Dugaan Lobi-Lobi di Balik Perpanjangan Jabatan Arief Hidayat
Utama

Dugaan Lobi-Lobi di Balik Perpanjangan Jabatan Arief Hidayat

Pertemuan dilakukan melalui forum resmi saat masa reses DPR lalu meski di luar Gedung DPR. Menyambangi dan memenuhi undangan Komisi III dilakukan atas sepengetahuan Dewan Etik. Termasuk surat dilayangkan secara kelembagaan ke DPR. Anggota dewan serempak menampik adanya lobi bernuansa negatif.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ketua MK Arief Hidayat usai menjalani uji kepatutan dan kelayakan untuk perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi periode 2018-2023 di Gedung DPR, Rabu (6/12). Foto: RES
Ketua MK Arief Hidayat usai menjalani uji kepatutan dan kelayakan untuk perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi periode 2018-2023 di Gedung DPR, Rabu (6/12). Foto: RES

Jalan Arief Hidayat meraih kursi hakim Mahkamah Konstitusi (MK) untuk periode kedua diterpa isu tak sedap lantaran ada tudingan dugaan lobi-lobi dengan anggota dewan. Tudingan itu pun berujung laporan Koalisi Masyarakat Sipil ke Dewan Etik MK. Meski diterpa kabar miring, Arief tetap menjalani fit and proper test di Komisi III DPR untuk perpanjangan masa jabatan 5 tahun ke depan (2018-2023).  

 

Komisi III DPR pun akhirnya masih memberi kepercayaan terhadap Arief untuk memangku jabatan hakim konstitusi untuk periode 2018-2023. Memang sepekan terakhir ini, sebelum Arief menjalani uji kepatutan dan kelayakan beredar kabar bahwa Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro itu diduga melakukan upaya lobi ke anggota dewan. Bahkan, disebut-sebut bargaining dengan uji materi Pasal 79 ayat (3) UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR,DPR, DPD, DPRD (MD3) mengenai hak angket DPR yang tengah diadili MK.   

 

Namun, tudingan itu ditepis Arief Hidayat usai menjalani uji kepatutan dan kelayakan di Gedung DPR. “Tidak ada lobi-lobi. Saya datang ke sini undangan resmi,” ujar Arief seusai menjalani uji kelayakan dan kepatutan sebagai hakim MK periode kedua di Gedung DPR, Rabu (6/12/2017).

 

Ia menuturkan masa jabatannya sebagai hakim MK berakhir pada Maret 2018. Jika merujuk Pasal 26 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) pengajuan masa perpanjangan 6 bulan sebelum masa jabatan periode pertama berakhir. Aturan ini yang menjadi rujukan Arief melayangkan surat atas nama lembaga (MK) ke DPR perihal bakal habisnya masa jabatan sebagai hakim MK pada Maret 2018.

 

“Jadi kalau ada pertanyaan, loh awal-awal belum selesai masa jabatan kok sudah ngirim surat, ya memang begitu menurut UU.  UU MK itu, 6 bulan sebelum (habis masa jabatan) harus sudah ngirim surat. Nah yang ngirim itu bukan saya pribadi, tapi lembaga,” dalih Arief.

 

Pasal 26

(1) Mahkamah Konstitusi memberitahukan kepada lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) mengenai hakim konstitusi yang akan diberhentikan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sebelum: a. memasuki usia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 (1) huruf c; atau b. berakhir masa jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf d.

 

Surat pengajuan perpanjangan itu pun dilayangkan pada November lalu ke DPR. Komisi III sebagai alat kelengkapan dewan bidang hukum pun menindaklanjutinya melalui rapat pleno. Ujungnya, seleksi hakim MK terhadap Arief pun disepakati digelar Desember 2017. Alhasil, Komisi III pun mengundangnya untuk menjalani uji kepatutan dan kelayakan. Menghadiri acara ini pun, Arief mengaku telah mengantongi izin dari Dewan Etik MK. Justru, kata Arief, Dewan Etik pun menilai langkah Arief sesuai dengan ketentuan UU MK.

 

“Jadi clear, tidak ada masalah. Saya tidak melakukan lobi-lobi di sini. Ini resmi,” ujarnya.

 

Bantahan Arief pun diperkuat dengan pernyataan anggota Komisi III DPR Arsul Sani. Menurut Arsul, pemberitaan yang beredar sebagai pembentukan framing tanpa menelisik  kebenaran informasinya. Sebagai anggota dewan yang iku rapat pleno, Arsul membenarkan pertemuan dengan Arief, itu pun digelar dalam forum resmi. “Jadi tidak ada itu lobi-lobi,” ujar Sekjen Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini.

 

Dia mengaku saat masa reses DPR beberapa waktu lalu, Panja Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menggelar rapat dalam rangka menyelesaikan RKUHP di Hotel Ayana Midplaza, Jakarta. Usai rapat, pertemuan tersebut dimanfaatkan menyusun jadwal masa persidangan berikutnya. Antara lain dibahas mekanisme uji kelayakan dan kepatutan terhadap hakim Arief yang selesai masa jabatannya Maret 2018 mendatang.

 

Mengingat kesibukan pejabat Ketua MK yang bakal terbang menghadiri acara undangan MK ke Uzbekistan, Komisi III pun akhirnya mengundang Arief dalam rapat resmi di Hotel Ayana Midplaza. Menurut Arsul, rapat-rapat dengan pimpinan lembaga yudikatif baik di DPR maupun di luar DPR biasanya digelar secara tertutup. “Jadi tidak ada lobi. Kalau lobi kan ke fraksi tertentu. Ini resmi rapat pertemuan, jadi dimana lobinya?” katanya.

 

Tak ada janji          

Perihal tudingan janji bakal menolak uji materi UU MD3 pun ditepis Wakil Ketua Pansus Hak Angket KPK, Taufikulhadi. Menurutnya tudingan adanya upaya lobi termasuk janji masuk sudah ke ranah politik. Pertemuan yang digelar melalui rapat resmi di luar parlemen adalah tetap resmi. Terlebih ruang rapat Komisi III dalam kondisi sterilisasi di masa reses. “Tidak ada lobi, apalagi janji,” ujarnya singkat.

 

Sebagai Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) dari Nasdem, Taufikulhadi melanjutkan lobi dalam politik biasanya dilakukan ke fraksi, bukan perseorangan. Namun, fraksi tempatnya bernaung pun tak menerima adanya upaya lobi. Ia menilai tudingan adanya lobi dan memberikan janji sebagai upaya tendensius. “Tidak ada seperti itu. Pertemuan saja di dalam suasana resmi dia ada, jadi isu itu tidak benar,” tegas anggota Komisi III DPR ini.

 

Anggota Pansus Hak Angket KPK Arteria Dahlan mengatakan lobi dalam aspek politik di parlemen hal biasa sepanjang demi kepentingan masyarakat dan bangsa. Sebab, dalam politik lobi merupakan proses dialektika berbangsa dan membangun peradaban. Lobi, kata Arteria, tak ubah sebagai musyawarah mufakat.

 

Terkait dengan dugaan janji bakal tidak mengabulkan uji materi UU MD3, Arteria menilai tidaklah mungkin dapat dilakukan Arief. Sebab, putusan yang diambil MK dilakukan oleh 9 hakim secara independen. Dengan begitu, meski Arief menjabat ketua MK, tetap tidak dapat mempengaruhi delapan hakim MK lain.

 

“Kalau dia bisa menentukan atau bargaining, hakim MK ada 9. Suara Arief dengan suara hakim yang lain sama. Apa iya dia bisa menentukan semuanya, makanya kembali kewarasan berpikir dan logika akal sehat,” sanggahnya.

 

Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu menilai lobi-lobi di parlemen ketika mengambil keputusan adalah hal biasa. Namun bila lobi dilakukan dengan memperdagangkan pengaruh karena jabatannya, Arteria menolak tegas. Apalagi memberi janji-janji.

 

“Tapi yang tidak boleh itu adalah memperdagangkan pengaruh. Perdagangan pengaruhnya tidak mungkin terjadi karena Pak Arief cuma satu, suara hakim ada 9. Kembali kewarasan berpikir, diantara mereka pun ada persaingan,” ujarnya.

 

Dilaporkan ke dewan etik

Di tempat terpisah, Koalisi Masyarakat Sipil melaporkan Arief Hidayat ke Dewan Etik MK. Alasannya, ada dugaan melakukan lobi-lobi dengan anggota dewan. Mendengar itu, Arsul agak kesal karena merasa mengetahui duduk ceritanya mulai rapat pleno hingga uji kelayakan dan kepatutan terhadap Arief. Karena itu, Arsul menilai laporan tersebut tidak berdasar. “Apanya yang akan dilaporkan. Saya akan kasih keterangan, jadi tidak ada lobi, itu hal biasa,” tegasnya.

 

Meski begitu, dia menghargai laporan itu yang memang lazim dilakukan pihak tertentu ke Dewan Etik MK apabila ada hakim konstitusi diduga melanggar etik. Dia mempersilakan Dewan Etik menindaklanjuti tudingan laporan itu terhadap Arief sepanjang memiliki bukti. “Jadi tidak ada masalah, terserah Dewan Etik,” ujarnya.

 

Menurutnya, seleksi calon hakim konstitusi melalui mekanisme di parlemen masuk wilayah ranah politik. Bahkan, calon hakim konstitusi melalui jalur pemerintah pun ada proses lobi. Sebab, nama calon yang melalui jalur unsur pemerintah pun dilakukan seleksi terlebih dahulu.

 

“Sebenarnya wajar-wajar saja. Tetapi, cuma karena saya masih menjabat, saya bilang ke dewan etik, saya mau proses ini loh (uji kelayakan dan kepatutan). Dewan etik bilang itu sesuai UU, saya berangkat. Jadi sepengetahuan dewan etik proses disini,” katanya.

Tags:

Berita Terkait