Eks Dirut PLN Uji UU KPK
Berita

Eks Dirut PLN Uji UU KPK

Pemohon meminta putusan provisi.

ash
Bacaan 2 Menit
Mantan Dirut PLN Eddie Widiono Suwondho saat berikan keterangan kepada wartawan. Foto: Sgp
Mantan Dirut PLN Eddie Widiono Suwondho saat berikan keterangan kepada wartawan. Foto: Sgp

Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian Pasal 6 huruf a UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang dimohonkan mantan Dirut PLN Eddie Widiono Suwondho. Pemohon yang berstatus terpidana korupsi ini merasa dirugikan atas berlakunya Pasal 6 huruf a berikut penjelasannya itu.

Spesifik, pemohon mempersoalkan kewenangan BPKP menghitung kerugian negara. Pasalnya, pemohon telah ditetapkan sebagai tersangka dan dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam proyek kerjasama outsourcing Roll Out Customer Information System - Rencana Induk Sistem Informasi (CIS-RISI) di PLN Disjaya dan Tangerang tahun 2004-2006 berdasarkan laporan BPKP. Di tingkat banding, Eddi tetap dinyatakan bersalah.    

“Pemohon telah ditetapkan sebagai tersangka tanpa adanya kepastian hukum yang adil atas dasar hasil pemeriksaan BPKP sebagai lembaga yang secara konstitusional tidak berwenang melakukan perhitungan kerugian negara,” kata Kuasa Hukum Pemohon Maqdir Ismail dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di ruang MK, Jumat (13/4).

Pasal 6 huruf a UU KPK berbunyi, “Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas: a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.” Penjelasannya, menyebutkan “yang dimaksud dengan “instansi yang berwenang” termasuk Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara, inspektorat pada Departemen atau Lembaga Pemerintah Non-Departemen.”

Menurutnya, secara yuridis badan yang berwenang menilai/memeriksa adanya kerugian negara pada BUMN adalah BPK, bukan BPKP. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 6 ayat (1) jo Pasal 10 ayat (2) UU No 15 Tahun 2006 tentang BPK. “Jadi satu-satunya lembaga yang berwenang menghitung kerugian negara adalah BPK, BPKP tidak berwenang,” kata Maqdir.

Meski demikian, BPKP hanya dapat memeriksa, menghitung, dan menetapkan kerugian negara apabila mendapat mandat/delegasi atau penugasan dari BPK sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) huruf e UU BPK dan Peraturan BPK No 1 Tahun 2008.

“Kenyataannya pemohon telah dituntut oleh KPK dan dihukum oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) karena berdasarkan penilaian BPKP telah terjadi kerugian negara atas pekerjaan 'Roll-Out CIS-RISI) PT PLN Distribusi Jakarta Raya dan Tangerang tahun 2004-2006,” katanya.

Selain itu, Pasal 52 dan 53 Keppres No 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana diubah dengan Perpres No 64 Tahun 2005  menyebutkan bahwa BPKP tidak berfungsi memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara serta menilai dan menetapkan jumlah kerugian negara. BPKP juga tidak bertugas memeriksa dan mengevaluasi good corporate dan governance serta laporan akuntabilitas kinerja BUMN. 

”KPK telah salah menafsirkan Pasal 6 huruf a UU KPK berikut penjelasannya telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan menciderai perlindungan hukum yang adil bagi pemohon,” kata Maqdir.

Dalam permohonan provisinya, pemohon meminta MK memerintahkan pengadilan tinggi untuk menghentikan atau setidaknya menunda pemeriksaan terhadap pemohon sampai adanya putusan di MK. Selain itu, MK diminta memerintahkan KPK untuk mencabut atau sekurang-kurangnya menunda tentang pencegahan ke luar negeri oleh Dirjen Imigrasi atas nama pemohon.

Sedangkan dalam pokok perkara, pemohon meminta MK menyatakan Pasal 6 huruf a berikut penjelasannya sepanjang frasa “Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara” UU KPK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya.

Ketua majelis panel Achmad Sodiki mengingatkan agar permohonan ini tidak terjebak dalam kasus konkret yang dialami pemohon. “Anda harus lebih fokus pada uraian pasal yang dimohonkan pengujian, karena tentang kewenangan BPKP itu tentunya bagaimana peraturan perundang-undangan mengatur itu,” kata Sodiki.

Anggota majelis panel Muhammad Alim juga menyarankan agar pemohon tidak terjebak dalam uraian kasus korupsi yang dialami pemohon karena permohonan lebih banyak menguraikan kasus konkrit. “Ini perlu dikurangi dan permohonan ini perlu diperbaiki,” sarannya.

Untuk itu, Ahmad Sodiki memberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. “Kami akan memperbaiki permohonan ini sesuai dengan waktu yang diberikan majelis,” kata Maqdir.  



Ralat:

Paragraf 10, tertulis:

Dalam permohonan provisinya, pemohon meminta MK memerintahkan pengadilan tinggi untuk menghentikan atau setidaknya menunda pemeriksaan perkara terkait pemohon sampai adanya putusan di MK.

Yang benar adalah:
Dalam permohonan provisinya, pemohon meminta MK memerintahkan Mahkamah Agung untuk menghentikan atau setidaknya menunda pemeriksaan perkara terkait pemohon sampai adanya putusan di MK.

@Redaksi

Tags:

Berita Terkait