Dua RUU Ini Mendesak Disahkan Demi Keamanan Konsumen
Berita

Dua RUU Ini Mendesak Disahkan Demi Keamanan Konsumen

Legislatif dan eksekutif harus mencari masukan yang substansial dan memprioritaskan pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi serta RUU Keamanan dan Ketahanan Siber.

M. Agus Yozami
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Saat ini Indonesia sedang mengalami pertumbuhan ekonomi digital yang pesat dengan sebanyak 37 persen dari konsumen digital Indonesia tahun 2020 merupakan konsumen baru karena adanya pandemi Covid-19. Studi Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) juga menunjukkan jumlah pengguna internet aktif di Indonesia mencapai 196,7 juta pada triwulan II-2020 atau 73 persen dari total populasi, atau naik sebanyak 25,5 juta pengguna dibandingkan 2019.

Laporan Google, Temasek & Bain di 2020 juga memproyeksikan potensi ekonomi digital pada 2025 bisa mencapai 124 miliar dolar AS dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi digital sebesar 40 persen.

Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Ajisatria Suleiman mengatakan peningkatan ekonomi digital pada 2020 harus menjadi momentum untuk mendorong penetrasi digital. "Kebijakan pemerintah harus tepat sasaran untuk dapat memanfaatkan momentum ini," kata Ajisatria dalam pernyataan di Jakarta, Senin (15/3).

Ia mengatakan salah satu cara untuk meningkatkan penetrasi digital adalah dengan memperkuat upaya perlindungan konsumen digital yang mencakup data pribadi dan keamanan siber. Untuk itu, menurut dia, pihak legislatif dan eksekutif harus mencari masukan yang substansial dan memprioritaskan pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi serta RUU Keamanan dan Ketahanan Siber.

"RUU Perlindungan Data Pribadi harus ditetapkan dengan mengakomodasi perlindungan data dalam kondisi yang bisa memastikan persetujuan pengguna, keamanan data, dan transparansi," katanya.

Ajisatria menambahkan regulasi tersebut juga harus menetapkan standar yang realistis untuk pelaku usaha maupun konsumen yang berdasarkan skenario risiko dan keuntungan dari perlindungan data. (Baca: Rawan Pencurian, Perusahaan Wajib Jaga Kerahasiaan Data Pribadi Pengguna)

Pengaduan Menjamur

Seperti diketahui, pandemi Covid-19 dan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) merubah gaya hidup masyarakat Indonesia. Termasuk dalam urusan transaksi jual-beli barang dan jasa yang kini sering dilakukan secara online atau melalui e-commerce.

Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menyebutkan bahwa jumlah pengaduan konsumen yang berkaitan dengan penjualan online berada di urutan pertama pada 2021. Ketua BPKN Rizal E. Halim mengatakan sepanjang Januari hingga 8 Maret 2021 terdapat lebih dari 500 pengaduan konsumen dan setengahnya terkait dengan penjualan digital. Tahun-tahun sebelumnya pengaduan terkait e-commerce menempati urutan keempat dan kelima.

"Pada 2020 meningkat di urutan kedua dan sekarang 2021 berada di urutan pertama, kita paham pemberlakuan PSBB dan social distancing itu mempengaruhi penggunaan fasilitas digital," kata Rizal seperti dikutip dari Antara.

Rizal mengatakan pengaduan yang masuk kebanyakan pada sektor pariwisata seperti pemesanan hotel, pesawat dan destinasi wisata secara online yang terpaksa harus dibatalkan karena PPKM.

"Sebenarnya masalahnya sepele dan bisa terselesaikan di tingkat korporasi seperti konsumen yang sudah lebih dulu memesan tapi akhirnya harus membatalkan karena tutup akibat pandemi dan harusnya korporasi bisa langsung membantu mengatasi ini," kata Rizal.

Rizal mengatakan baiknya setiap pengaduan dapat terselesaikan di tingkat korporasi sehingga tidak perlu sampai ke pengadilan. Sebab hal tersebut dapat menghabiskan waktu dan biaya. "Kami menghindari jangan sampai pengaduan ini naik ke jenjang-jenjang berikutnya apalagi kalau sampai ke proses peradilan itu akan sangat menghabiskan sumber daya dan energi, waktu, biaya," kata dia.

Ia menambahkan bahwa penyelesaian di tingkat korporasi merupakan solusi yang bermanfaat untuk kedua pihak. “Kita juga belajar upaya mitigasi dan penyelesaian di tingkat korporasi itu tidak hanya bermanfaat pada konsumen tapi juga regulator," ujar Rizal.

Pemerintah melalui Kementeraian Perdagangan sendiri mengakui bahwa jumlah pengaduan terbesar berasal dari niaga elektronik (niagal-el/e-commerce) menjamur belakangan ini. Peningkatan pengaduan konsumen di sektor niaga-el disebabkan beberapa faktor seperti dampak revolusi digital, meningkatnya aktivitas masyarakat di rumah dengan adanya kebijakan kerja dari rumah, dan semakin gencarnya promosi belanja daring (online) yang ditawarkan oleh beragam lokapasar (market place).

Selain itu, pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) juga banyak yang beralih berdagang secara daring dan bergabung di lokapasar atau membangung toko daringnya sendiri. Direktur Jenderal PKTN Veri Anggrijono menjelaskan, ragam pengaduan niaga-el meliputi pembatalan pembelian tiket transportasi udara, pembelian barang yang tidak sesuai dengan yang ditampilkan pada iklan, barang yang dibeli tidak diterima oleh konsumen, barang rusak, pembatalan sepihak yang dilakukan oleh pelaku usaha, penipuan, waktu kedatangan barang tidak sesuai yang diperjanjikan, serta adanya kecurangan pada sistem lokapasar yang merugikan konsumen.

“Selama 2020, Kemendag berhasil menyelesaikan sebanyak 355 kasus niaga-el. Sedangkan sebanyak 41 kasus masih dalam proses penyelesaian. Bagi pelaku usaha daring yang terbukti melakukan penipuan, Kemendag telah melakukan penindakan berupa peringatan hingga pencabutan izin usaha,” kata Veri.

 

Tags:

Berita Terkait