diisi oleh figur-figur yang antikorupsi dan memiliki "track record" yang baik. "Sehingga selain aspek kompetensi, integritas merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki setiap pejabat publik. Tidak hanya persoalan etis dan kepantasan tetapi saya kira ini juga sejalan dengan semangat bangsa ini untuk memerangi korupsi," katanya.

Penelusuran Hukumonline, Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-02/MBU/02/2015 sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-10/MBU/10/2020 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Dewan Komisaris dan Dewan Pengawas BUMN menyebutkan bahwa ada tiga persyaratan, formal, materiil dan persyaratan lainnya untuk dapat diangkat sebagai komisaris.

Untuk persyaratan formal antara lain, komisaris berasal dari perorangan, cakap melakukan perbuatan hukum, tidak pernah dinyatakan pailit dalam waktu 5 tahun sebelum pencalonan, tidak pernah menjadi anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris/Dewan Pengawas yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu Perseroan/Perum dinyatakan pailit dalam waktu 5 tahun sebelum pencalonan dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dan/atau yang berkaitan dengan sektor keuangan dalam waktu 5 tahun sebelum pencalonan.

Sedangkan persyaratan materiil anggota Dewan Komisaris adalah integritas, dedikasi, memahami masalah-masalah manajemen perusahaan yang berkaitan dengan salah satu fungsi manajemen, memiliki pengetahuan yang memadai di bidang usaha Persero/Perum dimana yang bersangkutan dicalonkan dan dapat menyediakan waktu yang cukup untuk melaksanakan tugasnya.

Untuk persyaratan lain, calon komisaris bukan pengurus partai politik dan/atau calon anggota legislatif dan/atau anggota legislatif, bukan calon Kepala/Wakil Kepala Daerah dan/atau Kepala/Wakil Kepala Daerah, tidak menjabat sebagai anggota Dewan Komisaris/Dewan Pengawas pada BUMN yang bersangkutan selama dua periode berturut-turut, sehat jasmani dan rohani serta jika berasal dari penyelenggara negara harus melaporkan LHKPN selama dua tahun terakhir yang dibuktikan dengan bukti Lapor LHKPN kepada institusi yang berwenang. (ANT)

Tags:

Berita Terkait