Duplikasi Pengaturan Delik Tipikor dalam RKUHP Potensi Transaksional
Berita

Duplikasi Pengaturan Delik Tipikor dalam RKUHP Potensi Transaksional

Duplikasi pengaturan delik tipikor dalam RKUHP membuka peluang bargaining (tawar-menawar) antara aparat penegak hukum terhadap para tersangka dan atau terdakwa kasus korupsi.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Diskusi bertema
Diskusi bertema "Mendorong RKUHP yang Pro Pemberantasan Korupsi" di Kantor ICW Jakarta, Minggu (10/6). Foto: RFQ

Pemerintah bersama dengan Panja RKUHP di DPR memiliki kesepahaman memasukan delik tindak pidana korupsi (tipikor) yang ada di UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ke dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Bagi kalangan pegiat anti korupsi, langkah menarik delik korupsi dalam KUHP selain bakal menghambat pemberantasan korupsi, juga berpotensi terjadinya jual beli pasal korupsi.

 

Pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera Miko Susanto Ginting berpendapat ditariknya delik korupsi ke dalam RKUHP justru terdapat duplikasi pengaturan antara RKUHP dan UU Pemberantasan Tipikor. Sebab, pengaturannya sama hanya berbeda besaran hukuman pidananya.

 

Menurut Miko, apabila RKUHP dipaksa untuk disahkan akan menjadi persoalan yang menjadi “ancaman” bagi aparat penegak hukum. Sebab, penerapan pasal yang sama dalam KUHP dan UU Pemberantasan Tipikor menjadi peluang bagi aparat penegak hukum untuk melakukan jual beli pasal terhadap para tersangka kasus korupsi.

 

“Ada pengaturan berganda dalam UU Pemberantasan Tipikor dan RKUHP yang ancaman hukumannya berbeda,” ujarnya dalam konfrensi pers di Kantor Indonesia Corruption Watch, Jakarta, Minggu (10/6/2018). Baca Juga: Polemik Memasukkan Pidana Khusus ke dalam Rancangan KUHP

 

Delik tipikor dalam UU Pemberantasan Tipikor yang ditarik masuk dalam RKUHP yakni Pasal 2 dan 3. Sementara dalam RKUHP pengaturan yang sama diatur dalam Pasal 678 dan 688 RKUHP. Pasal 2 dalam UU Pemberantasan Tipikor misalnya diadopsi dalam Pasal 678 RKUHP. Sementara Pasal 3 diadopsi dalam Pasal 678 RKUHP. Perbedaannya memang cukup terlihat dari sanksi pidana dan ancaman pidana denda.

 

Hukumonline.com

 

Peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) Adery Ardhan Saputro berpendapat Pasal 688 RKUHP memiliki ancaman minimal 2 tahun penjara dan maksimal 20 tahun. Sedangkan sanksi pidana denda dengan minimal kategori II (minimal Rp10 juta) dan maksimal kategori IV (Rp150 juta).

 

Sementara terhadap kerugian negara yang menggunakan rumusan “melawan hukum” sebagaimana diatur dalam Pasal 687 RKUHP, diancam dengan hukuman penjara selama 2 tahun dan maksimal 20 tahun penjara. Sedangkan sanksi pidana denda minimal kategori II (Rp10 juta) dan maksimal kategori VI (Rp2 miliar).

 

Baginya, ancaman pidana penjara yang jumlahnya sama antara penyalahgunaan wewenang dan hanya melawan hukum potensi bermasalah. Apalagi ditambah dengan ancaman pidana denda yang jumlahnya lebih berat, khususnya Pasal 687 ketimbang Pasal 688 RKUHP.

 

Ini telah menerabas logika dan asas pidana. Sebab, dalam hukum pidana, seharusnya delik jabatan, apalagi pejabat publik, seharusnya diperberat karena yang bersangkutan telah melanggar sumpah jabatan dan selama ini sudah menikmati fasilitas negara,” tuturnya.

 

Lebih lanjut, Edery berpendapat rekodifikasi dalam RKUHP arahnya tidak jelas. Sebab, beberapa kali tim perumus RKUHP mengutarakan yang bakal diatur dalam RKUHP adalah pidana inti (core crime) dari tindak pidana khusus. Masalah muncul lantaran ketentuan penutup dalam Pasal 732 RKUHP tidak ada pencabutan pasal-pasal di UU sektoral (khusus).  

 

“Dengan begitu dampaknya, pengaturan delik dalam RKUHP bakal bersamaan berlaku dengan UU sektor lain termasuk UU Pemberantasan Tipikor.

 

Menurutnya, dalam satu perkara kasus korupsi misalnya, bukan tidak mungkin duplikasi penggunaan dua UU dengan delik yang sama persis, tetapi ancaman hukumannya berbeda. Hal ini bisa menjadi bargaining (tawar-menawar) antara aparat penegak hukum dengan para tersangka/terdakwa korupsi. Sebab, aparat penegak hukum diberikan kebebasan menggunakan substansi pasal yang sama antara RKUHP atau UU Pemberantasan Tipikor.

 

“Kebebasan tersebut bila tidak dibatasi bakal berpotensi terjadinya jual beli pasal-pasal korupsi terhadap tersangka atau terdakwa kasus korupsi.”

 

Karenanya, pengaturan delik kroupsi dalam RKUHP dinilainya belum mendukung agenda pemberantasan korupsi secara maksimal. “Adanya RKUHP berpeluang menimbulkan pasal-pasal yang dapat diperjualbelikan atau ditransaksionalkan oleh aparat penegak hukum,” tegasnya.

 

Ditegaskan Edery, bila tidak ada ketegasan dari tim perumus maupun Panja DPR soal UU mana yang bakal digunakan dalam penindakan korupsi, hal ini bakal membuka ruang-ruang transaksional dalam penerapan Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tipikor atau Pasal 687 dan 688 RKUHP. “Ini harus dipastikan mana yang akan digunakan?" katanya.

Tags:

Berita Terkait