Dugaan Pelanggaran Etik atas Putusan Usia Capres-Cawapres, 5 Hakim Konstitusi Dilaporkan
Terbaru

Dugaan Pelanggaran Etik atas Putusan Usia Capres-Cawapres, 5 Hakim Konstitusi Dilaporkan

Laporan berdasarkan hasil putusan para hakim konstitusi dari tujuh putusan yang ada.

Mochamad Januar Rizki/RFQ
Bacaan 3 Menit
Ketua Badan Pengurus Nasional PBHI, Julius Ibrani. Foto: Istimewa
Ketua Badan Pengurus Nasional PBHI, Julius Ibrani. Foto: Istimewa

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 90/PUU-XXI/2023 atas uji materi Pasal 169 huruf (q) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menimbulkan pro dan kontra. Buntutnya, sejumlah hakim konstitusi dilaporkan atas dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim sebagaimana diatur dalam Peraturan MK No.09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.

Ketua Badan Pengurus Nasional (BPN) Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Indonesia (PBHI), Julius Ibrani mengatakan, terdapat berbagai bentuk kejanggalan dalam pemeriksaan hingga putusan 90/PUU-XXI/2023 terkait syarat usia Capres-Cawapres. Hal ini berdampak pada legitimasi secara hukum terhadap putusan termasuk berpotensi pada perselisihan hasil Pemilu 2024 mendatang.

Karenanya, PBHI pun melaporkan sejumlah hakim konstitusi atas dugaan pelanggaran etik dan perilaku hakim ke Dewan Etik Hakim Konstitusi, Kamis (19/10/2023). Nama hakim konstitusi yang dilaporkan adalah Anwar Usman, Manahan M. P. Sitompul, Prof Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, dan Prof Guntur Hamzah.

“Pertama kami melaporkan ini bukan berbasis insinuasi, asumsi, atau dugaan-dugaan tapi kami merujuk pada hasil Putusan para Hakim Konstitusi dari 7 putusan yang ada karenanya laporan ini mudah  untuk ditindaklanjuti dan diperiksa lebih lanjut,” ujarnya.

Baca juga:

Julius mengatakan,  PBHI pada dasarnya melaporkan tiga aspek yaitu administrasi, formiil dan perilaku. Dalam aspek administrasi, terkait perkara  90/PUU-XXI/2023  dan  91/PUU-XXI/2023  sudah dicabut oleh kuasa hukum. Pencabutan melalui  surat  tertanggal  29 September   2023   perihal   “Permohonan   Pembatalan   Pencabutan   Perkara   No. 91/PUU-XXI/2023 Mengenai Permohonan Uji Materi Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Terhadap Undang-Undang Dasar 1945”.

Serta adanya terjadi kesalahan administrasi bahwa permohonanan  yang  telah  ditarik tidak  dapat  diajukan  kembali,  meskipun  belum  ada  putusan  berupa  ketetapan penarikan kembali yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi. Kemudian secara formiil, PBHI menemukan bahwa legal standing pemohon dalam hal kerugian konstitusional dan pengalaman kepala daerah yang justru menggunakan profil Gibran Rakabuming sebagai Walikota Solo.

Sedangkan  secara materil atau substansi adanya penambahan frasa yang tidak diajukan oleh pemohon dan ditambahkan pada amar putusan. Selanjutnya, soal perilaku hakim konstitusi yang membicarakan perkara melalui kesempatan kuliah umum memberikan komentar yang menyinggung soal batas usia capres-cawapres. Padahal, terdapat perkara yang sedang berjalan di MK dengan mengaitkan dan mencontohkan adanya beberapa pemimpin muda di zaman Nabi Muhammad dan negara lain.

“Tujuan kami melaporkan untuk membersihkan MK dari intervensi politik dan keburukan-keburukan yang diakibatkan karena hakim konstitusi adalah cerminan dari konstitusi kita sendiri,” imbuhnya.

Pria biasa disapa Ijul itu melanjutkan,PBHI menilai materi yang diperiksa menyangkut indikator hukum dan demokrasi negara dalam konteks pemilu. Oleh karenanya, bila terdapat  banyak kejanggalan, maka demokrasi hancur. Oleh karena itu, pentingnya melakukan pemeriksaan terhadap laporan yang dilayangkan PBHI agar memiliki pembelajaran bagaimana standar tertinggi konstitusi negara dan i bentuk edukasi bagi publik.

Terpisah, anggota Komisi XI DPR Masinton Pasaribu berpandangan, putusan MK 90/PUU-XXI/2023 menjadi warning bagi semua pihak. Di mana, dalam pemilu 2024 seluruh muara sengketa perolehan suara pemilihan presiden (Pilpres) dan pemilihan anggota legislatif (Pileg) berujung di MK. Begitu pula sengketa perolehan suara pemilihan kepala daerah secara serentak pun bakal bermuara di MK.

“Bisa dibayangkan, kalau kredibilitas putusan MK itu dipertanyakan dan diragukan oleh publik, apa jadinya republik ini ke depan,” ujarnya.

Menurutnya, semua pihak tentu berharap pemilu sebagai sarana demokrasi yang melahirkan kepemimpinan yang berkualitas yang  terlahir dari mekanisme yang demokratis. Namun, putusan MK 90/PUU-XXI/2023 malah dipertanyakan kredibilitasnya oleh banyak kalangan. “Bagaimana mungkin jika nanti ada sengketa-sengketa dalam Pilpres, Pileg, maupun Pilkada, hakim yang memutus di MK diragukan keputusannya,” katanya.

Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu berpendapat, Ketua MK Anwar Usman mesti bertanggungjawab. Dia beralasan, apapun putusan MK pada Senin (16/10/2023), terdapat dissenting opinion yang menyebut nama Ketua MK  Anwar Usman. Di mana peran Anwar Usman ternyata turuut mendegradasi putusan MK yang tidak kredibel di mata publik.

“Sesungguhnya Ketua MK harus bertanggung jawab. Pertanggungjawabannya apa? Kalau bisa membenahi, dibenahi. Kalau memang tidak bisa lagi menjadi hakim yang netral, tidak bisa lagi menjadi negarawan, ya mundur. Itu lebih baik,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait