Eks GM Procurement Merpati Jadi Tersangka
Berita

Eks GM Procurement Merpati Jadi Tersangka

Tony dianggap berperan aktif dalam upaya penyewaan dua pesawat boeing dan ikut melakukan negoisasi dengan TALG.

Nov
Bacaan 2 Menit
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung Andhi Nirwanto. Foto: SGP
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung Andhi Nirwanto. Foto: SGP

Tim penyidik pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung telah menetapkan mantan Dirut PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) Hotasi Nababan dan Direktur Keuangan MNA Guntur Aradea sebagai tersangka dalam kasus korupsi penyewaan pesawat Boeing 737-400 dan 737-500.

 

Namun, ada penambahan tersangka dalam kasus yang merugikan negara AS$1 juta ini. Menurut Jampidsus Andhi Nirwanto, tersangka baru itu adalah mantan General Manager (GM) Air Craft Procurement MNA, Tony Sudjiarto (TS). “Inisialnya TS. Dia GM dari pihak Merpati periode saat kejadian itu,” katanya, Jum’at (23/12).

 

Setelah berstatus tersangka, penyidik akan segera menjadwalkan pemeriksaan Tony. Andhi meminta penyidik memeriksa Tony pekan depan.

 

Penetapan Tony sebagai tersangka berdasarkan Surat Perintah Penyidikan bernomor Print 196/F.2/Fd.1/12/2011 tanggal 22 Desember 2011. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Noor Rachmad mengatakan Tony berperan dalam mewujudkan terjadinya dugaan korupsi tersebut.

 

“Yang antara lain, melakukan negosiasi dengan TALG,” ujarnya. Atas perbuatannya tersebut, mantan GM Procurement MNA tahun 2006 itu dikenakan Pasal 2 dan atau Pasal 3 UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

 

Pengacara Hotasi, Lawrence TP Siburian mengatakan Tony sebagai GM Procurement MNA, berperan melakukan pengecekan fisik pesawat Boeing 737-400 dan 737-500 yang hendak disewa MNA pada tahun 2006. Menurutnya, pengecekan pesawat secara fisik dilakukan oleh pihak teknisi dan bagian procurement MNA ke dua tempat, Guang Zou (Cina) dan Cengkareng. Pengecekan di Guang Zou dilakukan karena kebetulan pesawat yang akan disewa sedang turun mesin dan masa sewanya telah berakhir.

 

Kemudian, pengecekan di Cengkareng dilakukan karena pesawat tersebut masih disewa Batavia Air ketika itu. Namun demikian, kontrak sewanya akan berakhir dan tidak akan diperpanjang lagi oleh Batavia Air.

 

Dengan demikian, pengecekan fisik pesawat diklaim MNA memang telah dilakukan terhadap dua pesawat boeing itu. Sementara, Lawrence sendiri yang melakukan pengecekan fisik perusahaan leasing asal Amerika Serikat bernama Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG).

 

Pengecekan itu, dia lakukan karena Lawrence ditunjuk direksi MNA sebagai penasehat hukum MNA berdasarkan surat kuasa yang ditandatangani Hotasi. Dari hasil pengecekan, Lawrence mengaku perusahaan leasing itu benar-benar ada, bahkan akta pendirian dan izin-izin usahanya sudah diperoleh dan kirimkan ke MNA.

 

Setelah melakukan pengecekan fisik TALG dan pesawat, MNA akhirnya melakukan negosiasi untuk melakukan penyewaan pesawat. Dan, MNA diminta untuk mentransfer AS$1 juta sebagai Refundable Security Deposit ke rekening Hume & Associate, kantor pengacara di Amerika Serikat.

 

Pemilihan Hume & Associate sebagai pemegang deposit, menurut Lawrence, adalah berdasarkan kesepakatan bersama antara MNA dan TALG. Alasan MNA ketika itu adalah dalam rangka mengamankan uang security deposit, sehingga dipilihlah tempat penitipan yang netral, seperti Hume & Associate.

 

Kebetulan, dalam sistem hukum di Amerika Serikat, kantor pengacara juga dapat berfungsi sebagai tempat penitipan uang, seperti halnya notaris di Indonesia. Maka dari itu, Lawrence mengatakan uang itu adalah uang jaminan yang tidak boleh dipergunakan dan harus dikembalikan secara utuh jika masa sewa berakhir.

 

Namun, yang terjadi, pesawat yang dijanjikan akan disewa itu tidak kunjung datang sampai sekarang. Malahan, Refundable Security Deposit sebesar AS$1 juta itu tidak dapat ditarik lagi walau MNA telah memenangkan gugatan perdata di Pengadilan Amerika Serikat. Karenanya, negara dirugikan sebesar AS$1 juta.

 

Untuk diketahui, sejak pertengahan Juli lalu, Kejagung telah meningkatkan status perkara Merpati dari penyelidikan menjadi penyidikan. Selang sebulan kemudian, Kejagung menetapkan Hotasi dan Guntur sebagai tersangka. Keduanya dijerat UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

 

Kasus ini berawal pada tahun 2006. Ketika itu, Merpati menyewa dua buah pesawat Boeing 737-400 dan 737-500 dari perusahaan leasing di Amerika Serikat, TALG. Dari setiap pesawat yang hendak disewa, Merpati telah mengirimkan security deposit ke TALG sebesar AS$500 ribu.

 

Setelah merogoh kocek senilai AS$1 juta pada 18 Desember 2006, hingga kini dua pesawat Boeing 737-400 dan 737-500 itu tidak kunjung tiba. Padahal seharusnya dua pesawat itu dikirimkan ke Indonesia pada 5 Januari 2007 dan 20 Maret 2007.

 

Merpati telah memenangkan gugatan perdata terhadap TALG yang dituding melakukan wanprestasi. Namun, penyidik tetap melihat ada kerugian negara sekitar Rp10 miliar dan perbuatan melawan hukum. Oleh karenanya, Kejagung meningkatkan status kasus penyewaan dua pesawat Boeing ini ke penyidikan.

 

Lingkup perdata

Sementara, pengacara Hotasi lainnya, J Kamaru menegaskan kliennya menolak apabila masalah penyewaan Boeing 737-400 dan 737-500 disebut sebagai tindak pidana korupsi. Menurut Kamaru, meski kasus itu terjadi ketika kliennya menjabat Dirut Merpati, ruang lingkupnya adalah perdata. Buktinya, pengadilan di Amerika telah memutus TALG melakukan wanprestasi terhadap Merpati.

 

TALG telah dihukum untuk mengembalikan uang jaminan yang telah dibayar Merpati ke kantor hukum Hume & Associate (biro hukum TALG) sebesar AS$1 juta beserta bunganya. Selain itu, kasus penyewaan yang disidik Kejagung ini tidak memenuhi dua unsur dalam pidana korupsi, yakni kerugian negara dan perbuatan melawan hukum.

 

Untuk unsur kerugian negara, Kamaru menyatakan Merpati sudah memenangkan gugatan terhadap TALG. Kemudian, Merpati juga sudah menagih pembayaran dari TALG meskipun menyicil. Dengan demikian, Kamaru beranggapan kerugian negara belum terjadi karena Merpati masih berhak untuk menagih pembayaran dari TALG.

 

Lalu, untuk unsur perbuatan melawan hukum, menurut Kamaru tidak ada perbuatan melawan hukum yang dilakukan Direksi Merpati saat itu. Menteri Negara BUMN sudah menyetujui Rencana Anggaran Perusahaan untuk tahun 2006. Namun, dalam Rencana Anggaran itu tidak diatur mengenai leasing. Penyewaan pesawat melalui sebuah perusahaan leasing seperti TALG merupakan kewenangan pengurus atau Direksi Merpati.

Tags: