TAP MPR Akan Dihidupkan Kembali
Utama

TAP MPR Akan Dihidupkan Kembali

Menteri Hukum dan HAM mengusulkan agar posisi TAP MPR berada di atas UUD 1945 dalam hierarki peraturan perundang-undangan

Ali Salmande
Bacaan 2 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Pasca terbitnya UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, keberadaan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) menjadi tidak jelas. Pasalnya, dalam undang-undang ini, posisi TAP MPR dikeluarkan dari hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Nasib TAP MPR yang berjumlah 137 buah menjadi terkatung-katung.

 

Namun, kondisi ini akan segera berakhir. DPR dan Pemerintah telah sepakat memasukkan kembali TAP MPR ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Hal ini terungkap dalam Rapat Panitia Khusus revisi UU No 10 Tahun 2004, Rabu (2/3), di Gedung DPR, Jakarta.

 

“Jadi, kita sepakat memasukkan TAP MPR ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan,” ujar Pimpinan Rapat Sucipto.

 

Sejumlah perwakilan fraksi yang hadir sudah menyatakan persetujuannya. Mereka yang setuju adalah Almuzammil Yusuf (Fraksi Keadilan Sejahtera), Basuki Tjahaja Purnama (Fraksi Golkar), Yasona Laoly (Fraksi Demokrasi Indonesia Perjuangan), dan Rusli Ridwan (Fraksi Amanat Nasional).

 

Pasal 7 ayat (1) UU No 10/2004

Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:

1.    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2.    Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Penngganti Undang-Undang;

3.    Peraturan Pemerintah;

4.    Peraturan Presiden;

5.    Peraturan Daerah.

 

Sucipto, Anggota Komisi III dari Partai Demokrat, menjelaskan berdasarkan masukan-masukan dari pakar hukum – di antaranya Hakim Konstitusi Prof Maria Farida Indrati- memang ada usulan untuk memasukan kembali TAP MPR ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan. “Kami sudah menjaring masukan-masukan dari pakar,” tuturnya.

 

Sebelumnya, TAP MPR memang sempat masuk ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam TAP MPRS No XX Tahun 1966 dan TAP MPR No III Tahun 2000. Namun, akhirnya TAP MPR dikeluarkan dari hierarki dengan berlakunya UU No 10 Tahun 2004.

 

Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar menilai memasukan TAP MPR ke dalam hierarki sangat penting. Pasalnya, eksistensi TAP MPR dijamin oleh UUD 1945. Apalagi, saat ini ada sekitar 139 TAP MPR dari berbagai jenis yang masih eksis. “Ada yang bersifat regeling (pengaturan,-red), beschikking (keputusan,-red), atau einmalig (berlaku sekali pakai,-red),” ujarnya.

 

Patrialis menegaskan pengangkatan presiden dan wakil presiden juga dengan TAP MPR. “TAP MPR harus masuk ke dalam hierarki agar mengikat seluruh warga negara Indonesia,” tuturnya.  

 

Sucipto menjelaskan secara teoritis ada tiga produk yang dihasilkan oleh MPR. Yakni, (1) Perubahan UUD 1945, (2) Keputusan MPR yang bersifat mengikat ke dalam, dan (3) Ketetapan MPR yang bersifat mengikat ke dalam dan ke luar. “Kalau ketetapan sudah dikeluarkan, tak satu pun warga negara boleh menolak itu,” tuturnya.

  

Di Atas UUD 1945

TAP MPR memang telah disepakati untuk dimasukkan ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan, tetapi Pemerintah dan DPR belum sepakat mengenai posisi TAP MPR dalam hierarki tersebut. Apakah akan sejajar dengan UUD 1945, di bawah UUD 1945 atau sejajar dengan undang-undang?

 

Patrialis mengusulkan agar TAP MPR diletakkan di atas UUD 1945. Ia berargumentasi bahwa pengesahan perubahan UUD 1945 melalui Ketetapan MPR. “Sehingga wajar saja bila TAP MPR diletakan di atas UUD 1945,” ujarnya. Dengan argumentasi seperti itu berarti posisi TAP MPR lebih tinggi dari UUD 1945.

 

Almuzammil menolak usulan ini. Ia secara tegas menyatakan bahwa UUD 1945 merupakan norma hukum tertinggi di Indonesia. “Jadi, tak mungkin TAP MPR bisa melewati UUD 1945,” tuturnya. Ia mengusulkan agar posisi TAP MPR diletakkan di bawah UUD 1945, apakah sejajar dengan undang-undang atau diletakkan di antara UUD 1945 dengan undang-undang.

 

 

Tags: