Dua Hal yang Perlu Diperhatikan Bila Merger Antar Firma Hukum
Berita

Dua Hal yang Perlu Diperhatikan Bila Merger Antar Firma Hukum

Merger memang secara spesifik diatur dalam UU PT, tetapi bukan berarti firma tidak boleh merger.

Ali/RIA
Bacaan 2 Menit
Ketua Bidang Kerja Sama Internasional PERADI Ricardo Simanjuntak. Foto: Sgp
Ketua Bidang Kerja Sama Internasional PERADI Ricardo Simanjuntak. Foto: Sgp

Ketua Bidang Kerja Sama Internasional Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) Ricardo Simanjuntak mengatakan ada dua hal yang perlu diperhatikan bila sebuah firma hukum ingin merger dengan firma hukum lainnya.

Pertama, kewajiban berupa utang-utang yang dimiliki oleh masing-masing law firm. “Jadi kalau utang-utangnya ada di tempat kalian, kalau mau merge (bergabung,-red), maka harus izin kreditur dulu,” ujarnya kepada hukumonline, Kamis (9/4).

Ricardo menyebutkan prinsip yang berlaku pada Pasal 1417 KUHPerdata. Sehingga, lanjut Ricardo, bila ada Law Firm A dengan Law Firm B mau di-merge, maka yang pertama sekali yang akan dihitung adalah kewajiban-kewajibannya, termasuk utang yang dimiliki.

“Apa kewajibannya? Misalnya kewajibannya dalam hal menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan penanganan klien yang belum selesai. Itu yang pertama,” ujarnya melalui sambungan telepon.

Kedua, konflik kepentingan yang mungkin terjadi. “Harus dipastikan bahwa merging tadi tidak akan menimbulkan conflict of interest terhadap klien yang sudah ada,” jelas mantan Ketua Umum Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) ini.

“Contoh conflict of interest, kamu menangani PT X yang merupakan lawan dari PT R, di mana PT R itu adalah anak PT B yang menjadi klien saya. Lalu kemudian kita merge. Ya kan pasti udah conlict of interest dong terhadap klien kita. Kira-kira gitu,” jelasnya memberi contoh.

Selain itu, Ricardo mengatakan firma-firma hukum yang hendak merger perlu juga memperhatikan kewajiban pajaknya masing-masing terlebih dahulu.

Terakhir, yang tak kalah penting adalah pengumuman. “Supaya semua mitra-mitra bisnis dan juga punya hubungan hak terhadap kita, dia tahu ke mana akan menagih. Atau klien kita yan belum membayar tahu ke mana akan membayar,” ujarnya.

Meski begitu, Ricardo mengakui bila di Indonesia belum ada aturan yang secara spesifik mengatur merger antara firma. Pasalnya, aturan spesifik mengenai tata cara merger ada di Undang-Undang Perseroan Terbatas (PT). Sedangkan, untuk firma, aturan merger-nya mengacu kepada prinsip-prinsip penggabungan secara umum yang diatur dalam KUHPerdata.

“Jadi dasarnya KUHPerdata,” ujarnya.

“Kalau PT itu kan memang ada kemendirian kepemilikan. Berbeda antara aset atau kepemilikan dari pemegang saham. Kalau di firma kan itu semua tidak berbeda, menyatu,” tambahnya.

Ricardo mencontohkan sebuah klub sepakbola berjumlah lima rang, lalu ada klub sepakbola lain yang juga berjumlah lima orang. “Kemudian kita gabungkan. Boleh dong? Tapi memang menggabungkan klub sepakbola nggak ada pengaturannya. Jadi yang kita gunakan adalah prinsip umum,” jelasnya.

Berdasarkan catatan hukumonline, merger atau penggabungan firma hukum mulai terjadi di Indonesia. Salah satunya adalah merger antara firma hukum Assegaf Hamzah & Partners (AHP) dan firma hukum Rikrik & Iswanto untuk menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. Seluruh partners dan lawyers Rizkiyana & Iswanto “bedol desa” ke AHP.

Selain itu, tak sedikit firma hukum asal Indonesia yang menjalin kerja sama dalam bentuk afiliasi dan aliansi dengan firma hukum luar negeri.

Tags:

Berita Terkait