Dua Konsep Penting UUAP untuk Pemerintahan yang Baik
Utama

Dua Konsep Penting UUAP untuk Pemerintahan yang Baik

E-Govt belum menjadi arus utama lembaga-lembaga pemerintahan, termasuk lembaga hukum.

Muhammad Yasin
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi e-government yang menggambarkan pentingnya pelaksanaan UUAP. Ilustrator: HGW
Ilustrasi e-government yang menggambarkan pentingnya pelaksanaan UUAP. Ilustrator: HGW

Dalam peringatan enam tahun lahirnya Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP), Yuslim Hamzah menyebut suatu kalimat berbahasa Belanda: het administratief recht is een tweesnijdend zwaard, hukum administrasi itu laksana suatu pedang bermata dua. Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas ini tengah berbicara tentang perlindungan hukum. Salah satu tujuan lahirnya UUAP adalah memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat dan aparatur pemerintahan.

“Satu sisi pedang ditujukan kepada pemerintah; dan satu sisi lain ditujukan kepada warga masyarakat,” jelas Yuslim dalam webinar Refleksi 6 Tahun UU Administrasi Pemerintahan yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Hukum Administrasi Negara FH Unand, Sabtu (17/10). Pada 17 Oktober 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meneken pengesahan UU Administrasi Pemerintahan, dan pada tanggal yang sama diundangkan Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsuddin.

Menurut Guru Besar FH Universitas Hasanuddin, M. Guntur Hamzah, UUAP dimaksudkan sebagai aturan pokok, aturan payung, dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sejatinya, UUAP satu paket dengan UU Pelayanan Publik, UU Aparatur Sipil Negara, dan RUU Sistem Pengawas Internal Pemerintah (SPIP). RUU yang disebut terakhir hingga kini belum disetujui menjadi Undang-Undang. Paket perundang-undangan tersebut awalnya dimaksudkan untuk mendorong terciptanya pemerintahan yang baik (good governance). “Gagasannya, tertib pemerintahan di negara kita berlangsung dengan baik”, ujar Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi itu.

(Baca juga: Tiga Tahun Undang-Undang Administrasi Pemerintahan).

Ketua Pusat Kajian Antikorupsi UGM Yogyakarta, Oce Madril, mengatakan ada banyak konsep baru yang diperkenalkan UUAP. Namun ada dua konsep yang sangat penting dalam upaya menciptakan pemerintahan yang baik, yaitu larangan penyalahgunaan wewenang, dan larangan konflik kepentingan. Pasal 17 UUAP menegaskan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dilarang menyalahgunaan wewenang. Larangan itu meliputi perbuatan melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang, atau bertindak sewenang-wenang.

Konflik kepentingan adalah kondisi Pejabat Pemerintahan yang memiliki kepentingan pribadi untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dalam penggunaan wewenang sehingga dapat mempengaruhi netralitas dan kualitas Keputusan dan/atau Tindakan yang dibuat atau dilaksanakan. Pasal 42 UUAP menegaskan Pejabat pemerintahan yang berpotensi memiliki konflik kepentingan dilarang menetapkan keputusan atau melakukan tindakan. Konflik kepentingan itu mungkin dilatarbelakangi kepentingan bisnis, hubungan kerabat atau kekeluargaan, pemberi kerja dan penerima kerja, atau hubungan pihak yang memberikan rekomendasi dan pihak yang terlibat. “Ini sangat penting untuk membangun pemerintahan yang baik,” jelas Oce Madril.

(Baca juga: Penyelenggaraan e-Government Terganjal Faktor Budaya).

Sebenarnya, UUAP berusaha mengubah paradigma penyelenggaraan pemerintahan sesuai perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Ini bisa dilihat dari pengaturan tentang legalisasi dokumen dan pengakuan terhadap keputusan berbentuk elektronis. UUAP menganggap keputusan berbentuk elektronis sama kekuatan hukumnya dengan keputusan tertulis. Selama ini keputusan tertulis mendominasi penyelenggaraan pemerintahan. UUAP mendorong penyelenggaraan pemerintahan elektronis (e-govt).

Oce Madril berpendapat selama enam tahun UUAP, e-government belum menjadi arus utama dalam pemerintahan, termasuk di lembaga-lembaga hukum. Kecuali Mahkamah Konstitusi, sistem penyelenggaraan pemerintahan di lembaga-lembaga hukum lain belum mengandalkan sistem elektronik. Berita acara pemeriksaan (BAP) dalam perkara pidana, misalnya, masih mengandalkan kertas. Tanda tangan elektronik oleh pejabat belum dilakukan untuk mengurangi hambatan pelayanan publik. “Di pemerintahan pun belum menjadi arus utama (e-govt) ini. Padahal UU Administrasi Pemerintahan sudah memberikan dasar hukum,” ujarnya.

Meskipun demikian, Oce Madril melihat perbaikan dalam banyak hal sebagaimana dapat dilihat dari Indeks Efektivitas Pemerintahan (Government Effectiveness Index). Nilai tertinggi indeksnya adalah 2,5 dan nilai terendah adalah minus 2,5. Pada tahun 2019, Indonesia masih jauh dari nilai sempurna karena nilai yang diperoleh hanya 0,18. Tetapi jika dilihat dari indeks sejak 1996, ada kenaikan secara berkesinambungan, dari nilai negatif menjadi positif. “Ada progresivitas menuju angka yang lebih baik,” tegasnya.

Selain Government Effectiveness Index, banyak hasil riset lain yang dapat dirujuk yang memperlihatkan posisi Indonesia. Misalnya penilaian rule of law index yang dibuat Bank Dunia dalam World Justice Project. Indeks persepsi korupsi Indonesia masih harus terus diperbaiki terutama di sektor publik. Perbaikan itu antara lain harus ditopang oleh penerapan larangan penyalahgunaan wewenang dan larangan konflik kepentingan.

Dalam Penjelasan Umum UUAP diuraikan tujuan mulia yang ingin dicapai. “Undang-Undang ini  menjadi dasar hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan di dalam upaya meningkatkan kepemerintahan yang baik (good governance) dan sebagai upaya untuk mencegah praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Dengan demikian, Undang-Undang ini harus mampu menciptakan birokrasi yang semakin baik, transparan, dan efisien”.

Dalam usia enam tahun, Yuslim mengibaratkan UUAP baru masuk sekolah dasar. Untuk mencapai pendidikan tinggi apalagi meraih gelar sarjana masih membutuhkan waktu lama. Tetapi, semangat UUAP harus terus bertumbuh dan dijaga.

Tiga Kali Diuji

Meskipun baru berusia enam tahun, UUAP sudah beberapa kali diuji ke Mahkamah Konstitusi. Setidaknya sudah ada tiga permohonan pengujian. Permohonan pertama, tahun 2016, diajukan konsultan hukum dan mahasiswa. Para pemohonan mempersoalkan ketentuan fiktif postitif dalam UUAP (Pasal 53). Permohonan pemohon dinyatakan tidak dapat diterima, sedangkan permohonan oleh pemohon yang tidak hadir di persidangan dinyatakan gugur.

Permohonan kedua, tahun 2017, diajukan oleh seorang direktur utama perseroan terbatas di Jakarta. Pemohons merasa dirugikan oleh Pasal 18 ayat (3), pasal 19, dan Pasal 53 ayat (5) UUAP yang mengatur batas waktu penerbitan keputusan/tindakan. Mahkamah Konstitusi menyatakan menolak permohonan ini.

Permohonan ketiga diajukan oleh Perkumpulan Maha Bidik Indonesia, mempersoalkan Pasal 75 ayat (1) UUAP mengenai upaya administratif oleh masyarakat yang dirugikan akibat terbitnya keputusan atau tindakan. Pada Mei 2020, Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima.

Dengan tiga kali sidang permohonan dan putusan itu berarti belum ada satu kata, ayat, frasa atau kalimat dalam UUAP yang berubah atau dibatalkan Mahkamah Konstitusi.

Dapatkan artikel bernas yang disajikan secara mendalam dan komprehensif mengenai putusan pengadilan penting, problematika isu dan tren hukum ekslusif yang berdampak pada perkembangan hukum dan bisnis, tanpa gangguan iklan hanya di Premium Stories. Klik di sini!

Tags:

Berita Terkait