ECPAT dan Badiklat Kejaksaan Agung Jalin Kerjasama Tangani Eksploitasi Seksual Anak
Berita

ECPAT dan Badiklat Kejaksaan Agung Jalin Kerjasama Tangani Eksploitasi Seksual Anak

Badan Diklat Kejaksaan Agung akan membuat modul serta pelatihan kepada jaksa penuntut kasus kejahatan seksual anak.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Kepala Badan Diklat Kejaksaan Agung RI, Setia Untung Arimuladi (keempat dari kiri) dan Ahmad Sofian (kelima dari kiri) usai penandatanganan kerjasama. Foto: ABE
Kepala Badan Diklat Kejaksaan Agung RI, Setia Untung Arimuladi (keempat dari kiri) dan Ahmad Sofian (kelima dari kiri) usai penandatanganan kerjasama. Foto: ABE

Kejahatan seksual terhadap anak sangat dicela oleh hukum, agama, dan masyarakat. Tidak mengherankan jika kejahatan seksual terhadap anak menjadi salah satu dari tiga kejahatan yang membuat seseorang tak bisa mencalonkan diri menjadi anggota legislatif pada pemilu 2019 mendatang.

Toh, kejahatan seksual terhadap anak terus terjadi. Prostitusi anak melalui jaringan internet, misalnya. Pada Juli lalu polisi berhasil membongkar prostitusi anak di salah satu apartemen di Jakarta Selatan. Empat bulan sebelumnya, polisi juga berhasil membongkar prostitusi dan kejahatan seksual terhadap anak di Meulaboh, Aceh Barat.

Mengutip data UNICEF Indonesia, terdapat 40 ribu–70 ribu korban eksploitasi anak tiap tahunnya. ILO juga pernah melakukan penelitian tentang pelacuran anak di beberapa kota di lndonesia dan menemukan fakta bahwa ada sekitar 24 ribu anak menjadi korban pelacuran.

Tak hanya itu, laporan kasus yang diterima oleh Komnas Anak pada tahun 2010-2014 didominasi oleh laporan kejahatan seksual, yakni sebanyak 42-62% dari laporan kekerasan pada anak yang diterima. Hasil pemantauan oleh ECPAT Indonesia pada bulan September hingga November 2016, ditemukan 24 kasus eksploitasi seksual anak dengan jumlah korban sebanyak 335 dengan presentasi 55% anak perempuan dan 45% anak laki-laki.

Semakin masifnya kasus eksploitasi seksuak anak yang terjadi juga dapat dilihat dari beberapa kasus yang terjadi di awal tahun 2018 yang menyita banyak perhatian, karena melibatkan orang dewasa dari berbagai latar belakang sebagai pelaku utama. ECPAT, Ending Sexual Exploitation of Children, termasuk lembaga swadaya yang menaruh perhatian besar terhadap masalah ini. Sebagai organisasi jaringan nasional, ECPAT Indonesia terus mendorong upaya penghapusan kekerasan seksual terhadap anak. Salah satu kunci penting dalam upaya itu adalah aparat penegak hukum.

(Baca juga: Disayangkan, Tindak Pidana Prostitusi Terhadap Anak Tak Masuk Buku II RKUHP).

Dalam konteks itulah, ECPAT Indonesia menjalin kerjasama dengan Badan Pendidikan dan Latihan (Badiklat) Kejaksaan Agung. ECPAT dan Badiklat Kejaksaan menandatangani Perjanjian Kerjasama kedua pihak di Jakarta, Selasa (07/8). “Penandatanganan PKS (Perjanjian Kerjasama) yang dilakukan ECPAT Indonesia dengan Badiklat Kejaksaan RI merupakan bentuk komitmen kedua lembaga dalam memberantas tindak pidana eksploitasi seksual anak,” kata ECPAT dalam keterangan tertulisnya, Selasa (07/8).

Setidaknya ada dua tujuan dari penandatanganan kerjasama ini. Pertama, membangun kesepahaman bersama tentang pentingnya penindakan bagi pelaku tindak pidana eksploitasi seksual anak. Kedua, meningkatkan pemahaman dan kapasitas jaksa dalam melakukan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana tersebut.

Sebagai afiliasi dari ECPAT Internasional, ECPAT Indonesia mempunyai pengalaman dalam menuntut pelaku kejahatan eksploitasi seksual anak di berbagai negara. Dari pengalaman inilah diharapkan bisa membantu Kejaksaan Agung melalui Badiklat untuk bersama-sama memberantas tindak pidana tersebut.

(Baca juga: ECPAT: Bebaskan Anak dari Eksploitasi Seksual).

Kepala Badiklat Kejaksaan Agung, Setia Untung Arimuladi, menyambut baik adanya kerjasama ini. Sebagai tindak lanjutnya, Badiklat akan membuat program, modul dan pelatihan kasus seksual kepada anak di sejumlah daerah seperti Pulau Jawa dan Bali.

“Seks komersial anak sangat tinggi, ini prioritas. Saya terima kasih dengan ECPAT, tentu ke depan berlanjut untuk mengadakan pelatihan di luar tadi, wilayah prioritas yang tingkat pidana lebih tinggi. Nanti kita inventarisir, tindak kejahatan seks komersial itu dimana,” kata Untung.

Selain itu, pihaknya juga akan menjalin komunikasi dengan Kepolisian dalam menangani tindak pidana kejahatan seksual terhadap anak. Badiklat Kejaksaan Agung juga akan berkoordinasi dengan sejumlah Kementerian/Lembaga lainnya yang bersentuhan dengan perkara ini. “Kalau dengan lembaga kementrian kita berkoordinasi, satu wadah. Terutama kesepahaman dan kesepakatam sinergis skala prioritas dan menjadi kepastian. Kita inventarisir dimana saja, sekarang yang tinggi kasusnya di Jawa Barat dan DKI Jakarta,” jelasnya.

Koordinator Nasional ECPAT Indonesia, Ahmad Sofian, menjelaskan jaksa punya peran penting dalam pemberantasan tindak pidana eksploitasi seksual anak karena banyak kasus sejenis yang tidak masuk proses penuntutan. Masalahnya, kesulitan dalam pembuktian. Selain itu penuntutan terhadap terdakwa harusnya juga mempertimbangkan penderitaan yang dialami korban pasca kejadian eksploitasi. “Karena itu terdakwa tidak hanya dituntut pidana penjara tetapi juga ganti rugi atau restitusi untuk pemulihan hak-hak korban,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait