Eksekusi Mati, Momentum Perkuat Diplomasi TKI di Luar Negeri
Berita

Eksekusi Mati, Momentum Perkuat Diplomasi TKI di Luar Negeri

Karena dalam kasus ini posisi tawar Indonesia dipandang lemah. Karena itu, pemerintah agar lebih memperkuat diplomasi dan komunikasi serta perlindungan dalam penempatan TKI di luar negeri.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Pengunjukrasa dari sejumlah lembaga peduli imigran melakukan aksi unjuk rasa di depan Kedutaan Besar Arab Saudi, Jakarta, Selasa (20/3). Mereka memprotes eksekusi mati yang dilakukan pemerintah Arab Saudi terhadap seorang tenaga kerja Indonesia (TKI) bernama Muhammad Zaini Misrin pada Minggu (18/3) lalu. Foto: RES
Pengunjukrasa dari sejumlah lembaga peduli imigran melakukan aksi unjuk rasa di depan Kedutaan Besar Arab Saudi, Jakarta, Selasa (20/3). Mereka memprotes eksekusi mati yang dilakukan pemerintah Arab Saudi terhadap seorang tenaga kerja Indonesia (TKI) bernama Muhammad Zaini Misrin pada Minggu (18/3) lalu. Foto: RES

Merantau, mengais rejeki, hidup Muhammad Zaini Misrin di Arab Saudi berakhir di tangan Algojo. Eksekusi mati terhadap Zaini mengundang protes dari sebagian kalangan lantaran proses eksekusi hukuman tidak ada pemberitahuan dari Arab Saudi. Meski pemerintah sudah berupaya maksimal melakukan pembelaan terhadap yang bersangkutan, tetapi perbedaan sistem hukum membuat pemerintah Indonesia tidak bisa berbuat banyak.    

 

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menilai meski sudah berlaku UU No.18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) yang sedang disosialisasikan, nasib yang menimpa Zaini bertolak belakang dengan realita. Kasus ini membuat masyarakat bakal pesimis terhadap jaminan perlindungan TKI seperti diatur UU PPMI.

 

“Bisa jadi, UU itu dipandang tak ada gunanya. Ini harus jadi momentum untuk lebih memperkuat perlindungan TKI di luar negeri (dalam tindakan nyata),” ujar Fahri di Gedung Parlemen, Rabu (21/3/2018).

 

Menurutnya, eksekusi mati terhadap Zaini semestinya dapat dicegah dengan cara melakukan diplomasi dan komunikasi yang efektif dengan pemerintah Arab Saudi. Namun, bagi Fahri, ketika eksekusi terjadi menunjukan pemerintah gagal melakukan diplomasi dan komunikasi dengan pemerintah Arab Saudi. “Pemerintahan Joko Widodo diminta memberi klarifikasi resmi kepada masyarakat,” harapnya.   

 

Dia menilai dalam kasus ini, posisi tawar Indonesia dipandang lemah. Sebab, diplomasi pemerintah Indonesia sulit meyakinkan pemerintah Arab Saudi. Padahal, di beberapa kasus sebelumnya pemerintah dapat menyelamatkan TKI yang tersandung masalah hukum di negara tempatnya bekerja.

 

“Pemerintah seharusnya bisa meminta kepada Pemerintah Arab Saudi untuk menunda eksekusi mati terhadap tenaga kerja kita. Apalagi, dalam iklim seperti sekarang harusnya bisa. Kalau tidak bisa, artinya kita yang lemah,” ujarnya. Baca Juga: Soal Eksekusi Mati TKI, Wapres Minta Masyarakat Pahami Yurisdiksi Arab Saudi

 

Wakil Ketua Komisi IX DPR, Saleh Partaonan Daulay menilai eksekusi mati terhadap TKI di Arab Saudi bukan kali pertama. Pada 2015, ada TKI asal Bangkalan Madura yakni Siti Zainah yang dihukum mati karena kasus pembunuhan pada 1999 silam. Pada pekan yang sama, Karni binti Medi Tarsim mengalami hukuman serupa. Pada 2008, otoritas pemerintah Arab Saudi menghukum mati Yanti Irianto dan  Ruyati pada 2001 silam.

 

“Kerja-kerja pemerintah ke depan perlu pembenahan sistem penempatan pekerja migran di negara luar. Pemerintah mesti serius terhadap penanganan, pengawasan, dan perlindungan terhadap pekerja migran Indonesia di negara lain,” tutur Saleh.

 

Politisi Partai Amanat Nasional ini mewanti-wanti pemerintah agar lebih memperkuat diplomasi dan komunikasi serta perlindungan dalam penempatan TKI di luar negeri. Begitu pula dengan pendampingan dan advokasi hukum terhadap TKI yang tersandung kasus hukum mesti diupayakan secara maksimal. “Ini kasus kesekian kalinya. Indikasi penempatan dan pendampingan pekerja tidak efektif,” kata dia.

 

Masih lemah

Menteri Tenaga Kerja (Manaker) Hanif Dhakiri mengakui perlindungan TKI di luar negeri masih lemah. Meski terdapat kekurangan di sana-sini, kata Hanif, pemerintah terus berupaya keras dan mengoptimalkan pengawasan dan pemberian perlindungan TKI secara optimal. Menurutnya, kasus yang menimpa Zaini Misrin, pemerintah telah berupaya keras melakukan diplomasi dengan pemerintah Arab Saudi. Namun sistem hukum yang berbeda dan berlaku di Arab Saudi mesti tetap dihormati.

 

“Pemerintah bukan tidak melakukan sesuatu. Bahwa kekurangan di sana–sini dan kita masih membutuhkan kritik untuk meningkatkan kualitas dari perlindungan TKI kita,” ujarnya.

 

Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia (PWNI) dan Bantuan Hukum Indonesia (BHI) Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Muhammad Iqbal mengatakan kasus yang menimpa Zaini sudah berkekuatan hukum tetap sejak 2008. Namun mengalami penundaaan dan berkekuatan hukum tetap pada 2016. Pihak Kemenlu seharusnya mengetahui proses eksekusi. Sebab, Presiden Jokowi pernah membahas soal Zaini secara empat mata dengan Raja Salman bin Abdulaziz al Saud.

 

Karena itu, periode 2015-2016 tidak dilakukan eksekusi. Padahal di akhir 2016, kata Iqbal, pemerintah Arab Saudi dijadwalkan melakukan eksekusi. Presiden Jokowi tak berhenti berusaha. Menurutnya, Jokowi melayangkan kembali surat ke Raja Salman, dan berujung penundaan eksekusi selama 6 bulan pada Mei 2017. Bahkan, Raja Salman mempersilakan Zaini mengajukan Peninjauan Kembali (PK).

 

“Jadi jangankan kami yang menangani di lapangan, bahkan presiden tahu tahap demi tahap peristiwa itu. Yang kita kaget adalah eksekusinya itu tanpa pemberitahauan,” sesalnya.

 

20 TKI terancam hukuman mati

Menaker Hanif mengungkapkan masih terdapat 20 TKI yang terancam hukuman mati. Pemerintah terus berupaya membebaskan TKI yang tersandung kasus hukum dari jerat hukuman mati di Arab Saudi. Menurutnya, periode 2011-2018 terdapat 102 kasus TKI yang terancam hukuman mati. Sementara 79 kasus diantaranya berhasil dibebaskan pemerintah dari hukuman mati. Namun, terdapat 3 TKI diantaranya yang dieksekusi mati di Saudi.

 

“20 TKI sedang proses upaya (pembebasan, red). Jadi pemerintah melakukan langkah maksimal. Bahkan, dalam kasus Zaini Misrin langkah pemerintah sudah extra ordinary. Sebab, kali pertama pihaknya telah mengajukan PK dari putusan yang sudah inkrach di tingkat kasasi. Terhadap kasus yang masih tersisa bakal ditangani pemerintah sebagai garda terdepan Kemenlu, Kemenaker dan BNPT,” lanjut Hanif.

 

Menurutnya, dari 20 TKI yang terancam hukuman mati, 15 diantaranya tersandung kasus pembunuhan. Sementara 5 lainnya kasus sihir. Yang pasti, seluruh upaya bakal ditempuh pemerintah dengan melakukan pendekatan dan pendampingan hukum. Termasuk langkah-langkah nondiplomasi dengan meminta pengampunan dari ahli waris, lembaga pengampunan, dan meminta jasa tokoh di Arab Saudi.

 

Iqbal menambahkan dari 20 TKI, 18 diantaranya masih dalam tahap proses upaya hukum. Mulai upaya banding banding, kasasi, bahkan ada yang diajukan PK. Ia berharap 18 orang TKI yang sedang mengajukan proses upaya hukum dapat terbebas dari jerat hukuman mati. “Kalau kasus ini bisa dimaafkan oleh raja, kemungkinan besar masih bisa dibebaskan. Tapi yang pembunuhan ini sudah didampingi sejak awal, sehingga kita punya semua datanya,” katanya.

 

Sekedar diketahui, pemerintah Arab Saudi melaksanakan eksekusi hukuman mati terhadap Muhammad Zaini Misrin, Minggu (18/3) kemarin. Pria yang merantau ke Arab Saudi  sejak 1992 silam, bekerja sebagai sopir. Pertengahan Juli 2004, Misrin ditahan atas tuduhan membunuh majikannya, Abdullah bin Umar Muhammad Al Sindi. Zaini Misrin diganjar hukuman mati oleh pengadilan setempat pada pertengahan November 2008.

Tags:

Berita Terkait