Dua Kebijakan Jokowi yang Mengubah Signifikan Landscape Hukum Indonesia
Utama

Dua Kebijakan Jokowi yang Mengubah Signifikan Landscape Hukum Indonesia

Omnibus law dan perpindahan ibu kota perlu diimbangi dari sisi aspek hukum. Kebijakan tersebut diharapkan mempertimbangkan aspek keadilan, jangan hanya menguntungkan pihak tertentu saja.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Acara diskusi panel
Acara diskusi panel "Law and Regulations Outlook 2020: The Future of Doing Bussiness in Indonesia" di Jakarta, Rabu (22/1).

Dua kebijakan Presiden Joko Widodo yaitu penyusunan Undang-Undang Omnibus Law dan perpindahan ibu kota terus menimbulkan pro dan kontra publik. Hal ini disebabkan UU Omnibus Law dan perpindahan Ibu Kota berdampak besar terhadap arah pembangunan nasional.

 

Pemerintah beranggapan kebijakan-kebijakan tersebut perlu dilakukan untuk mengatasi persoalan khususnya perbaikan ekonomi yang selama ini tidak pernah terselesaikan. Namun, di sisi lain, terdapat berbagai pihak menilai kebijakan ini tidak tepat dan jadi blunder bagi negara.  

 

Atas polemik tersebut, Kantor Hukum Dentons Hanafiah Ponggawa dan Rekan (HPRP), menggelar diskusi panel bertajuk ‘Law and Regulation Outlook 2020: The Future of Doing Business in Indoesia’ pada Rabu (22/1) di Jakarta. Praktisi hukum dan Managing Partner Dentons HPRP, Constant Ponggawa, menjelaskan Omnibus Law dan perpindahan ibu kota memiliki dampak besar bagi perekonomian dan industri Indonesia. Sehingga, kedua kebijakan tersebut harus dicermati setiap pihak.

 

“Perpindahan ibu kota negara dan penyusunan Omnibus Law berpotensi bawa banyak perubahan, tantangan dan kesempatan untuk industri dan bisnis kedepan. Rencana pemindahan Ibu Kota menarik disoroti karena besarnya urbanisasi Jakarta dan perlunya pemerataan pembangunan luar Jawa. Sedangkan Omnibus Law ini dilakukan dengan tujuan perampingan regulasi dan tumpang tindih aturan. Tentunya kedua hal ini menimbulkan pro kontra,” jelas Ponggawa.

 

Dalam kesempatan sama, Partner Dentons HPRP, Giovanni Mofsol Muhammad, mengatakan kebijakan tersebut tidak hanya berdampak pada bidang ekonomi tapi juga mengubah secara signifikan perundang-undangan di Indonesia. Giovanni menjelaskan dalam perpindahan ibu kota setidaknya terdapat empat aspek hukum yang penting untuk diperhatikan. Keempat aspek tersebut yaitu tata negara, pertahanan, tata ruang dan pemindahan kelembagaan atau institusi.

 

Sehubungan tata negara, dia mengatakan seharusnya pemerintah dan DPR perlu mengesahkan terlebih dahulu Undang-Undang Pemindahan Ibu Kota sebagai dasar hukum. Menurutnya, tanpa payung hukum tersebut pemerintah tidak bisa membentuk badan otorita ibu kota baru karena tidak memiliki dasar hukum.

 

Pada aspek pertahanan, terdapat penyesuain terhadap peraturan pelaksana pada aspek-aspek penunjang pertahanan seperti lokasi markas besar, pangkalan militer hingga perumahan TNI dan Polri. Untuk hukum tata ruang, pemerintah juga harus menyesuaikan kembali Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) secara nasional, provinsi dan kabupaten/kota. “Kalimantan (ibu kota baru) paling banyak hutan, perkebunan dan pemukiman maka ekosistem itu akan berubah semua sehingga pengaturan harus dibuat sangat detil agar tidak overlapping,” jelas Giovanni.

 

(Baca: Super Prioritas, Tapi Baleg DPR Belum Terima Draft RUU Omnibus Law)

 

Aspek terakhir, pemindahan kelembagaan, pemerintah juga harus merevisi sejumlah UU berkaitan dengan ibu kota. Dia mencontohkan harus ada perubahan UU Bank Indonesia dan UU OJK karena kedua lembaga tersebut tidak ikut serta pindah dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Padahal, dalam UU saat ini, kedua lembaga tersebut dinyatakan harus berada di ibu kota.

 

Partner Dentons HPRP, Fabian Buddy Pascoal, menambahkan omnibus law merupakan gabungan dua konsep hukum civil law dan common law. Dia menjelaskan garis besar omnibus law ini memberi keleluasaan bagi pelaku usaha berinvestasi di Indonesia. Namun, dia mengingatkan agar penyusunan omnibus law memperhatikan asas keadilan agar tidak ada pihak yang dirugikan. Menurutnya, sejumlah protes terhadap omnibus law khususnya dari kalangan buruh disebabkan masih terdapat sejumlah ketentuan yang dikhawatirkan tidak berpihak pada buruh.

 

“Soal keadilan ini sangat relatif dan subjektif. Satgas (Satuan Tugas Omnibus Law) yang dibentuk komposisinya cenderung didominasi pengusaha dan ditentang buruh. Ini akan jadi kerikil dalam sepatu dan harus diantispasi. Apakah omnibus law ini memberi kepastian investasi dan sudah tepat sebenarnya,” jelas Fabian. 

 

Isu besar di Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja ini ada di klaster pertama yaitu Penyederhaan Perizinan Berusaha. Karena dalam klaster 1 sendiri telah terbagi atas 18 sub klaster, yakni: Lokasi, Lingkungan, Bangunan Gedung, Sektor Pertanian, Sektor Kehutanan, Sektor  Kelautan Perikanan, Sektor ESDM, Sektor Ketenaganukliran, Sektor Perindustrian, Sektor Perdagangan, Sektor Kesehatan Obat & Makanan, Sektor Pariwisata, Sektor Pendidikan, Sektor Keagamaan, Sektor Perhubungan, Sektor PUPR, Sektor Pos & Telekomunikasi, Sektor Pertahanan & Keamanan. Dalam pembahasan terakhir terdapat 52 UU dan 770 pasal terdampak yang termasuk dalam klaster pertama ini.

 

Perizinan dasar yang penting adalah Izin Lokasi, Izin Lingkungan dan Izin Bangunan Gedung. Yang termasuk persoalan izin lokasi, yaitu antara lain izin ini akan digantikan dengan penggunaan Peta Digital Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), kemudian ada pengintegrasian Rencana Tata Ruang (matra darat) dan Rencana Zonasi (matra laut).

 

Pemerintah pun mempermudah operasional Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), antara lain dengan menerapkan perizinan tunggal (melalui pendaftaran), pengelolaan terpadu secara klaster, peningkatan kemitraan, serta memberi insentif pembiayaan yakni usaha sebagai agunan pinjaman.

 

Untuk masalah ketenagakerjaan, Sesmenko menegaskan bahwa Upah Minimum (UM) dipastikan tidak akan turun serta tidak dapat ditangguhkan, terlepas dari apapun kondisi pengusahanya. Untuk kenaikan UM akan memperhitungkan pertumbuhan ekonomi di masing-masing daerah.

 

Peningkatan kesejahteraan dan perlindungan pekerja juga menjadi salah satu fokus pemerintah. Dilakukan dengan membentuk Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk pekerja yang kena pemutusan hubungan kerja (PHK). JKP memberikan manfaat berupa CashBenefit, Vocational Training, atau Job Placement Access.

 

Penambahan manfaat JKP tidak akan menambah beban iuran bagi pekerja dan perusahaan. Pekerja yang mendapatkan JKP tetap akan mendapatkan jaminan sosial lainnya berupa Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK); Jaminan Hari Tua (JHT); Jaminan Pensiun (JP); dan Jaminan Kematian (JKm). Selain itu, untuk memberikan perlindungan bagi Pekerja Kontrak atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu/PKWT, mereka akan diberikan kompensasi tersendiri jika telah habis masa kontrak kerjanya.

 

Tags:

Berita Terkait