Dua Pakar Hukum Ini Kritik Keras Putusan Pengujian UU KPK
Utama

Dua Pakar Hukum Ini Kritik Keras Putusan Pengujian UU KPK

Putusan uji formil UU KPK yang ditolak menggunakan argumentasi yang begitu buruk dan sangat mengejutkan. Tidak ada satu harapan pun untuk perbaikan KPK melalui putusan MK, tapi harapan itu ada di publik sekarang.

Aida Mardatillah
Bacaan 4 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji formil UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) untuk Perkara Nomor 79/PUU-XVII/2019 yang dimohonkan mantan Pimpinan KPK Agus Rahardjo, Laode M Syarif, Saut Situmorang, dkk. Selain itu, MK mengabulkan sebagian uji materi yang membatalkan kewenangan Dewan Pengawas (Dewas) terkait kewajiban izin penyadapan, penggeledahan, penyitaan.

Mantan Pimpinan KPK, Laode M Syarif menilai ditolaknya uji formil KPK dengan alasan yang sangat dibuat-buat. Dirinya hanya sedikit terhibur dengan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams yang mengajukan dissenting opinion.

“Menurut saya alasan-alasan ditolaknya uji formil dalam pertimbangan disampaikan dengan alasan yang betul-betul dibuat-buat. Padahal, MK adalah anak kandung reformasi harus mensucikan dirinya dari membuat noda-noda hitam dalam sejarah konstitusi,” kata Laode dalam diskusi daring bertajuk “Menyibak Putusan MK dalam Pengujian Formil dan Material Revisi UU KPK”, Kamis (6/5/2021). (Baca Juga: Uji Formil UU KPK Ditolak, Hakim MK Ini Dissenting)

Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti menilai uji formil UU memang belum ada yang dikabulkan oleh MK. Ada harapan buat kita semua mengira akan “pecah telor”, artinya uji formil UU KPK ini dikabulkan oleh MK. Namun, kita semua terkecoh, karena dengan begitu yakin dengan mata telanjang saja, tidak usah menggunakan ahli hukum dan politik bahwa pembuatan revisi UU KPK sudah berantakan.

“Dalam pertimbangan MK pun tidak ada argumentasi, prinsip, dan asas-asas (hukum, red) agak mentah, karena membuat MK mementingkan politik,” ujar Bivitri dalam kesempatan yang sama.  

Dalam putusan pengujian materilnya (Putusan  MK No.70/PUU-XVII/2019) yang dibatalkan Pasal 12B UU KPK terkait izin tertulis Dewan Pengawas (Dewas) untuk penyadapan; Pasal 37B ayat (1) huruf b mengenai tugas Dewas untuk memberikan izin atau tidak memberi izin penyadapan, penggeledahan, dan atau penyitaan; Pasal 47 ayat (2) mengenai Dewas dapat memberikan izin tertulis atau tidak memberikan izin tertulis terhadap permintaaan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 1x24 jam sejak permintaan izin diajukan.

“Jadi, apakah Dewas dikurangi kewenangannya? Jadi, posisi Dewas apa sekarang? Posisinya tetap sama dan tidak berubah. Mengenai lembaga KPK apakah menjadi independen, tentu tidak ada perubahan sama sekali, KPK tidak Independen,” kata dia.

Bivitri menilai putusan uji formil UU KPK yang ditolak menggunakan argumentasi yang begitu buruk dan sangat mengejutkan. Dalam pertimbangannya, tidak ada prinsip-prinsip, asas-asas yang mendasar. “Ini menjadi seperti bayangan mengerikan, kita berharap ada check and balance dari yudikatif karena DPR semakin ugal-ugalan. Kami jadi mempertanyakan, hakim MK ini memahami prosedur pembentukan UU atau tidak. Kok bisa seminar dijadikan alasan pembentukan UU?”

Dia menilai putusan MK ini akan berbahaya bila beberapa hal berikut ini akan menjadi pertimbangan dalam putusan MK di masa depan, diantaranya naskah akademik fiktif menjadi fiksi berarti karangan, lalu seminar dan diskusi yang tidak dilakukan dalam konteks pembentukan peraturan perundang-undangan berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 dianggap sebagai forum partisipasi sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2011, pemohon tidak berhasil menghadirkan bukti mengenai kehadiran, penolakan dan demonstrasi tidak dianggap sebagai pertanda bahwa ada kerugian konstitusional disana.

Semakin lemah

Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menyampaikan kritik tajam atas penolakan judicial review (JR) terhadap UU No.19 Tahun 2019 tentang KPK ini. Ia mengatakan KPK memang pada dasarnya sudah lemah. Dengan putusan MK ini, ia khawatir lembaga anti-rasuah independen tersebut akan semakin dikebiri kekuatannya.

“KPK Indonesia itu secara teoritik sebenarnya sudah lemah sedari awal dan lama-kelamaan kian diperlemah, bahkan sudah menjadi maling, begitu ya,” sindiri Feri.  

“Fakta jadi maling itu sudah terbukti, misalnya ada pegawai KPK yang mencuri barang bukti, ada penyidik KPK yang memeras pihak yang berperkara. Jadi sudah ada fakta-faktanya,” bebernya.

Pernyataan Feri soal KPK yang semakin melemah dan menjadi “maling” bukan tanpa alasan. Rujukannya adalah teori new separation of powers dari pakar hukum Amerika Serikat, Bruce Ackerman. Ia menyebut bahwa teori tersebut mengemukakan soal ciri-ciri lembaga independen atau berintegritas.

Menurut teori tersebut, ciri pertama dari lembaga yang berintegritas diatur di konstitusi. Dengan adanya landasan konstitusi, suatu lembaga independen tidak boleh diubah melalui proses legislasi biasa. Dalam konteks KPK, dengan dilakukannya proses legislasi biasa, UU tentang lembaga independen pemberantasan korupsi yang didirikan pada tahun 2002 tersebut berpotensi diubah lagi dan lagi.

Lalu, ciri lembaga yang berintegritas berikutnya adalah soal independensi komisioner dan pegawainya. Menurut Feri, tercatat bahwa sejak tahun 2019, nilai-nilai independensi komisioner dan pegawai KPK telah digerus habis. Dengan demikian, secara teoretis, gagasan lembaga independen yang tersemat pada KPK telah hancur.

“Itulah mengapa kehancuran nilai-nilai mulia KPK ini memotivasi Feri dan kawan-kawan akademisi lainnya, termasuk ahli hukum tata negara, Bivitri Susanti, untuk menginisiasi permohonan uji formil dan materil ke MK,” lanjutnya.

Feri sudah melihat pesimisme sejak awal dan sesuai yang diprediksinya. ”Kita sebenarnya secara logika matematika sudah yakin perhitungan ini berat untuk dimenangkan. Kenapa? Ya, tiga hakim konstitusi dari presiden, tiga dari DPR. Presiden dan DPR yang buat UU sudah enam gitu, ya sudah mayoritas,” tutur Feri.

“MK ini menurut saya, di balik sosok negarawan terpilih itu, ikut terlibat dengan mengupayakan KPK menjadi maling baru di negara korup ini. Jadi kalau ada alasan masih ada harapan di putusan MK, saya bilang itu non-sense. Tidak ada satu harapan pun untuk perbaikan KPK melalui putusan MK. Tapi harapan itu ada di publik sekarang,” katanya.

Tags:

Berita Terkait