Eks Napi Diperbolehkan Ikut Pilkada Sejalan dengan HAM
Berita

Eks Napi Diperbolehkan Ikut Pilkada Sejalan dengan HAM

Semestinya MK tak saja melihat sisi HAM, tetapi tindak pidana yang dilakukan eks napi agar menjadi pembelajaran dan sanksi moral dengan adanya jeda waktu beberapa tahun dapat maju pencalonan pilkada.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Benny K Harman (kanan). Foto: SGP
Benny K Harman (kanan). Foto: SGP
Kabar gembira bagi narapidana yang hendak maju dalam perhelatan akbar pemilihan kepala daerah. Ketentuan aturan adanya jeda setelah napi keluar dari Lapas dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Oleh sebab itu, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusannya menganulir Pasal 7 huruf g UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota (UU Pilkada) sejalan dengan hak asasi manusia.

Wakil Ketua Komisi III DPR, Benny K Harman, mengatakan jika merujuk dari persamaan hak asasi manusia dalam bidang politik, ekonomi dan hukum, putusan MK dipandang tepat. Menurutnya, persamaan setiap warga negara mendapatkan hak untuk maju dalam perhelatan Pilkada adalah hak asasi manusia paling mendasar.

Apalagi, terpidana yang sudah menjalani masa hukum menjadi orang yang bebas dari status hukum. Atas dasar itulah mantan terpidana berhak jika ingin maju dalam pemilihan kepala daerah. Ia berpandangan warga negara berstatus bebas tak boleh diganjal maju dalam pencalonan kepala daerah.

“Orang sudah dihukum dinyatakan bersalah atas kesalahan itu telah dihukum, setelah itu dia bebas. Dia punya hak politik, dan sejalan dengan hak asasi manusia,” ujarnya melalui sambungan telepon kepada wartawan di Gedung DPR, Jumat (10/7).

Politisi Partai Demokrat itu lebih jauh mengatakan terkait jejak rekam, publik dapat  mengamati dan mencerna kiprah calon. Kendati demikian, eks narapidana tentunya mendapat catatan tersendiri dari publik. Ia menilai, rakyat dapat memberikan penilaian apakah eks napi yang maju dalam perhelatan Pilkada layak tidaknya menjadi pemimpin di daerah. “Track record biarkanlah rakyat yang menilai baik dan buruknya,” ujarnya.

Anggota Komisi III Arsul Sani berpandangan putusan MK yang menganulir Pasal 7 huruf g UU Pilkada hanya melihat dari kaca mata hak asasi. Padahal masih terkait dengan dengan adanya kebutuhan sosial lainnya. Ia menilai semestinya terhadap pemberian jeda beberapa tahun eks narapidana dapat maju sebagai bentuk pembelajaran dan sanksi moral.

“MK ini dalam beberapa putusan hanya melihat hak asasi manusia tidak melihat kebutuhan sosial lain. Tidak melihat kebutuhan pelajaran bahwa anda pernah melakukan suatu tindak pidana. Tidak hanya  anda menghadapi pidana, tapi juga sanksi moral,” ujarnya.

Meski menghormati putusan MK, namun Arsul tidak sependapat dengan putusan yang menganulir Pasal 7 huruf g. MK semestinya menegaskan lembaga konstitusi itu menganut mazab hukum progresif. Dengan begitu, MK tak saja melihat dari satu sisi, tetapi sisi lainnya. “Kalau pun MK mau melihat kotak ham saja, maka harus dilihat tindak pidananya. Misalnya tindak pidana karena kelalaiannya menyebabkan kematian orang lain. Tetapi kalau kemudian karena korupsi, terorisme, mesti menjadi catatan,” katanya.

Politisi Partai Persatuan Pembangunan itu enggan menilai apakah putusan MK bernuansa politis. Yang pasti, Arsul sulit mengikuti mahzab hukum yang dianut MK. Menurutnya  dengan putusan MK yang dinilai berbeda mahzab bakal menjadi pertanyaan pubik. “Di satu kasus ham penuh, di sisi lain ham plus kotak-kotak lain. MK kan punya kewajiban moral dalam mengambil keputusan,” pungkasnya.
Anggota Komisi III lainnya Taufiqulhadi berpandangan hak politik seseorang tidak boleh bertentangan dengan hak asasi manusia. Namun hak asasi manusia bersifat efektif relatif. Demikian pula dengan asasi lainnya, termasuk masalah mantan narapidana mencalonkan kepala daerah beserta melanggengka keluarga kepala daerah dalam dinasti politik.

Politisi Partai Nasdem itu menilai hak asasi manusia diakui konstitusi. Namun putusan MK yang menganulir Pasal 7 huruf r justru menjadi jurang kehancuran politik Indonesia ke depan. Menurutnya rakyat Indonesia belum memiliki pemahaman politik yang kuat seperti di negara maju lainnya.

Orang yang ada kedudukan dan uang mudah menundukkan masyakat. Kekuasan dan uang itu mengalahkan keinginan menjadikan politik lebih baik. Maka jika MK mengambil putusan, pemahamam terhadap persoalan politik dan dasar pertimbangan orang membuat sebuah UU harus diketahui dengan kuat,” pungkasnya.

Sebelumnya, MK menganulir Pasal 7 huruf g UU Pilkada. Pasal tersebut dinilai bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik sebagai mantan terpidana

Selain itu, Mahkamah menghapus Penjelasan Pasal 7 huruf g yang memuat empat syarat bagi mantan napi agar bisa mencalonkan diri sebagai kepala daerah (sesuai putusan MK Tahun 2009)dan Pasal 45 ayat (2) huruf k UU Pilkada terkait syarat surat keterangan tidak pernah dipidana.

Dua mantan terpidana Jumanto dan Fathor Rasyid mempersoalkan kedua pasal larangan eks terpidana yang diancam lima tahun atau lebih mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Aturan itu dinilai sewenang-wenang seolah pembentuk UU menghukum seseorang tanpa batas waktu. Ketentuan ini jelas-jelas menghambat seseorang berpartisipasi aktif dalam pemerintahan dan proses demokrasi.

Putusan MK No. 011-017/PUU-I/2003 menyebutkan pembatasan hak pilih diperbolehkan apabila hak pilih dicabut oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, bersifat individual dan tidak kolektif. Putusan MK No. 4/PUU-VII/2009 telah menyatakan inkonstitusional bersyarat seperti tercantum dalam Pasal 7 huruf g dan Pasal 45 ayat (2) huruf k UU Pilkada ini. Putusan ini menentukan empat syarat bagi mantan napi agar bisa mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Karena itu, pemohon meminta MK agar menghapus pasal-pasal itu karena bertentangan dengan UUD 1945.

Mahkamah beralasan ketentuan tersebut bentuk pengurangan hak yang dapat dipersamakan dengan pidana pencabutan hak-hak tertentu. Hal ini sesuai dengan Pasal 35 ayat (1) angka 3 KUHP hak memilih dan dipilih dalam dicabut dengan putusan pengadilan. Sementara hak dipilih sebagai kepala daerah yang dicabut berdasarkan Pasal 7 huruf g UU Pilkada oleh pembentuk Undang-Undang.

“Pencabutan hak pilih seseorang hanya dapat dilakukan dengan putusan hakim sebagai hukuman tambahan,” ujar Hakim Konstitusi Patrialis Akbar saat membacakan pertimbangan putusan.

Mahkamah menganggap Undang-undang (UU) tidak dapat mencabut hak pilih seseorang, melainkan hanya memberi pembatasan sesuai Pasal 28J UUD 1945. Apabila UU membatasi hakmantannarapidana tidak dapatmencalonkan dirinya menjadi kepala daerah sama saja UU telah memberikan hukuman tambahan. Sedangkan UUD 1945 telah melarang memberlakukan diskriminasi kepada seluruh warganya. 

Menurut Mahkamah, pernyataan terbuka dan jujur dari mantan narapidana kepada masyarakat umum (notoir feiten) mengandung arti pada akhirnya masyarakatlah yang menentukan pilihannya mau memillih mantan narapidana atau tidak. Namun, apabila mantan narapidana tersebut tidak mengemukakan kepada publik,maka berlaku syarat keduaputusan MKNo.4/PUU-VII/2009yaitu lima tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya.
Tags:

Berita Terkait