Eksprimen Hukum dalam Pilkada Sulsel
Fokus

Eksprimen Hukum dalam Pilkada Sulsel

Peraturan Mahkamah Agung sendiri tegas menyatakan bahwa jika permohonan dikabulkan, ada dua hal yang perlu dinyatakan MA dalam putusan: membatalkan hasil perhitungan suara KPUD dan menetapkan hasil perhitungan suara yang benar.

Ali/IHW/NNC
Bacaan 2 Menit

 

Perbedaan sikap majelis hakim seolah tergambar kembali di luar ruang sidang. Para pengamat hukum dan politik berbeda pandang menyikapi putusan MA. Di Sulawesi Selatan sendiri perlawanan atau dukungan mengalir melalui pernyataan sikap dan demonstrasi. Kondisinya nyaris sama ketika terjadi sengketa pilkada Kotamadya Depok beberapa waktu lalu. Dalam kasus Depok, KPUD setempat juga menyatakan keberatan atas putusan pengadilan, dan lantas mengajukan upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali (PK). Langkah hukum semacam itu pula yang kini digodok Mappinawang dan kawan-kawan di KPUD Sulsel.

 

Pilkada ulang atau perhitungan suara ulang?

Sayang, kontroversi itu mencuat ketika banyak pihak belum membaca utuh pertimbangan hukum MA. Kalau saja salinan putusan itu bisa dibaca, tentu akan terbaca dengan seksama apa yang membuat majelis hakim mengabulkan sebagian permohonan pasangan Amin Syam – Mansyur Ramli.

 

Tetapi pangkal persoalan yang mengemuka adalah perintah menggelar pemilihan ulang di keempat kabupaten tadi. Bagi mereka yang cenderung menolak atau mengkritisi, MA telah melampuai wewenang ketika memerintahkan pilkada ulang. Itu tidak ada dasar hukumnya, kata Mappinawang, Ketua KPUD Sulsel. Selain soal payung hukum yang tak jelas, pilkada ulang juga dinilai KPUD butuh anggaran hingga 40 miliar. Anggaran yang demikian besar juga terkait dengan APBD sulsel.

 

Benarkah secara yuridis, pilkada ulang tak dapat dibenarkan? Penulis buku Impeachment Presiden, Hamdan Zoelva berpendapat pilkada ulang tetap dapat dibenarkan asal memenuhi syarat seperti bencana alam yang luar biasa atau kerusakan surat suara yang sangat parah. Dalam pilkada Sulsel hamdan tak melihat alasan pembenar demikian. Karena itu, yang harus diputuskan MA adalah menghitung ulang surat suara yang masuk. Seharusnya MA hanya memerintahkan penghitungan ulang, bukan pemilihan ulang, ujar Ketua Partai Bintang Bulan di Jakarta, akhir pekan lalu. Ia beralasan sengketa pilkada maupun sengketa pemiliha presiden adalah sengketa kalkulator. Karenanya, dalam kasus ini, ia berpendapat MA telah melampaui batas kewenangan.

 

Mari cocokkan pendapat Hamdan dengan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 02 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum keberatan Terhadap Penetapan Hasil Pilkada dan Pilwakada dari KPUD Provinsi dan KPUD Kabupaten/Kota. Pasal 4 Perma ini mengatur peluang putusan MA atas suatu sengketa pilkada. Salah satu peluangnya adalah dikabulkan. Menurut ayat (5) pasal ini, jika permohonan dikabulkan maka MA menyatakan dua hal yaitu (i) membatalkan perhitungan suara yang telah ditetapkan KPUD; dan (ii) menetapkan hasil perhitungan suara yang benar.

 

Lain Hamdan, lain pula Indra Perwira. Pakar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran ini malah menilai MA sudah tepat mengeluarkan putusan seperti itu. Saya agak menyesalkan beberapa pendapat di berbagai media yang malah mengkritisi putusan Mahkamah Agung. Kalau kita cermati dengan pandangan yang tidak terlalu legalistik, putusan MA itu sudah tepat, kata Indra di ujung telepon ketika dihubungi hukumonline (22/12).

 

Menurut saya putusan MA yang memerintahkan agar dilakukan pencoblosan ulang adalah putusan yang tepat, masuk akal dan tidak melebihi kewenangannya. Karena di satu sisi, MA sebenarnya tidak memiliki kewenangan secara politis untuk menentukan siapa yang menang atau yang kalah, jelas Indra.

Tags: