Dugaan Kartel Warnai Kelangkaan Daging Sapi
Berita

Dugaan Kartel Warnai Kelangkaan Daging Sapi

Sistem alokasi kuota daging, terutama importir dinilai tidak transparan.

HRS
Bacaan 2 Menit

“Tanpa kartel saja, pengurangan supply dapat mengangkat harga,” terang Nawir.

Swasembada Biang Krisis

Rupanya, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Importir Daging Sapi (Aspidi) Thomas Sembiring tidak sepakat dengan Nawir Messi. Menurutnya, kartel bukan penyebab krisis daging sapi yang melanda DKI Jakarta.

Bantahan ini diperkuat Thomas dengan data harga daging sapi. Menurutnya, krisis daging sapi tidak hanya melanda di DKI Jakarta, tetapi hampir diseluruh wilayah Indonesia.

Ia pun menyebutkan lima wilayah dengan harga daging sapi tertinggi, seperti Papua harga daging mencapai Rp103 ribu/kg, Samarinda sekitar Rp102 ribu/kg, dan Tanjung Pinang sekitar Rp101 ribu/kg. Sedangkan Banjarmasin dan Malang bergerak di angka Rp100 ribu/kg.

“Kenaikan harga tidak hanya di DKI saja, tetapi menyeluruh. Jadi, bukan disebabkan ada pengaruh permainan pedagang,” urainya di KPPU, Rabu (6/2)

Menolak dikatakan ada indikasi kartel, Thomas justru melihat program swasembada daging menjadi biang kerok krisis daging. Soalnya, dengan program ini, pemerintah telah mengurangi kuota impor. Akibatnya, jumlah daging sapi yang beredar di pasar Indonesia juga berkurang. Sementara itu, jumlah data demand daging mengandung kesalahan. Thomas melihat ada satu komponen yang tidak dihitung, yaitu kaum ekspatriat.

Menurutnya, jumlah ekspatriat yang ada di Indonesia juga mengonsumsi daging sapi. Brasil saja mengonsumsi daging 30kg per kapita. Singapura dan Jepang membutuhkan 7kg per kapita dan Vietnam berkisar 4 kg per kapita. Sedangkan Indonesia, hanya memerlukan 2kg per kapita.

“Ada kelemahan dalam menghitung demand sehingga terjadi kekurangan stok,” tukasnya.

Senada dengan Thomas, Assisten Pengembangan Usaha Bidang Litbang RPH Cakung PD Dharma Jaya, Widhanardi mengatakan krisis daging sapi disebabkan karena swasembada daging. Akibatnya, kelangkaan bahan baku tidak dapat dihindari.

Kelangkaan terjadi karena pasokan daging lokal belum dapat memenuhi seluruh permintaan konsumen. Pasalnya, pasokan sapi dan daging sapi berasal dari peternak rumah tangga. Sehingga, tidak semua sapi siap potong. Usia sapi siap potong milik peternak berbeda-beda.

Kendati demikian, Widhanardi tetap sepakat dengan swasembada asalkan lokal memliki pasokan yang cukup. Untuk itu, pembenahan sistem dan kebijakan menjadi perlu demi mencukupi pasokan sapi.

“Kalau lokal sudah siap, tidak masalah swasembada. Kalau tidak, siap-siap saja kekurangan sapi potong. Kita saja (RPH,red) sudah berkompetisi membeli sapinya,” ucapnya dalam kesempatan yang sama.

Tags: