Dua Solusi untuk Masalah Qanun KKR Aceh
Berita

Dua Solusi untuk Masalah Qanun KKR Aceh

Pengesahan ditunda karena DPRA ingin mendengar masukan dari korban.

MYS
Bacaan 2 Menit
Dua Solusi untuk Masalah Qanun KKR Aceh
Hukumonline

Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM, Wahidudin Adam mengatakan ada dua solusi yang bisa ditawarkan dalam rangka mengatasi problem hukum penyusunan qanun Aceh tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Solusi pertama, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) menunggu proses Undang-Undang KKR nasional selesai disusun.

Solusi kedua, DPRA dan pemerintah provinsi Aceh bisa menyusun qanun KKR dengan merujuk pada Undang-Undang Keistimewaan Aceh. Tetapi jika nanti UU KKR pengganti UU No. 27 Tahun 2004 disahkan, qanun harus disesuaikan. “Jadi, tidak ada halangan untuk membentuknya (qanun KKR—red,” tegas Wahidudin dalam diskusi tentang qanun KKR yang diselenggarakan Elsam di Jakarta, Selasa (12/11).

Proses penyusunan qanun KKR hingga kini masih terhambat. Jadwal pengesahan yang seharusnya Oktober lalu tak terealisasi. Penyebabnya antara lain perbedaan pendapat mengenai pijakan hukum pembentukan qanun KKR.

Berdasarkan Pasal 229 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, KKR dapat dibentuk di Aceh dalam rangka mencari kebenaran dan rekonsiliasi. Seperti diketahui, di wilayah Aceh pernah diberlakukan daerah operasi militer. Pelanggaran HAM berat diduga banyak terjadi. KKR menjadi salah satu jalan keluar guna mencari kebenaran dan rekonsiliasi. Tetapi, pasal yang sama menegaskan KKR Aceh adalah bagian tak terpisahkan dari KKR (nasional).

Masalahnya, KKR nasional sudah bubar paska putusan Mahkamah Konstitusi No. 006/PUU-IV/2006. Lewat putusan tertanggal 7 Desember 2006 ini, Mahkamah mencabut seluruh isi UU No. 27 Tahun 2004. Lantas, apa dasar hukum pembentukan KKR di Aceh lewat qanun? Pertanyaan itulah yang coba dijawab Wahidudin Adam.

Anggota DPRA, Nur Zahri, memastikan para wakil rakyat di Aceh akan meneruskan proses pembentukan qanun KKR. Kalaupun ada penundaan selama ini, lebih karena wakil rakyat ingin mendengar masukan dan pandangan dari para korban. DPRA tidak ingin dicap berkinerja buruk hanya karena tak mengesahkan qanun KKR. “Ini penilaian terhadap kinerja DPRA,” ujarnya dalam diskusi tersebut.

Nur Zahri meyakini qanun KKR akan disahkan pada Desember mendatang. Qanun itu penting sebagai bagian dari upaya penyelesaian dugaan pelanggaran HAM berat di Aceh. Namun ia mengakui masih ada sejumlah pertanyaan substansial yang harus diselesaikan, antara lain yurisdiksi. “Sebagian pelaku bertempat tinggal di luar Aceh,” katanya.

Lepas dari perdebatan substansi qanun, anggota Komnas HAM Roichatul Aswidah, mengatakan penyelesaian lewat KKR penting dilakukan di Aceh karena banyak peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di bumi Serambi Mekkah itu. Ia menunjuk data, dari 10 kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang diselesaikan Komnas HAM selama ini, tak satu pun kasus berasal dari Aceh. “Banyak pelanggaran HAM berat di Aceh, tapi tak terselesaikan,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait