Dua Peluang Kekayaan Intelektual Indonesia di Era Kompetisi Global
Seminar Internasional Peradi:

Dua Peluang Kekayaan Intelektual Indonesia di Era Kompetisi Global

Salah satu aspek hukum yang menarik diperhatikan dalam perkembangan bisnis internasional adalah kekayaan intelektual. Indonesia harus memanfaatkan produk yang khas.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Prof. OK Saidin menyampaikan paparan pada seminar internasional DPN Peradi-USU di Medan, Senin (23/4). Foto: MYS
Prof. OK Saidin menyampaikan paparan pada seminar internasional DPN Peradi-USU di Medan, Senin (23/4). Foto: MYS

Globalisasi di hampir semua bidang tak bisa dihindari. Di era disruptif seperti sekarang, perubahan begitu cepat terjadi melintasi batas-batas negara. Lalu lintas perdagangan barang, misalnya, kini banyak mengandalkan transaksi elektronik. Potensi pelanggaran kekayaan intelektual tetap ada dan bahkan bisa menjadi lebih besar. Itu sebabnya, menghadapi globalisasi yang mempengaruhi dunia hukum, Indonesia harus mengandalkan peluang khas yang dimiliki. UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis sudah mendorong antisipasi perkembangan global.

Indikasi geografis salah satunya. Indikasi geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang dan/atau produk yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, manusia, atau kombinasinya memberikan reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu pada barang dan/atau produk yang dihasilkan. Tengok saja sekarang begitu banyak jenis kopi khas menggunakan nama daerah geografis tertentu, seperti kopi Gayo, kopi Toraja, kopi Mandheling, kopi Kintamani, kopi Empat Lawang, dan kopi robusta Tambora.

Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM telah menetapkan tahun 2018 sebagai tahun indikasi geografis. Dirjen Kekayaan Intelektual Freddy Haris punya target ambisius pendaftaran  seribu indikasi geografis dalam rentang waktu hingga empat tahun mendatang. Target ini terbilang ambisis karena hingga tahun 2018 saja  indikasi geografis terdaftar belum sampai 100.

(Baca juga: Dirjen KI Targetkan 1000 Pendaftaran Indikasi Geografis dalam Negeri, Peluang Baru Konsultan HKI?).

Indonesia sebenarnya terbilang sebagai negara yang memiliki kekayaan intelektual berlimpah dalam bentuk indikasi geografis. Inilah keunggulan Indonesia yang bisa menjadi komoditas unggulan dalam perdagangan internasional. Negara perlu hadir untuk mengurus indikasi geografis sekaligus mendorong masyarakat untuk meningkatkan perhatian dan pemahaman.  Indikasi geografis itu harus terdata dengan baik sesuai Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPs). Indonesia telah mengesahkan TRIPs melalui UU No. 7 Tahun 1994. “Negara harus hadir untuk mengurusnya,” kata Freddy dalam konperensi pers, 21 Maret lalu.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, OK Saidin, juga melihat peluang untuk memanfaatkan indikasi geografis sebagai ‘opportunity in global competition’. Mau tidak mau, Pemerintah harus menaruh perhatian lebih jika ingin mampu bersaing di dunia internasional dengan mengandalkan produk-produk khas yang tak dimiliki negara lain. “Penguatan harus dilakukan dengan mengantisipasi dan menggunakan potensi kekayaan intelektual yang dimiliki Indonesia,” tegasnya.

Berbicara di depan ratusan peserta seminar DPN Peradi dengan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara di Medan, Senin (23/4), OK Saidin mengatakan indikasi geografis merupakan salah satu peluang bagi Indonesia yang harus dimanfaatkan di tengah persaingan bisnis internasional.

Peluang kedua adalah memanfaatkan pengetahuan tradisional (traditional knowledge). Pengetahuan tradisional adalah pengetahuan yang dikembangkan oleh masyarakat atau karya intelektual berdasarkan tradisi. Misalnya, pengetahuan tentang metode budidaya dan pengolahan tanaman, pengobatan, kesenian, atau resep makanan dan minuman tradisonal.

Perlindungan terhadap pengetahuan tradisional penting karena merupakan sumber pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan manusia yang bisa dikomersialkan.  

(Baca juga: Perlindungan Terhadap Ekspresi Budaya dan Pengetahuan Tradisional di Indonesia).

M. Hawin, dosen Fakultas Hukum UGM Yogyakarta termasuk yang menyinggung perlindungan pengetahuan tradisional ini. Dalam pengukuhannya sebagai Guru Besar di Fakultas Hukum UGM, Agustus 2009, M. Hawin menyebutkan salah satu bentuk perlindungan yang bisa diberikan adalah mensyaratkan penyebutan pengetahuan tradisional yang dipakai dalam penemuan yang dimohonkan paten dan meminta izin kepada pemegang pengetahuan tradisional. Seperti dikutip dari laman resmi UGM, perbaikan UU Paten adalah solusi regulasi perlindungan hukumnya. Kini, usulan revisi itu sudah terwujud karena sudah ada UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten.

Pasal 26 ayat (1) UU Paten tersebut menegaskan jika invensi berkaitan dengan atau berasal dari sumber daya geneik atau pengetahuan tradisional, harus disebutkan dengan jelas dan benar asal sumber pengetahuan tradisional itu dalam deskripsi. Paten yang melanggar ketentuan ini bisa dihapuskan, sesuai Pasal 132 ayat (1) UU Paten.

OK Saidin menyarankan agar Indonesia melakukan lebih banyak penelitian mengenai pengetahuan tradisional, karena terbuka peluang memperbaikinya menjadi paten (to improve it to become patent). Di sinilah menurut dia perguruan tinggi berperan laksana ‘konduktor’ dalam pertunjukan musik.

Penulis buku mengenai kekayaan intelektual itu percaya bahwa pemenang kompetisi bisnis internasional adalah mereka yang mendominasi pemegang hak kekayaan intelektual dan ilmu pengetahuan. Dan Indonesia harus bisa memasuki kompetisi global dengan persiapan yang matang, termasuk memanfaatkan peluang-peluang yang ada: indikasi geografis dan pengetahuan tradisional.

Tags:

Berita Terkait