Eks Dekan FH Unja, Prof Helmi Jabat Rektor
Terbaru

Eks Dekan FH Unja, Prof Helmi Jabat Rektor

Universitas memiliki prioritas mensukseskan program merdeka belajar dan kampus merdeka. Seluruh fakultas Unja akan memprioritaskan kegiatan akademiknya khususnya pada program penelitian mengenai perubahan iklim.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Rektor Universitas Jambi, Prof Helmi. Foto: Fian
Rektor Universitas Jambi, Prof Helmi. Foto: Fian

Mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Jambi (FH Unja), Prof Helmi terpilih sebagai Rektor Unja Periode 2024-2028. Guru besar yang memiliki kepakaran pada ilmu hukum lingungan serta otonomi daerah ini memiliki berbagai strategi untuk mengembangkan Unja ke depannya sehingga dapat berkiprah pada skala nasional hingga internasional.

Helmi menuturkan, visi misi statuta Unja yakni menunju universitas berkelas dunia dengan enterpreneurship. Sementara tentang program strategis, yaitu melanjutkan apa yang sudah baik dari program rektor sebelumnya. Ke depan, Helmi berupaya menjadikan Unja memiliki ciri khas yaitu Jambi dan isu-isu nasional. Misalnya perubahan iklim yang menjadi pembicaraan terakhir di PBB.

”Ini kita jadikan prioritas tridharma perguruan tinggi,” ujar Helmi kepada Hukumonline di Gedung FH Unja, Senin (11/12/2023) lalu.

Helmi yang lulusan FH Unja pada tahun 1995 itu menyampaikan universitas memiliki prioritas mensukseskan program merdeka belajar dan kampus merdeka. Dengan program tersebut, universitas diharapkan memberi manfaat kepada masyarakat secara langsung serta menjadikan Unja sebagai tempat bagi civitas mengembangkan ilmu pengetahuan. Dia mengatakan terdapat program perubahan status PTN-Badan Layanan Umum (BLU) menjadi PTN-Berbadan Hukum (BH).

Baca juga:

Pria yang menempuh program pasca-sarjananya di Universitas Padjajaran ini menyampaikan Jambi merupakan wilayah strategis dalam konteks perubahan iklim. Jambi memiliki empat taman nasional, sungai Batang Hari, terpanjang di Pulau Sumatera, serta tingginya aktivitas perkebunan dan pertambangan. Berangkat dari kondisi tersebut, Helmi menerangkan seluruh fakultas Unja akan memprioritaskan kegiatan akademiknya khususnya pada program penelitian mengenai perubahan iklim.

”Seperti yang sudah saya sampaikan saat presentasi (pemilihan rektor) bahwa kami prioritaskan skema-skema penelitian pada seluruh fakultas Unja mengenai isu-isu perubahan iklim dan terutama energi baru terbarukan. Sungai Batang Hari saat ini kondisinya butuh sentuhan universitas terkait penyadaran di hulu sungai yang terdapat aktivitas PETI (penambangan emas tanpa izin). PETI mengakibatkan kondisi air sungai menjadi sangat langka. Memang hal ini tidak mudah,” ungkap Helmi.

Dia menyampaikan rasa optimistis dengan prestasi Unja ke depan karena memiliki sumber daya manusia yang kompeten ditunjang dosen-dosen muda bergelar doktor. Selain itu, mutu mahasiswanya juga mengalami peningkatan. Untuk mencapai program-program tersebut, Unja juga melibatkan peran alumni membantu universitas meningkatkan mutu pendidikan.

Otonomi daerah

Hal lain yang menjadi perhatian Helmi yaitu permasalahan otonomi daerah yang semakin terkikis kewenangannya. Dia menjelaskan terbitnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, pemerintah daerah memiliki kewenangan luas mengelola sumber daya alam di masing-masing wilayahnya. Namun, setelah kewenangan tersebut ditarik melalui  UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, maka kewenangan daerah semakin berkurang.

Di mata Helmi, ada permasalahan mendasar dengan berkurangnya kewenangan andalan daerah. Seperti kehutanan, pertambangan termasuk perkebunan. Menurutnya, ada dilema saat otonomi diberikan pada tahun 1999 secara masif. Alhasil, daerah seolah menjadi ’raja-raja’ kecil yang melaksanakan otonomi seperti pertambangan, kehutanan hingga perkebunan menjadi persoalan tersendiri.

”Kemudian, 2004 dan 2014 dengan UU Pemerintahan Daerah ditarik banyak ke pusat. Ini memunculkan kesenjangan kembali hubungan pusat dan darah. Apalagi muncul UU Cipta Kerja, sehingga makin mengokohkan pengelolaan sumber daya alam ke pemerintah pusat,” ujarnya.

Kondisi tersebut, menurut Helmi berdampak terhadap pengawasan di daerah yang semakin longgar. Sebab, pemerintah daerah cenderung merasa tidak memiliki kewenangan pengawasan karena perizinan dan  urusan pemerintahannya telah ditarik ke pusat. Dia menilai perlu merumuskan kembali kewenangan pemerintah pusat dan daerah sehingga kegiatan eksploitasi sumber daya alam dapat terjaga dan minim terhadap kerusakan lingkungan.

”Jadi persoalan-persoalan ini menjadi sesuatu yang harus kembali dirumuskan oleh pusat terkait kewenangan daerah,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait