Eksplotasi Seksual Online pada Anak Marak: Aturan Hukum Tertinggal Teknologi
Utama

Eksplotasi Seksual Online pada Anak Marak: Aturan Hukum Tertinggal Teknologi

Eksploitasi seksual pada anak seringkali berawal bukan karena anak mencari informasi, melainkan karena disodorkan secara tidak sengaja melalui iklan di internet, video atau gambar yang membuat rasa penasaran sang anak memuncak.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Acara Talk Show
Acara Talk Show

Pesatnya perkembangan teknologi turut serta meningkatkan angka eksploitasi seksual pada anak (ESA). Dirilis dari data NCMEC per-Januari hingga Juni 2015, Indonesia meraih posisi pertama ESA di Asia, dengan mengantongi 161 ribu kasus. Bahkan di Tahun 2017 terungkap beberapa kasus besar ESA berjaringan internasional.

 

Betapa tidak begitu mewabah? Dewasa ini bahkan anak SD pun telah dibekali gadget canggih sehingga bisa mengakses beraneka konten secara bebas termasuk konten yang tidak pantas tanpa pemantauan ketat dari orang tua. Hasilnya, rasa penasaran akan memandu sang anak menjadi korban bahkan pelaku eksploitasi seksual.

 

Program Manajer ECPAT Indonesia, Andi Ardian, mengakui dalam 3 tahun terakhir ini banyak sekali pola yang berubah seiring berkembangnya platform aplikasi yang tersedia, sehingga dengan berbagai fasilitas aplikasi pelaku dapat dengan mudahnya bersembunyi dari jeratan hukum. Misalnya saja, kata Andi, untuk melindungi data banyak predator ESA yang menggunakan kode enkripsi, sehingga data tak bisa dibongkar dengan mudah jika tak memiliki kunci enkripsi tersebut.

 

“Bahkan dalam era teknologi Bitcoin, game juga seringkali digunakan untuk menjual konten pornografi, sehingga transaksi menjadi sulit dilacak,” kata Andi di Acara Talk Show "Eksploitasi Seksual pada Anak secara Online - Sebuah Fakta yang Menggelisahkan", Rabu (6/9), di Jakarta.

 

Pelaku yang melakukan transaksi secara tersembunyi inilah yang menurut Andi cukup sulit dijangkau, biasanya pelaku tersebut hanya menawarkan pada member. Tapi ada juga pelaku yang sudah mulai open traders. Pelaku ini justru yang lebih sering tertangkap dan dijerat hukum. Parahnya, kata Andi, jika sang anak diarahkan untuk berpartisipasi secara sukarela, sehingga mempidanakan pelaku akan jadi sangat sulit.

 

“Akan tetapi ada satu teknologi untuk melacak suatu foto itu ada di mana saja, jadi kita bisa tinggal minta pihak berwenang untuk take down dan menindaklanjutinya. Masalahnya, ada juga isp isp yang tak terdaftar,” tukas Andi.

 

Kepala Unit 4 Subdit 1, Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, AKPB Rita Wibowo, menyebut peristiwa ESA ini seringkali berawal bukan karena anak mencari informasi, melainkan karena disodorkan secara tidak sengaja melalui iklan di internet, video atau gambar yang membuat rasa penasaran sang anak memuncak. Terbukti melalui kegiatan penelitian yang dilakukan Kemenkes, kata Rita, dari 6 ribu responden di akhir 2016, hampir 90% anak di bawah umum sudah terpapar pornografi.

 

“Anehnya, bahkan ketika Kominfo sudah take down 1000 akun hari ini, besoknya sudah muncul lagi lebih dari 2 ribu hingga 3 ribu akun baru. Sehingga tak bisa dipungkiri orang tua harus bisa menjadi polisi bagi anak-anaknya” kata Rita.

 

(Baca Juga: ECPAT dan Badiklat Kejaksaan Agung Jalin Kerjasama Tangani Eksploitasi Seksual Anak)

 

Adapun modus operandiyang harus dikenali dan diantisipasi orang tua, dijabarkan Rita seperti Cyber Stalking (mengamati, mengintip dan mengikuti perbuatan di dunia maya), Cyber grooming (bujuk rayu yang dapat meyakinkan sang anak untuk aktif secara seksual), Sexting (menggambar bagian tubuh diri sendiri tanpa memahami maksudnya, konsekuensinya sang anak bisa berhadapan dengan hukum sebagai pelaku), sextortion (pemerasan seksual), Cyber Harassment (pelecehan) dan lainnya.

 

“Namun seringkali anak-anak yang jadi korban ini tidak sadar kalau dia jadi korban, sementara dari awal melalui modus-modus operandi itu sudah dikondisikan untuk dieksploitasi ke depannya,” ungkap Rita.

 

Ironisnya, di tengah perkembangan pesat bentuk-bentuk baru eksploitasi seksual anak, Rita mengaku perangkat aturan hukum di Indonesia belum mampu mengakomodir permasalahan yang terjadi. Bahkan dalam kasus yang pernah ia tangani, seringkali ahli hukum berpandangan bahwa predator yang mengoleksi foto-foto anak dengan pakaian minim dianggap tak bermasalah secara hukum, padahal potensi penyalahgunaan terlebih bagi pelaku pedofil patut diambil tindakan.

 

Mewabahnya pelaku pedofilia ini juga tak bisa dianggap remeh. Pernah diulas dalam artikel hukumonline, di awal 2018, Kemensos menerima laporan kasus kekerasan seksual pada anak di Tangerang yang dilakukan WS, seorang guru honor terhadap 41 anak. Tak hanya itu, kasus MM mencabuli 9 anak kecil di Buleleng Bali di Tahun 2001, kasus MH di Tahun 2006 yang mencabuli 6 siswa SD di Tabanan, Bali, bahkan kasus pencabulan 14 anak jalanan yang berujung mutilasi 4 korban di Jakarta dalam kasus Baekuni yang akhirnya divonis hukuman seumur hidup.

 

(Baca juga: Disayangkan, Tindak Pidana Prostitusi Terhadap Anak Tak Masuk Buku II RKUHP)

 

Untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual dan pencabulan tersebut, Rita menyebut sebetulnya sudah ada Perpres No.25 Tahun 2012 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Pornografi. Banyak strategi yang dituangkan didalamnya tapi eksekusinya masih belum maksimal. Harusnya, kata Rita, aksi dalam menyikapi isu ini tidak hanya dilakukan pada tataran rancangan aksi pencegahan nasional melainkan dalam bentuk nyata bekerjasama melibatkan masyarakat.

 

Ancaman Pidana Pelaku (Dewasa dan Anak)

Sebelumnya, pernah diulas dalam klinik hukumonline, bahwa seorang anak yang menjadi pelaku kekerasan atau ancaman kekerasan seksual dapat diancam pidana penjara paling lama ½ dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.

 

Adapun ancaman pidana bagi pelaku yang sudah dewasa untuk kasus kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Berdasarkan pasal 81 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 76D UU No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak adalah pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar. Bahkan jika kekerasan atau ancaman kekerasan seksual tersebut dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik atau tenaga kependidikan maka pidananya ditambah 1/3.

 

Pasal 81

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).”

 

Tak hanya itu, pada pasal 82 jo. pasal 76E UU 35/2014 pelaku ‘perbuatan cabul’ terhadap anak yang dilakukan melalui kekerasan atau ancaman kekerasan, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul juga diancam dengan pidana paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar.

 

Pasal 82

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).”

Tags:

Berita Terkait