Dua Hakim Pengadilan Bengkulu Didakwa Terima Suap
Berita

Dua Hakim Pengadilan Bengkulu Didakwa Terima Suap

Dua hakim Pengadilan Negeri Bengkulu Janner Purba dan Toton didakwa menerima suap Rp780 juta agar memberikan putusan bebas kepada dua terdakwa kasus Tipikor Honor Dewan Pembina RSUD M. Yunus Kota Bengkulu TA 2011.

ANT | Sandy Indra Pratama
Bacaan 2 Menit
Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: ilustrasi (Sgp)
Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: ilustrasi (Sgp)

Dua hakim Pengadilan Negeri Bengkulu Janner Purba dan Toton didakwa menerima suap Rp780 juta agar memberikan putusan bebas kepada dua terdakwa kasus Tipikor Honor Dewan Pembina RSUD M. Yunus Kota Bengkulu TA 2011.
Hal itu terungkap dalam berkas dakwaan yang dibacakan jaksa penuntut umum KPK terdiri atas Kresno Anto Wibowo, Ikhsan Fernandi Z, Luki Dwi Nugroho, Roy Riadi, Trimulyono Hendradi, Alandikan Putra, Feby Dwiyandospendy dan Dormian yang dibacakan di Pengadilan Negeri Benkulu, kemarin.
"Terdakwa I hakim Janner Purba dan terdakwa II Toton menerima Rp780 juta dari mantan Wakil Direktur RSUD M. Yunus Bengkulu Edi Santoni dan mantan Kepala Bagian Keuangan RSUD M. Yunus Bengkulu Safri," kata jaksa dalam berkas dakwaan yang salinannya diterima Antara di Jakarta.
Edi Santoni menemui Toton dan meminta agar dibantu dalam persidangan perkara Tindak Pidana Korupsi terkait Honor Dewan Pembina RSUD M. Yunus Kota Bengkulu TA 2011 karena melibatkan Edi dan Safri. Toton menyanggupi namun meminta untuk menyiapkan uang "penebas jalan" yang disepakati sebesar Rp30 juta. Edi Santoni menyerahkannya pada sekitar awal Oktober 2015 kepada Toton. (Baca juga: Mandi Keringat di Badan Segala Urusan)
Setelah perkara dilimpahkan oleh jaksa penuntut umum ke pengadilan, Janner Purba dan Toton ditunjuk sebagai majelis yang mengadili perkara atas nama Safri dan Edi Santoni bersama dengan hakim anggota I Siti Insirah dan panitera pengganti Badaruddin Bachsin alias Billy.
Sehingga pada akhir Oktober 2015 Edi Santoni dan Safri kembali bertemu Toton dan minta agar tidak dilakukan penahanan dan Toton menyampaikan ke Janner. Janner pun bersedia mengabulkan dan minta disiapkan uang Rp100 juta. Uang kemudian diserahkan melalui panitera Badaruddin di area parkir Kantor Badan Perpustakaan Arsip Daerah dan Dokumentasi Provinsi Bengkulu pada 3 dan 12 November 2015. Janner lalu membagi uang itu Rp45 juta untuk Toton dan Rp10 juta kepada Badaruddin.
Setelah proses persidangan, Edi Santoni dan Safri dituntut masing-msing 33,5 tahun penjara ditambah denda Rp50 juta subsider 6 bulan kurungan. Edi dan Safri pun menghubungi Toton dan meminta bantuan agar perkaranya diputus bebas. Toton kemudian menyampaikan ke Janner dan dijawab bila ingin putusan bebas maka harus disiapkan uang Rp1 miliar, permintaan itu disampaikan langsung di PN Kepahiang.
Rincian pembagian uang itu adalah untuk perkara Edi Santoni sebesar Rp750 juta dan perkara Safri sebesar Rp250 juta. Atas permintaan uang tersebut, Edi Santoni menawar sebesar Rp300 juta dan Safri menawar sebesar Rp100 juta, namun Toton tidak menerima tawaran tersebut. Edi pun kembali menghadap Toton beberapa hari kemudian. Toton lalu memberi tanda kepada Edi Santoni dengan tangan lima jari serta menulis di atas kertas angka Rp500 juta dan dijawab Edi Santoni "Aduh Pak tidak mampu, hancur saya, besar sekali." Uang Rp500 juta akhirnya diserahkan pada 17 mei 2016 oleh Edi Santoni kepada Janner di di area stadion Gelanggang Olah Raga Semarak Sawah Lebar Bengkulu. Namun karena baru Edi Santoni yang menyerahkan uang, sedangkan Safri belum maka Toton menyarankan agar putusan yang harusnya dibacakan pada 18 Mei 2016 ditunda menjadi 24 Mei 2016. (Baca juga: Cerita Strategi ’Makelar Mobil’ Memergoki Hakim Nakal)
Safri pun masih menawarkan kepada Toton agar uang untuk putusan bebas diturunkan menjadi Rp150 juta yang akan diberikan pada 23 Mei 2016. Mendapati info itu Janner pun meminta Toton untuk menyiapkan konsep putusan dalam perkara Edi dan Safri yang menurut pendapat Janner adalah lepas dari tuntutan hukum.
Safri pun menyerahkan uang di perkantoran Pemda Kepahiang kepada Janner. Setelah menerima uang tersebut Janner lalu pulang ke rumah dinasnya di Jalan Cendana Nomor 1 Samping Pincak Mall Kepahiang namun mobil yang dikendarai Janner dihalangi oleh mobil petugas KPK dan ketika dilakukan penangkapan ditemukan uang dalam tas berwarna hitam berjumlah Rp149.900.000.
Atas perbuatan itu, Janner, Toton, dan Baddarudin didakwa berdasarkan pasal 12 huruf c atau pasal 11 UU No 31 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat 1 KUHP. (Ikuti ISU HANGAT: Menapaki Sunyinya Jalan Hakim Pengawasan)
Pasal tersebut mengatur tentang hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili dengan ancaman pidana paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, ditambah pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Sedangkan Edi Santoni dan Safri didakwa pasal 6 ayat 1 huruf a atau pasal 13 UU No 31 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili dengan ancaman pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda paling kecil Rp150 juta dan paling banyak Rp750 juta.


Tags: