Dunia Advokat Tak Boleh Dikontrol Secara Absolut
Berita

Dunia Advokat Tak Boleh Dikontrol Secara Absolut

Memberikan kebebasan para advokat memilih organisasi. Yang terpenting, organisasi advokat memikirkan cara meningkatkan kualitas dan integritas dengan standar kompetensi advokat, tidak berkutat pada polemik sistem single bar atau multi bar.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Presiden KAI Tjoetjoe Sandjaja Hernanto. Foto: kai.or.id
Presiden KAI Tjoetjoe Sandjaja Hernanto. Foto: kai.or.id

Perkembangan dunia advokat beberapa tahun terakhir menunjukan organisasi advokat menjadi multi bar. Karena itu, Pasal 28 ayat (1) UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat yang mengamanatkan wadah tunggal nampaknya tak relevan dengan kondisi kekinian. Apalagi faktanya perpecahan di tubuh organisasi advokat tak bisa dihindari. Masing-masing organisasi memiliki pandangan berbeda, meski tujuannya sama demi peningkatan kualitas advokat sebagai anggotanya.

Single bar itu buang-buang energi,” ujar Presiden Kongres Advokat Indonesia (KAI) Tjoetjoe Sandjaja Hernanto kepada Hukumonline, Senin (12/4/2021). (Baca Juga: Mahfud MD Sampaikan 3 Isu Strategis Organisasi Advokat)

Terlepas single bar atau multi bar, Tjoetjoe menilai semua organisasi advokat harus bersinergi menyusun format terbaik masa depan bagi perkembangan dan peningkatan kualitas advokat. Sekalipun nantinya single bar, itupun adanya Dewan Kehormatan Advokat yang menjadi regulator menyusun dan penegakan aturan kode etik serta merumuskan standar pendidikan advokat. Teknis pelaksanaan pendidikan advokat tetap diberikan ke masing-masing organisasi advokat bekerja sama dengan perguruan tinggi.

“Di bawah Dewan Kehormatan Advokat atau Komite Advokat tetap terdapat banyak organisasi advokat. Organisasi advokat tetap multi bar, hanya saja pembuat regulator bersifat single bar,” kata Tjoetjoe Sandjaja Hernanto.  

Dia menilai advokat diberikan kebebasan dalam memilih organisasi advokat yang dikehendaki, tidak “dipaksa” masuk satu organisasi advokat tertentu. “Sudahlah jangan paksa advokat itu ‘dikurung’ di satu wadah. Biarkan mereka memilih organisasi. Tinggal kita meningkatkan kualitas, caranya peningkatan kompetensi,” lanjutnya.

Tjoetjoe mengakui organisasi advokat yang dipimpinnya memperjuangkan sistem multi bar. Sebab, karakteristik advokat tak bisa dikontrol atau digenggam oleh satu kekuasaan. Advokat merupakan profesi mandiri dan bebas menjalankan tugasnya, demikian pula organisasi advokat.  Dia menduga adanya pihak yang berupaya menguasai advokat dalam satu kekuasaan.

“Dunia advokat tidak boleh dikontrol secara absolute. Kita independen sesuai amanat UU advokat. Advokat itu independen,” tegasnya.

Menurutnya, amanat wadah tunggal dari Pasal 28 UU 18/2003 secara tak langsung telah direvisi melalui putusan MK No.112/PUU-XII/2014 dan Putusan No.36/PUU-XIII/2015. Begitupula dengan terbitnya Surat Keputusan (SK) Ketua Mahkamah Agung (KMA) No.73/KMA/HK.01/IX/2015 tentang Penyumpahan Advokat.

Pria yang sudah malang melintang puluhan tahun sebagai advokat itu menilai organisasi advokat sebagai mandat UU 18/2003 adalah bebas dan mandiri dengan tujuan meningkatkan kualitas profesi advokat. Baginya organisasi advokat yang ada semestinya duduk bersama bermusyawarah merumuskan ke depan kewenangan advokat dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum.

Tjoetjoe memang orang di balik revisi UU 18/2003 pada beberapa tahun lalu. Meski kandas di penghujung di DPR periode 2009-2014, tak menyurutkannya untuk melakukan perbaikan aturan profesi advokat. Dia pun enggan mendorong soal singlebar atau multibar karena fakta di lapangan, organisasi advokat telah multi bar.

Ketimbang membahas soal single bar atau multi bar dalam perubahan UU 18/2003, justru yang prioritas dikedepankan soal kewenangan profesi advokat. Begitu pula pengaturan kewenangan advokat dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (R-KUHAP). “Masak kita mengundang saksi untuk hadir di persidangan saja tak ada upaya paksanya. Semua penegak hukum punya kewenangan itu, kecuali advokat,” katanya.

Ketua Umum Peradi Rumah Bersama Advokat (Peradi RBA), Luhut MP Pangaribuan, mengingatkan MK menyindir organisasi advokat lewat beberapa putusannya terkait uji materi UU Advokat. Intinya, advokat kerap menyebut profesional dan independen. Selain itu, advokat kerap menyelesaikan perkara yang dihadapi orang lain. Untuk itu, MK mengembalikan persoalan organisasi advokat ini kepada advokat itu sendiri.

Menurut Luhut, sudah tersedia berbagai pilihan bagi advokat untuk menuntaskan persoalan kisruh organisasi advokat. Misalnya, ada Kode Etik Advokat yang digunakan bersama, dan perlu ada satu Dewan Kehormatan Profesi Advokat yang dibentuk bersama. Ada juga pilihan untuk merevisi UU Advokat.

Luhut berpendapat organisasi advokat bisa berbentuk single bar, tapi bukan berarti kewenangannya hanya pada satu organisasi advokat. Single bar ini dalam hal menetapkan standar profesi, misalnya kode etik. Selain itu, diperlukan satu Dewan Kehormatan Profesi Advokat tingkat pusat dan untuk menyelesaikan masalah organisasi advokat tidak melulu hanya Peradi, tapi juga (melibatkan, red) organisasi advokat selain Peradi.

“Dengan adanya standar itu, maka tidak masalah jika ada banyak organisasi advokat,” ujar Luhut MP Pangaribuan dalam sebuah diskusi daring bertajuk “Talk Show: Quo Vadis Advokat Indonesia”, Jumat (9/4/2021) kemarin.

Standar kompetensi

Tjoetjoe melanjutkan, kualitas advokat saat ini jauh lebih unggul dibanding zaman dahulu. Dia menilai para senior advokat harus optimis dengan kemampuan advokat di era kekinian. Terlebih era teknologi memacu para advokat muda terus berinovasi dalam rangka pemberian jasa advokat yang mudah dijangkau pencari keadilan dengan memaksimalkan kemajuan teknologi. “Jangan bicara kualitas advokat, bila tidak punya standar kompetensi profesi advokat,” lanjutnya.

Dia mengklaim organisasi advokat yang dipimpinnya telah memiliki standar kompetensi advokat. Seperti antara lain mengantongi Surat Keputusan Dirjen Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Kementerian Ketenagakerjaan (Binalattas) No.58/LATTAS/III/2016 tentang Registrasi Standar Khusus Advokat. Baginya, mengukur penentuan kualitas advokat melalui standar kompetensi advokat.

Selain itu, KAI fokus membangun database advokat secara digital serta mamaksa anggotanya memasuki era modern dengan menyongsong new normal. Baginya, organisasi advokat mengedepankan kepentingan para anggotanya termasuk memudahkan akses pemberian bantuan hukum bagi pencari keadilan. “Kita sedang mengembangkan perangkat digital untuk memberi akses pelayanan hukum probono bagi masyarakat yang tidak mampu,” katanya.

Tags:

Berita Terkait