Ekstradisi, Awal Penegakan Hukum terhadap Maria Pauline Lumowa
Berita

Ekstradisi, Awal Penegakan Hukum terhadap Maria Pauline Lumowa

Pemerintah akan kejar aset Maria Pauline.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Serah terima buronan Maria Pauline Lumowa dari interpol Serbia ke Indonesia (Dirjen AHU). Foto: Kemenkumham
Serah terima buronan Maria Pauline Lumowa dari interpol Serbia ke Indonesia (Dirjen AHU). Foto: Kemenkumham

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyebut ekstradisi Maria Pauline Lumowa bukan akhir dari proses penegakan hukum terhadap yang bersangkutan. Menurut Yasonna, pembobol kas BNI sebesar Rp1,7 triliun (sebelumnya tertulis Rp1,2 triliun) tidak hanya akan diproses hukum badan, tetapi pihaknya juga akan menelusuri aset yang dimiliki Maria di luar negeri.

“Kita akan mengejar terus. Bersama penegak hukum, kita akan melakukan asset recovery yang dimiliki Maria Pauline Lumowa di luar negeri. Kita akan menempuh segala upaya hukum untuk membekukan asetnya, termasuk memblokir akun dan sebagainya” ujar Yasonna dalam konferensi pers di Bandara Soekarno Hatta, Kamis (9/7).

Yasonna juga mengatakan proses ekstradisi ini memliki sejumlah tantangan, sebab ada negara di Eropa yang juga melakukan diplomasi agar Maria Pauline tidak diekstradisi ke Indonesia. Maria sendiri diketahui merupakan Warga Negara Belanda sejak 1979 lalu, selain itu ada juga upaya lain berupa pemberian suap agar Maria tidak diekstradisi ke Indonesia.

“Selama proses permintaan ekstradisi sejak tahun lalu, ada negara dari Eropa yang juga melakukan diplomasi agar Maria Pauline Lumowa tidak diekstradisi ke Indonesia. Pengacara juga melakukan upaya hukum, termasuk memberikan suap, tetapi Pemerintah Serbia tetap memegang komitmen kepada Indonesia,” ujar Yasonna.

Yasonna juga menyampaikan bahwa masa penahanan Maria Pauline Lumowa akan habis pekan depan, setelah ia menjalani proses hukum di negara pecahan Yugoslavia tersebut. Oleh karena itu pemerintah Indonesia melalui Kementerian Hukum dan HAM meningkatkan intensitas percepatan ekstradisi ini selama sebulan terakhir. (Baca: Kunjungan Menkumham ke Serbia Dikabarkan untuk Ekstradisi Maria Pauline)

Selain itu, ia mengungkapkan bahwa pemerintah Indonesia akan memberikan akses hukum kepada Maria melalui Kedutaan Besar Belanda untuk mendapatkan bantuan pendampingan hukum. “Sebagai perlindungan warga negara, dia akan diberi akses hukum melalui Dubesnya menunjuk lawyer dan penasihat hukum dia,” pungkasnya.

Senada, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD menjelaskan bahwa hak asasi Maria akan diperhatikan selama menjalani proses hukum. “Tadi saya sudah bicara dan saya katakan hukum akan perlakukan degan baik dan perhatikan hak asasinya. Bantuan hukum akan diberikan dan dia punya kuasa hukum dari kedubes dan beliau sekarang Warga Negara Belanda,” kata Mahfud.

Maria Pauline Lumowa merupakan salah satu tersangka pembobolan kas BNI lewat Letter of Credit (L/C) fiktif senilai Rp1,7 Triliun rupiah. Ia menjadi buronan penegak hukum Indonesia selama 17 tahun tahun terakhir setelah terbang ke Singapura pada September 2003 atau sebulan sebelum ditetapkan sebagai tersangka oleh tim khusus bentukan Mabes Polri. (Baca: Kapolri Yakin Maria Pauline Lumowa Bukan Otak Pembobolan BNI)

Pemerintah Indonesia sebenarnya dua kali mengajukan proses ekstradisi Maria Pauline Lumowa kepada Pemerintah Kerajaan Belanda pada 2009 dan 2014, namun dua kali itu pula ditolak. Permintaan ekstradisi diajukan kepada Pemerintah Belanda karena perempuan kelahiran Paleloan, Sulawesi Utara, tersebut didapati sudah menjadi warga negara Belanda sejak 1979.

Maria Pauline Lumowa kemudian ditangkap oleh petugas NCB Interpol Serbia saat mendarat di Bandara Internasional Nikola Tesla pada Juli 2019. Penangkapan dilakukan berdasarkan red notice pada 2003. Begitu penangkapan tersebut diinformasikan, Kementerian Hukum dan HAM serta aparat penegak hukum Indonesia langsung mengajukan permintaan ekstradisi kepada Pemerintah Serbia.

Permintaan tersebut disampaikan melalui surat Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM Nomor AHU-AH.12.01-10 tanggal 31 Juli 2019. Surat ini kemudian disusul dengan permintaan percepatan proses ekstradisi yang disampaikan melalui surat nomor AHU-AH 12.01-22 tanggal 3 September 2019.

Tags:

Berita Terkait