Dua Klausul Kontrak Pembiayaan Pesawat yang Beratkan Maskapai Penerbangan
Utama

Dua Klausul Kontrak Pembiayaan Pesawat yang Beratkan Maskapai Penerbangan

Yakni klausul yang mewajibkan maskapai penerbangan sebagai pihak yang menyewa (lesse) untuk membayar kepada pemberi sewa (lessor) dalam kondisi apapun dan tidak ada klausul force majeure.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

Tapi klausul itu juga menghadapi tantangan di pengadilan. Anggia menyebut ada pengadilan yang memutus dimana maskapai penerbangan tetap harus membayar kewajibannya kepada lessor. Ada juga pengadilan yang memutus klausul tersebut dinilai tidak relevan untuk keadaan saat ini.

Kedua, klausul yang memberatkan maskapai penerbangan yakni absennya klausul force majeure. Sekalipun klausul itu ada, harus dicermati apakah bisa berlaku di saat pandemi Covid-19. Ada klausul force majeure yang berlaku hanya untuk peristiwa yang masuk kategori act of god.

“Apakah kebijakan pemerintah yang melakukan pelarangan terbang untuk maskapai bisa dianggap act of god? Kedua klausul yang memberatkan itu tidak hanya dihadapi oleh maskapai penerbangan di Indonesia, tapi juga di berbagai negara.”  

6 upaya

Kendati demikian, Anggia menuturkan sedikitnya ada 6 upaya yang bisa dilakukan maskapai penerbangan untuk meminimalkan risiko yang berpotensi muncul akibat pandemi Covid-19. Pertama, cek pasal-pasal yang membuka peluang keringanan/penundaan. Kedua, komunikasi dengan pihak lessor. Ketiga, pernyataan wanprestasi atas dasar pemilikan kembali pesawat (as is where is basis). Keempat, restrukturisasi, negosiasi, dan penjadwalan ulang kontrak. Kelima, negosiasi harga kontrak. Keenam, pailit.

Untuk jangka panjang, Anggia mengusulkan pemerintah membentuk lembaga pembiayaan nasional untuk pesawat udara. Maskapai udara perlu melakukan pendekatan kepada para lessor dengan difasilitasi oleh pemerintah. Terakhir, pemerintah perlu melakukan upaya diplomatik untuk menggerakan perubahan di industri pembiayaan pesawat.

Dalam kesempatan yang sama, Air and Space Law Studies, International Business Law Program, Ridha Aditya Nugraha, mengatakan penguatan regulasi perlu dilakukan guna menyambut kebangkitan dunia penerbangan nasional. Misalnya, merevisi Peraturan Menteri Perhubungan No.89 Tahun 2015 tentang Penanganan Keterlambatan Penerbangan (Delay Management) Pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia.

Ketentuan yang mengatur tentang kompensasi keterlambatan pesawat udara berupa ganti rugi Rp300 ribu diusulkan dihapus dan diganti dengan kompensasi yang lebih mengutamakan prinsip kemanusiaan. “Sebaiknya diarahkan untuk ketentuan yang memberikan right to care, perlindungan terhadap hak penumpang. Revisi itu akan membantu maskapai penerbangan untuk bangkit,” usul Ridha.

Tags:

Berita Terkait