Dualisme Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah
Berita

Dualisme Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah

Tergantung dari akad transaksinya.

ASH
Bacaan 2 Menit

Soal penyelesaian perkara ekonomi syariah secara umum, dia mengaku pihaknya telah memiliki Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), sebagai hukum materil para hakim agama di Indonesia. “Ini untuk memandu para hakim agama agar tidak salah memutus, ini sudah dijual bebas yang juga dipakai di fakultas hukum dan syariah,” tambahnya.

Sebelumnya, Pakar Ekonomi Syariah, Muhammad Syafii Antonio berpendapat penyelesaian sengketa perbankan syariah seharusnya menjadi kewenangan penuh pengadilan agama. Hal ini sejalan dengan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama termasuk persoalan hipotik (jaminan) dan eksekusinya agar menjamin putusan pengadilan agama benar-benar sesuai hukum syariah.

Dia menjelaskan dalam UU Pengadilan Agama, peradilan agama telah diberi kewenangan mengadili permasalahan ekonomi syariah, perbankan, keuangan dan asuransi yang didasarkan hukum syariah. Diakuinya, persoalan hipotik dan fiat eksekusi sengketa perbankan syariah masih melibatkan pengadilan negeri. Hal itu tertuang dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah. Misalnya, kalau terjadi sengketa perbankan syariah, awalnya diselesaikan dengan musyawarah, mediasi perbankan, lembaga abitrase, atau pengadilan negeri.

Meski begitu, menurutnya apabila pengadilan agama diberi kewenangan penuh dalam memutus sengketa perbankan syariah, hakim-hakim agama perlu ditingkatkan pengetahuannya agar mereka mampu memahami ekonomi syariah secara baik. Caranya, hakim-hakim agama diberikan pendidikan dan pelatihan yang memadai karena produk perbankan dan asuransi syariah semakin banyak dan berkembang.

Untuk diketahui, Pasal 55 ayat (2), ayat (3) UU Perbankan Syariah tengah diuji  oleh seorang nasabah Bank Muamalat, Dadang Achmad. Dia menilai Pasal 55 ayat (1) dan ayat (2) dinilai kontradiktif karena ayat (1) secara tegas mengatur jika terjadi sengketa dalam praktik perbankan syariah merupakan kewenangan pengadilan agama.

Namun, ayat (2)-nya membuka ruang para pihak yang terikat akad untuk memilih peradilan manapun jika terjadi sengketa praktik perbankan syariah. Karena itu, agar mencerminkan adanya kepastian hukum seharusnya Pasal 55 ayat (2) dinyatakan batal.

Pemohon sendiri mengalami kredit macet di Bank Muamalat Cabang Bogor melalui akad pembiayaan seperti tertuang dalam Akta Notaris No. 34 tertanggal 09 Juli 2009, lalu diperbaharui Akta Notaris No. 14 tertanggal 8 Maret 2010. Dalam akad itu, disebutkan jika terjadi sengketa mereka telah sepakat menyelesaikan sengketa yang timbul di Pengadilan Negeri Bogor. 

Tags: