Dualisme Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah
Utama

Dualisme Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah

Di satu Pasal disebutkan seluruh sengketa perbankan syariah merupakan kewenangan pengadilan agama, namun di penjelasan pasal lain disebutkan pengadilan negeri juga bisa menangani sengketa tersebut. Anggota DPR mengakui kedua pasal itu sebagai pasal ‘kompromis'

Ali/Fat/Yoz
Bacaan 2 Menit

 

Abdul Gani memprediksi persoalan ini bisa menimbulkan sengketa kewenangan antar lembaga peradilan. Kemungkinan akan terjadi sengketa wewenang. Di satu sisi kewenangan PA. Tapi karena akad yang mereka perjanjikan, bisa menjadi kewenangan PN, ujarnya. Meski mengakui ada dualisme, Abdul Gani meminta agar para stakeholders tak perlu panik. Itu bisa diserahkan ke MA, tuturnya.

 

Salah satu kewenangan MA dalam UU Mahkamah Agung adalah memutus bila ada sengketa kewenangan antar peradilan. Peranan inilah yang akan dimainkan oleh MA. Hakim MA bisa menetapkan hukum. Yang benar yang mana. Nanti bisa jadi yurisprudensi, ujarnya lagi. 

  

Sampai saat ini memang belum ada perkara sengketa perbankan syariah yang masuk ke MA. Namun, Abdul Gani berpendapat seharusnya penyelesaian sengketa perbankan syariah hanya berada di tangan pengadilan agama.

 

Mantan Anggota Panitia Khusus (Pansus) RUU Perbankan Syariah Harry Azhar menyadari adanya kesalahan. Namun, ia buru-buru mengklarifikasi bahwa yang mempunyai kekuatan hukum adalah isi pasal, bukan penjelasan. Yang mempunyai kekuatan hukum adalah bunyi pasal, bukan penjelasan. Jangan anda balik-balik begitu, tegasnya. Bila penjelasan Harry seperti ini, berarti yang berhak menangani sengketa perbankan syariah hanya pengadilan agama.  

 

Pasal Kompromi

Harry menceritakan munculnya pasal yang rancu tersebut. Kala itu, jelasnya, pemerintah menilai pengadilan agama belum siap menangani sengketa perbankan syariah. Karenanya, dicantumkan opsi-opsi lain penyelesaian di luar pengadilan agama. Sayangnya, opsi pengadilan negeri masuk juga ke dalam penjelasan itu.

 

Abdul Gani menduga munculnya persoalan ini merupakan hasil kompromi antara DPR dan Pemerintah. Ini dulunya pasal kompromi, ujarnya. Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, memang ada sebuah norma yang digunakan untuk menyenangkan semua pihak. Sehingga tak terjadi deadlock. Namanya norma unifikatif, ujarnya.

 

Sayangnya, norma tersebut menimbulkan contradictio in terminis dalam UU itu. Penyelesaian suatu kaidah hukum seharusnya tak boleh contradictio in terminis, ujar Mantan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) ini.  

Tags: